Kepadatan lalu lintas Kota Surabaya saat pagi hari masih relatif rendah, para pekerja atau karyawan belum banyak yang berangkat. Di samping itu, ditunjang pula lantaran para siswa dan mahasiswa masih belajar di rumah karena pandemi COVID-19, sehingga jalanan masih nyaman untuk bersepeda, Kamis pagi (2/7/2020).
Bersama Ady Setyawan, pegiat Roode Brug Soerabaia, sebuah komunitas peduli sejarah Kota Surabaya, ditemani pula Rachmad Priyandoko dan Bagus Yusuf W., kami berempat bersepeda menyusur jalanan Kota Surabaya dengan tujuan utama singgah di Bungker Tegalsari. Bersepeda sembari menggali sejarah Kota Surabaya yang sudah terpendam oleh waktu.
Bungker adalah sejenis bangunan pertahanan militer. Bungker biasanya dibangun di bawah tanah atau tumpukan pasir. Banyak bungker dibangun pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Bungker, sementara ada yang menyebut dengan kata bunker, atau bangker, namun kedua kata itu adalah ejaan tidak baku. (dalam kbbi.web.id)
Terdapat dua bungker di belakang Polsek Tegalsari, tetapi memiliki bentuk bangunan yang berbeda. Satu bungker berbentuk bundar mirip gudang, satu bungker lagi mirip lorong menuju ruang bawah tanah. Letak kedua bangunan juga terpisah, sekitar lima meter jaraknya.
Arsitektur bergaya khas Belanda, bangunan bungker berada sekitar 20 meter di belakang Polsek Tegalsari, Kecamatan Tegalsari Kota Surabaya. Bungker berbentuk segi delapan dan bungker mirip lorong menuju ruang bawah tanah itu terletak di pinggir jalan. Jadi mudah dilihat.
Ady Setyawan, pegiat Roode Brug Soerabaia, mengatakan bahwa meletusnya Perang Dunia II berpengaruh langsung terhadap Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di Surabaya. Untuk mengantisipasi serangan tentara Jepang, sekitar tahun 1930 an dibangun bungker di Section 2 Politie Bureau, yang dikenal sekarang yakni Polsek Tegalsari.
Lebih lanjut, Ady menambahkan bahwa bungker sengaja dibangun di belakang tidak menjadi satu dengan Section 2 Politie Bureau, salah satunya adalah untuk mengelabuhi musuh. Jika musuh mengadakan serangan dari udara, mengira tidak ada yang selamat. Padahal semua bersembunyi ke dalam bungker.
“Salah satu fungsi bungker adalah untuk mengelabuhi musuh. Jika musuh mengadakan serangan dari udara, mereka mengira tidak ada yang selamat. Padahal semua bersembunyi ke dalam bungker,” pungkas pria yang menjadikan sepeda sebagai sarana Bike to Work.
Harus menunduk saat masuk ke dalam bungker yang mirip lorong bawah tanah. Sebab, pintu masuk hanya berukuran pendek, tak seperti ukuran pintu selayaknya. Ada tiga sampai empat anak tangga untuk turun. Suasana pengap, gelap, dan terkesan mencekam saat memotret ruangan dalam bungker, itu pun hanya dari pintunya.
Sedangkan ketika mencoba mengitip bangunan bungker berbentuk segi delapan dari balik kaca jendela, yang tampak justru tergantung beberapa pakaian pekerja pada tali jemuran dan beberapa barang bergeletakan di lantai bungker. Rupanya sedang ada proses revitalisasi bungker yang dilakukan Pemkot Surabaya, di dalam bungker masih tampak berserakan.
Tertulis dalam prasasti penetapan sebagai Bangunan Cagar Budaya sesuai SK Walikota Surabaya Nomor 188.45/230/436.1.2/2015 Tanggal 23 September 2015, yang ditempelkan di atas salah satu pintu bangunan bungker berbentuk segi delapan tertulis sebagai berikut :
“Bunker Tegalsari. Bangunan pada masa Pemerintahan Hindia Belanda sekitar tahun 1900-an sejaman dengan Polsek Tegalsari. Ditengarai sebagai tempat perlindungan, pengintaian, dan pertahanan pada masa Pemerintahan Hindia Belanda (d/h Politie Bureau 2e Sectie te Soerabaja 1924 KITLV). Keunikan bangunan ini terletak pada bentuk atapnya yang berbentuk segi delapan dengan lubang-lubang ventilasi yang mempunyai persamaan atap dari bangunan Polsek Tegalsari.”
Dengan ditetapkannya beberapa bangunan peninggalan Pemerintahan Hindia Belanda sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB) oleh Pemerintah Kota Surabaya, secara umum keberadaannya dapat membangun memori kolektif masyarakat Kota Surabaya tentang nilai-nilai sejarah perjuangan kemerdekaan.
Andaikan keberadaan bangunan-bangunan peninggalan tersebut tidak dipertahankan sebagai situs BCB, maka akan hilang pula memori kolektif tentang kesejarahan Kota Surabaya, sebagai bagian perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Agar mendapat wawasan baru tentang kesejarahan Kota Surabaya, ketika sedang bersepeda selain berolahraga, seyogyanya menyempatkan diri untuk singgah di tempat-tempat yang memiliki nilai historis. Bersepeda sembari menggali sejarah yang terpendaam waktu, ternyata asyik juga loh….
Yukk…, kita cinta, kita rawat, kita bangga dengan kota kita! Surabaya.