Mumpung saya lagi di Solo atau sebutan lain dari Surakarta saat itu (6/9/2021), dan kebetulan membawa serta sepeda lipat, jadi pagi-pagi masih bisa bersepeda meski tak jauh-jauh dari penginapan. Kebetulan pula tempat inap tak jauh dari kompleks Keraton Kasunanan Surakarta, hanya 1,4 kilometer. Bersepeda di Alun-Alun Kidul sambil hunting sunrise, lalu masuk kompleks kasunanan. Biasa, sambil mancal pedal cari-cari spot foto menarik.
Barangkali sudah menjadi bagian dari kebiasaan para pesepeda, di mana dan kapan pun gampang sekali jalin perkenalan, persaudaraan, dan semangat silaturrahim dengan berbagai sesama pesepeda. Sembari berolah raga keliling suatu kota atau daerah dan mengunjungi tempat-tempat ikonik, selain tubuh tetap bugar, para onthelis juga bisa menambah banyak pertemanan dengan pehobi bersepeda.
Tegur sapa khas ala pesepeda yakni saling bunyikan bel ketika berpapasan di perjalanan. Atau, jika lagi sama-sama sendirian bersepeda di tempat-tempat ikonik, biasanya saling gantian minta dipotretkan untuk abadikan momen di tempat tersebut. Seperti halnya ketika saya bersepeda di kompleks Keraton bertemu Mbak Lucy Kurniawati, pesepeda asal Jakarta, yang lagi ada kepentingan di Surakarta.
Lapak Jajakan ‘Sego Berkat’ dan ‘Sego Gendong’ di Selatan Alun-Alun Kidul
Setiap daerah di Indonesia memiliki menu makanan khas sebagai menu kearifan lokal, tak ubahnya di daerah Kecamatan Pracimantoro Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah, dikenal ada ‘sego berkat’ dan ‘sego gendong’, atau nasi berkat dan nasi gendong. Kedua menu nasi tersebut saat ini tak hanya dikenal di Wonogiri, namun sudah menyebar dijajakan di kota-kota lain, seperti di Solo dan lain-lain.
Hal unik dari tampilan kedua ‘sego’ ini yakni berbungkus daun jati. Daun jati tidak hanya sekedar aksesoris pembungkus makanan, namun sebagai simbul bentuk kemandirian masyarakat. Sebelum hadir piring logam yang dibawa orang Eropa, piring keramik yang dibawa orang China, masyarakat Jawa telah menggunakan daun jati sebagai pembungkus dan tempat makan yang ramah lingkungan.
Bahan pembungkus makanan dengan daun jati memiliki cita rasa beda. Pohon jati tumbuh subur di sekitar Pracimantoro, masyarakat tak sulit mendapatkannya. Sebab itu, warga setempat lebih memanfaatkan daun jati sebagai pembungkus daripada bahan dari plastik atau kertas. Konon, nasi yang dibungkus dengan daun jati memiliki aroma khas yang membuat orang lahap menyantapnya
‘Sego Berkat’
Asal mula ‘sego berkat’ terkait dengan acara hajatan warga, baik pernikahan, khitanan, syukuran, maupun selamatan. Warga yang menghadiri undangan, ketika pulang akan menerima satu bungkus ‘sego berkat’ yang dibungkus godhong jati atau daun jati. Masyarakat menyebutnya ‘angsul-angsul’. Meski sederhana, ‘sego berkat’ sebagai simbol ungkapan terima kasih dari tuan rumah untuk para tamu.
Mistini, penjaja ‘sego berkat’ dan ‘sego gendong’ Asli Pracimantoro di sisi selatan Alun-Alun Kidul Surakarta, menuturkan bahwa satu bungkus ‘sego berkat’ terdiri atas nasi putih, atau nasi putih dicampur tiwul, bisa juga nasi jagung, dengan beberapa lauk berupa berupa bihun goreng, oseng lombok yakni oseng kentang dicampur cabai atau lombok, terik daging sapi dan srundeng. Dibungkus daun jati.
Makna filosofi yang terkandung dari ‘sego berkat’ yakni diharapkan mampu membawa keberkahan bagi siapa pun. Harapan tersebut menjadi kenyataan di tengah pandemi Covid-19, ‘sego berkat’ tak hanya dijual di Pracimantoro, tetapi telah menyebar dijajakan di kota lain selain Wonogiri. Hal ini menjadi bukti bahwa kuliner ‘sego berkat’ telah membawa berkah bagi penjual maupun pembelinya.
‘Sego Gendong’
Disebut ‘sego gendong’, senyatanya adalah nasi gudangan. Gudangan dan urap sayur memang tak beda. Gudangan adalah sebutan lain untuk urap sayur di beberapa daerah di Jawa Tengah. Dahulu nasi tersebut dijajakan dengan cara digendong menggunakan senik atau tenggok dan keliling di pasar. Kini, ‘sego gendong’ tak lagi digendong, namun dengan rombong di sepeda motor, atau ‘magrok’ atau menetap di suatu tempat.
Masih menurut Mistini, sebungkus ‘sego gendong’ terdiri aras nasi putih, di atasnya adalah gudangan atau urap sayur berupa kangkung, bunga turi, kecipir, dan kecambah lengkap dengan bumbu kelapa urap, oseng lombok, serta tahu atau tempe bacem sebagai lauk pelengkapnya. Untuk sayuran bisa variasi sayuran lain. Seperti halnya ‘sego berkat’, ‘sego gendong’ pun dibungkus dengan daun jati.
*
Bagi Anda yang demen traveling, tiga hal yang biasa Anda cari yakni alam, budaya, dan makanan. Culinary trip itu termasuk agenda penting bagi traveler, yakni dengan mencicipi cita rasa makanan khas dari berbagai tempat yang ia kunjungi. Tak sekadar mengisi perut, tetapi lebih keingintahuan informasi tentang bahan-bahan, cara mengolah, penyajian, dan cita rasa makanan tersebut untuk menambah knowledge dari sisi culinary.
Makanan , adat , alami , tanpa pengawet , me.buat badan sehat
Sego berkat dan sego gendong arau sego gudangan (urap sayuran) menu kerakyatan tapi penyuka berbagai kalangan strata sosial masyarakat koq.
Menu sejuta umat.
Matur suwun.
Kombinasi daun jati dan daun pisang bila dijadikan pincuk atau alat untuk mengemas nasi bungkus menjadi hal yg bisa membuat citarasa makanan tsb berbeda baik dari segi rasa maupun tampilan.
Sebelum hadir piring logam yang dibawa orang Eropa, piring keramik yang dibawa orang China, masyarakat Jawa telah menggunakan daun jati atau daun pisang sebagai pembungkus dan tempat makan yang ramah lingkungan. Kehadiran generasi kemasan plastik salah satu penyumbang kerusakan lingkungan.
Matur suwun, Mas.
Pengayuh pedal yg satu ini luar biasa handal. Kejaknya menginspirasi pelapis berikut. Tetal semangat
Matur suwun atas apresiasi Panjenengan, Mas.
Ya, semoga tulisan artikel bisa menjadi bagian dari literasikan masyarakat pembaca.
Makasih.