Jelajah ini merupakan perjalanan dalam rangka eksplorasi tiga zaman dilakukan untuk melihat jejak sejarah lebih dalam Jalan Raya Pos dari Anyer sampai Panarukan. Dalam perjalanan Ady Setyawan melakukan pencatatan perbandingan dengan petualang-petualang terdahulu dengan kondisi saat ini.
Perjalanan yang dijadwalkan memakan waktu dua minggu, ditemani oleh Hadi Saputro, dimulai tanggal 25 Mei 2022 dari Ayer, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, dan akan finish di Panarukan, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur. Didukung oleh Intisari, National Geographic Indonesia dan Royal Enfield.
Adapun catatan-catatan yang digunakan sebagai acuan, di antaranya catatan dari abad ke-19 yakni catatan William Thorn (circa 1810) dan William barrington (circa 1860), abad ke-20 yaitu catatan Pramoedya Ananta Toer (circa 1930-1960), dan abad ke-21yang merupakan catatan perjalanan pribadi Ady Setyawan.
Dikutip dari akun instagram @adysetyawan1403, catatan pertamanya menuturkan bahwa William Barrington mencatat, begitu kereta masuk pos, segera berdatangan para pribumi yang membawakan tabung-tabung bambu berisi air. Mereka menyiramkan air ke bagian roda kereta. Tarif untuk kusir adalah 25 sen sedangkan tarif pencambuk kuda adalah 10 sen.
âKuda yang selesai digunakan, kemudian akan dimandikan dan diberikan makan. Diharapkan segera segar kembali, menanti tugas berikutnyaââ tuturnya.


Ady Setyawan menambahkan, tiba di Mercusuar Cikoneng tepat tengah malam setelah bertolak dari Menara Syahbandar Batavia pukul 17.00. Berdasarkan Catatan Mayor William Thorn circa 1810, kawasan antara Tangerang hingga Serang belum banyak penduduk, beberapa berupa hutan yang ada macannya.
âBerdasar catatan itu saya berharap bisa tiba di Anyer setidaknya pukul 19.00. Tapi ternyata perubahan begitu luar biasanya, bukannya ketemu macan tapi kemacetan yang luar biasa telah menggantikan lebatnya hutan,â lanjut pendiri komunitas Roodebrug Soerabaia.
Di tiap pos perhentian, Ady Setyawan menambahkan, kuda akan digantikan dengan kuda baru. Akan ada jongos yang melakukan pekerjaannya. Sempat terpikir olehnya, kalau dalam perjalanan ini dia juga berganti-ganti kuda tiap beberapa kilometer buat lebih merasakan aura jalan raya pos.
âClassic royal enfield warna hijau, classic chrome warna merah, meteor kuning, meteor biru. Semua keluaran merk keren ini. Tapi saya gak sampai hati menyampaikan itu ke Royal Enfield,â kelakarnya.
Hari ini, Minggu (5/6/2022) perjalanan Ady Setyawan telah sampai di Kota Surabaya, Jawa Timur. Sejumlah pegiat sejarah Kota Pahlawan turut bergabung menyusuri jejak-jejak bersejarah di Surabaya. Berangkat dari Kayoon Heritage menuju lokasi bersejarah di Surabaya, di antaranya Menara Syahbandar, Crane Tua Kalimas, Jembatan Merah, area Gedung Negara Grahadi, NV Braat Jalan Ngagel, dan kawasan Dinoyo.


Menara Syahbandar
Kebesaran Pelabuhan Kalimas dapat dilihat hingga saat ini, satu bukti masih berdiri kokoh Menara Syahbandar. Bangunan saksi sejarah ini berada di sebelah Sungai Kalimas, tepatnya di belakang Jalan Panggung, yaitu di Jalan Kalimas Udik. Bangunan menara yang tingginya hanya sekitar 10 meter.
Di bagian depan bangunan terdapat logo âSoera Ing Bajaâ yang menjadi cikal bakal lambang Kota Surabaya. Menara Syahbandar adalah menara sebagai tempat digunakan aktivitas bagi seorang Syahbandar atau kepala pelabuhan. Tugas pokoknya melaksanakan pengawasan, penegakan hukum di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran.


Crane Tua Kalimas
Sementara crane tua peninggalan de Ned Indie Industrie, sebuah workshop besar yang mengerjakan atau mendatangkan komponen-komponen besar untuk keperluan pabrik gula, jembatan, pembuatan hanggar Lapter Morokrembangan hingga alat berat untuk konstruksi. De Ned Indie juga memiliki galangan kapal untuk memperbaiki kapal-kapal berukuran kecil.
Terowongan dan Jalur Bawah Tak Jauh dari Crane Tua
Diperkirakan berjarak 200 meter dari crane tua sarat pula nilai sejarah, yakni kawasan bekas Benteng Prins Hendrik. Benteng ini tak menyisakan apa pun selain toponimi nama-nama jalan yang mengitarinya, di antaranya Jalan Benteng, Jalan Benteng Miring, dan Jalan Benteng Dalam.
William Barrington dalam catatannya circa 1860, menuliskan tentang benteng tersebut dengan cukup detil. Mulai dari barak kulit putih, barak pribumi hingga prostitusi di sekitaran benteng. Sedangkan Von Faber dalam buku Oud Soerabaia juga membahas masalah prostitusi di benteng Benteng Prins Hendrik.
Lebih lanjut William Barrington menuliskan, Benteng Prins Hendrik dilengkapi jalur-jalur terowongan bawah tanah, mulai ke kawasan pemukiman, ke benteng lain hingga ke luar kota. Mungkin yang dimaksud adalah kawasan permukiman Eropa. Perkiraan terowongan-terowongan ini dibangun semasa Gubernur Jenderal Janssens.


Jembatan Merah
Jembatan Merah merupakan titik yang menjadi sejarah penting, terbunuhnya Mallaby. Di area sekitar Jembatan Merah ini dulunya merupakan pusat pertahanan dan pusat perkotaan Belanda. Peran sepanjang aliran kali ini penting, selain lalu lintas untuk memasok keperluan pertahanan juga sarana perhubungan, dan lalu lintas perekonomian. Dalam catatan dituliskan, pada abad 19 dulunya jembatan ini merupakan jembatan angkat yang kokoh dengan rantai-rantai besar.


Kawasan Sekitar Gedung Negara Grahadi
Kawasan sekitar Gedung Negara Grahadi hingga Taman Apsari tanahnya adalah milik seorang keturunan China. Belanda menghendaki tanah tersebut dengan mengganti beberapa kotak keping uang Belanda. Si empunya tanah menolak. Pada akhirnya pemilik tanah dianggap menentang, kemudian dihukum dengan hukuman dipenggal.


NV Braat Jalan Ngagel
The Machinefabriek NV Braat didirikan pada 1901 oleh B. Braat JNZ. Pada awal pendiriannya, pabrik ini memproduksi alat-alat mesin untuk keperluan pabrik gula dan teh. Pada masa itu, Jawa adalah lumbung gula dunia dengan dibangunnya lebih kurang 200 pabrik gula dengan zaman keemasannya pada tahun 1920-1930 an.
Semakin mendekat perang dunia II, pabrik ini mulai memproduksi peralatan dan industri perang bahkan hingga produksi massal helm baja. Nasib pabrik ini berpindah ketangan Jepang ketika Belanda menyerah tanpa syarat tahun 1942.


Kampung Dinoyo
Kampung Dinoyo merupakan kampung tua di Kota Surabaya. Kampung ini terbagi menjadi dua wilayah, barat dan timur. Yang menarik, dari beberapa penjelasan tentang Kampung Dinoyo ternyata memang ada tambahan kata âTangsiâ untuk membedakan dengan Dinoyo yang lain.
Penambahan kata itu untuk menjelaskan fungsinya. Misalnya Dinoyo Tangsi, diberi tambahan kata âTangsiâ untuk membedakan dengan Dinoyo yang lainnya seperti Dinoyo Sekolahan, Dinoyo Ponten dan lainnya. Dulunya, di sini memang ada markas tentara Belanda, disebut Tangsi. Selanjutnya, tangsi dipindahkan dekat Stasiun Surabaya Kota ( sekarang Pasar Atom).


*
Jelajah Tiga Zaman Jalan Raya Pos, Anyer – Panarukan dalam rangka untuk melengkapi dokumen sejarah di Kota Pahlawan. Dengan adanya ekspedisi ini diharapkan dapat membangunkan memori kolektif warga Surabaya maupun masyarakat Indonesia secara umum, agar bisa membaca perubahan kotanya dari zaman ke zaman sehingga turut turun tangan untuk mencintai, menjaga, dan melestarikan kotanya.
terimakasih banyaak pak ali
Mas Ady Setyawan,
Sama-sama terima kasih.
Selamat melanjutkan jelajah, semoga lancar perjalanan. Saya tunggu terbitnya buku.
Sehat-sehat selalu bersama keluarga besar Panjenengan.
Yang diucapkan Daendles saat naik kuda dari Anyer sampai Panarukan sambil melihat jalan yang dibangun ya,ia berteriak,” Gyak-gyak, yit koko, her-her!”sambil sesekali mencepeti kuda yang ditungganginya.
Mas Santoso A.,
Hahaha, rupanya Daendels saat itu sudah fasih bahasa wayang kayaknya.
Matur nuwun atas apresiasi Panjenengan.
Sehat-sehat selalu bersama keluarga besar Panjenengan ngiih.