Madura tidak hanya menyuguhkan pesona wisata pantai, relegi, budaya, dan kuliner, namun ada keindahan lain yang sayang jika tidak dikunjungi, yakni Bukit Kapur Arosbaya, Kabupaten Bangkalan.
Akhir pekan lalu penulis bersama 17 pesepeda dari komunitas ā#wanimancalā jelajah Madura dengan āmancal sepedaā ke Bukit Kapur Arosbaya dan Kompleks Makam Air Mata Ibu.
Titik kumpul di Gerbang Jembatan Suramadu arah Madura, menuju lokasi melintas Jembatan Suramadu. Untuk sampai lokasi harus mancal pedal 40 km, 2 jam perjalanan. Jalanan mulus walau di beberapa menanjak.
Sejak jembatan itu digratiskan, pesepeda diperbolehkan melintas ke Madura, satu lajur dengan kendaraan roda dua. Namun perlu waspada, selain arah dan kecepatan angin, juga laju kendaraan roda dua.
Walau terpasang rambu-rambu batas kecepatan maksimal 25 km/jam, tetapi banyak ditemukan kecepatan sepeda motor di atas rambu-rambu tersebut. Belum lagi bunyikan klakson keras-keras.Perlu ekstra hati-hati.
Bukit Kapur Arosbaya merupakan kawasan wisata yang terbentuk dari bekas sisa galian dan kerukan penambang batu kapur dan tanah liat yang dilakukan oleh warga setempat.
Keberadaan Bukit Kapur Arosbaya masih tergolong sebagai destinasi baru. Bukit kapur mulai populer sekitar tahun 2015 setelah ada beberapa selebgram yang memposting tempat ini.

Pada awalnya tidak ada yang menyangka jika bekas tambang galian ini bisa menjadi objek wisata, terlebih bagi masyarakat di sekitar lokasi. Seiring dengan derasnya arus informasi, destinasi ini semakin lama semakin dikenal.
Tidak hanya bagi warga Madura, tetapi juga bagi para pengunjung dari luar Madura, bahkan dari luar Jawa Timur yang yang sengaja datang untuk melihat keunikan dan keindahan Bukit Kapur Arosbaya
Masyarakat sekitar menyebutnya dengan Bukit Pelalangan. Terletak di Desa Berbeluk, Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan. Akses ke lokasi terbilang cukup mudah.
Dari kota Bangkalan menuju lokasi Bukit Kapur Arosbaya sekitar 20 km. Banyak papan petunjuk yang mengarahkan sampai dilokasi. Bukit ini bersebelahan dengan objek wisata religi, yakni makam para Raja Bangkalan āAir Mata Ibuā.
Kendaraan roda empat atau roda dua bisa diparkir di area parkir āAir Mata Ibuā, kemudian jalan kaki sekitar 10 menit. Tetapi jika malas jalan kaki kendaraan pun boleh parkir di depan pinti gua.
Suasana yang bisa didapatkan di tempat ini akan berbeda dengan Bukit Jaddih, di sini pengunjung tidak akan mendapatkan panorama bukit kapur yang serba putih. Warna Bukit Kapur Arosbaya cenderung kecoklatkuningan.

Aktivitas penambangan di Bukit Kapur Arosbaya yang berlangsung selama bertahun-tahun menghadirkan mahakarya yang unik dan eksotik. Di beberapa dinding kapur, pengunjung dapat menikmati guratan-guratan relief yang memesona mata.
Guratan tersebut tentu bukan berasal dari manusia purba, melainkan dari tangan-tangan para penambang. Relief tersebut ditumbuhi tanaman paku-pakuan. Meski dalam gua dikelilingi batuan kapur, suhu udaranya cukup sejuk.
Situs Air Mata Ibu
āAeng Mata Ebuā masyarakat menyebutnya . Ada beberapa versi cerita yang menggambarkan tentang kompleks makam kuno, Air Mata Ibu. Kompleks makam ini berada di Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya.
Ratu Ibu adalah seorang wanita yang bernama Sarifah Ambani. Wanita keturunan dari Sunan Giri ini adalah seorang istri yang sangat taat, patuh dan sangat mencintai suaminya, Raja Cakraningrat.
Sedangkan Raja Cakraningrat seorang raja yang sangat dihormati dan diagungkan oleh masyarakat Madura pada saat itu. Raja Cakraningrat memimpin Madura pada tahun 1624 atas perintah Sultan Agung dari Mataram.
Karena terkenal akan kepandaian, kepawaian, dan tenaga yang kuat untuk menjadi seorang pemimpin. Sultan Agung Mataram membutuhkan jasa Raja Cakraningrat untuk membantu membangun Mataram. Ratu Ibu sering ditinggal oleh suaminya.
Perasaan sedih pun melanda Ratu Ibu, walaupun istri seorang raja, tapi hatinya adalah hati wanita biasa. Hampir siang malam beliau sedih karena ditinggal suaminya bertugas ke Mataram. Ratu Ibu memilih untuk bertapa ketika perasaan sedih mengguncang.

Dalam pertapaannya, Ratu Ibu meminta kepada Yang Maha Kuasa agar suaminya tetap sehat dan agar kelak tujuh turunannya bisa menjadi pemimpin dan penguasa Madura.
Ketika Raja Cakraningrat pulang ke Madura, perasaan Ratu Ibu pun berbunga-bunga. Selain senang karena suaminya pulang, Ratu Ibu juga bercerita dirinya bertapa dan berdoa agar tujuh keturunanya menjadi pemimpin Madura.
Namun, bukannya rasa senang atau pun pujian yang diucapkan oleh Raja Cakraningrat, tetapi justru kemarahan dan kekecewaan. Raja Cakraningrat kesal karena istrinya hanya berdoa agar tujuh turunannya yang menjadi raja.
Sebenarnya yang diinginkan Raja Cakraningrat adalah kelak semua keturunannya menjadi pemimpin Madura. Mendengar hal tersebut Ratu Ibu pun sedih dan merasa bersalah. Saat suaminya kembali ke Mataram untuk bertugas, Ratu Ibu kembali ke pertapannya di Desa Baduran.
Saat bertapa Ratu Ibu terus menangis tanpa henti, hingga konon air matanya membanjiri tempat pertapannya. Hal tersebut terus berlangsung hingga beliau wafat.
Komplek situs sejarah tersebut menyimpan banyak fakta dan cerita sejarah, termasuk peninggalan berupa makam Islam kuno, yang disertai dengan arsitektur budaya Hindu-Budha. Konon menurut legendanya, konstruksi bangunan situs itu didirikan pada abad ke-15 atau ke-16.
Walau sudah uzur, tapi bentuk bangunan tersusun rapi meski dibangun tanpa alat perekat dari semen. Mulai dari nisan, kerangka kuburan, semua terukir indah terbuat dari batu putih mirip pualam yang diambil dari lokasi sekitar makam.
Arsitektur yang menonjol dan bernilai seni tinggi terletak pada tiga cungkup utama makam berukuran 40 x 20 meter, yakni makam Ratu Ibu Syarifah Ambami, Panembahan Tjakraningrat II dan Tjakraningrat III.

Begitu juga cungkup pada makam Panembahan Tjakraningrat V, VI dan VII yang disebut-sebut bergelar Tjakradiningrat I.
Kompleks makam Aer Mata Ratu Ibu tidak jauh berbeda dengan Makam Imogiri Mataram. Baik itu pintu gerbang, punden berundak-undak menuju ke komplek pemakaman. Untuk menuju ke Makam Ratu Ibu harus melewati sebanyak tiga pintu masuk, yang desainnya mirip dengan candi.
āMancalā Pulang ke Surabaya
Rombongan ke-17 pesepeda setelah puas menikmati keindahan gua-gua Bukit Kapur Arosbaya sempat singgah di rumah salah satu famili anggota komunitas untuk beristirahat sambil makan siang, salat Dhuhur, dan salat Asyar.
Ketika berangkat melintasai Jembatan Suramadu, namun perjalanan pulang memilih lewat Kamal dengan menumpang ferry. Rombongan masih harus āmancalā sejauh 37 km dari Bukit kapur Arosbaya menuju Pelabuhan Kamal. Lumayan sih, Strava mencatat total start – finish, atau out – in rumah lagi tempuh 115 km.
Bersepeda, selain untuk kesehatan sekaligus bersifat rekreatif. Apalagi bersepeda jarak jauh, beberapa hal penting untuk diperhatikan, yakni pastikan kondisi Anda dalam keadaan fisik dan mental bugar untuk mengayuh sepeda jarak jauh.
Pertimbangkan bersepeda dengan teman yang dapat menyamai kecepatan. Yang lebih penting, dengan bersepeda bersama, Anda akan mendapatkan penanganan segera jika terjadi keadaan darurat.
Selain itu, atur ritme kecepatan, selaraskan dengan daya tahan Anda,dan disarankan dengan kecepatan yang stabil. Persediaan minuman dan makanan cukup. Tidak menunggu sampai merasa haus untuk minum agar terhindar dari dehidrasi.
Baik juga melengkapi minuman berelektrolit. Boleh pula obat-obatan pribadi bila dibutuhkan. Gunakan helm standar, dan patuhi rambu-rambu lalulintas. Di jalanan sikap mau berbagi perlu diajarkan bagi semua pengguna jalan. Akur mau berbagi jalur.
