Bike Touring, selain Nikmati Pedesaan Kawasan Porong Sidoarjo, juga Kagumi Candi Pari dan Candi Sumur

Candi Pari dan Candi Sumur
Share this :

Bike touring Sabtu pagi (6/11/2021) rute keluar dari Kota Surabaya, namun dengan jumlah kilometer yang terukur dengan kemampuan fisik. Di samping faktor usia, volume maupun arus kendaraan bermotor yang melintas, dan cuaca yang sangat terik menjadi pertimbangan tersendiri. Candi Pari dan Candi Sumur di Desa Candipari, Kecamatan Porong, Sidoarjo, yakni tujuan bike touring.

Lokasi candi menurut google maps dari tempat tinggal saya sekitar 35 kilometer ke arah Porong, Sidoarjo. Bike touring berempat, yakni Wahyu D., Rachmad Priyandoko, Bagus Yusuf W., dan saya. Di samping berolahraga, juga unsur rekreatif dan edukatif didapat. Dengan rekreatif, bisa melepas rutinitas dan mencari suasana baru, sedangkan edukatifnya bisa belajar dari apa yang ada di tempat.

Candi Pari dan Candi Sumur salah satu warisan budaya di Jawa Timur. Candi dibangun pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit ini masih terawat hingga kini. Berbahan bata merah dengan strukturnya yang sederhana, Candi Pari berangka tahun 1293 Saka atau 1371 Masehi pernah dipugar pada 1994 -1999 oleh Badan Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur.

Candi Pari dan Candi Sumur
Bike Touring - Candi Pari dan Candi Sumur
Candi Pari dan Candi Sumur
Area persawahan jelang masuk Desa Candipari, Porong, Sidoarjo

Dikutip dari cagarbudayajatim.com, Candi Pari tinggi 13,80 meter, panjang 13,55 meter, lebar 13,40 meter, dan menghadap ke arah barat. Sedangkan bahan bangunan yang digunakan yakni bata merah, kecuali bagian atas dan bawah ambang pintu bilik candi terbuat dari batu andesit. Ukuran bata candi rata-rata panjang 38 centimeter, lebar 21 centimeter, dan tebal 7 centimeter.

Bangunan Candi Pari terpengaruh gaya bangunan Campa atau Cambodia, tampak pada bentuk bangunan dan ornamentasinya. Krom, salah satu peneliti arkeologi masa kolonial, mengkaji hubungan antara Jawa dengan Campa. Sumber-sumber tertulis menyebutkan adanya para pedagang dari Campa datang ke Jawa. Maka, tak menutup kemungkinan jika mereka membentuk koloni.

Prasasti penanda selesainya pemugaran di halaman candi ditandatangani Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, I Gede Ardika, pada 1 Mei 2001. Berbeda dengan Candi Pari, Candi Sumur hanya sebagian dipugar, sedangkan Candi Pari seluruhnya. Di tengah Candi Sumur ada lubang persegi, konon oleh masyarakat setempat dianggap sumur. Jarak antara kedua candi sekitar 50 meter.

Candi Pari dan Candi Sumur
Candi Pari dan Candi Sumur
Candi Pari tampak dari dudut kiri dan kanan

Legenda Jaka Pandelegan dan Nyai Roro Walang Angin

Semin (63), penjaga Candi Pari menuturkan, satu kisah legend dibangunnya kedua candi pada masa Raja Hayam Wuruk. Dikisahkan, zaman itu ada seorang pertapa bernama Kyai Gede Penanggungan. Ia tinggal bersama sang adik, Nyai Ijingan. Kyai berputri dua orang, yakni Nyai Roro Walang Sangit dan Nyai Roro Walang Angin. Sedangkan Nyai Ijingan berputra seorang, Jaka Walang Tinunu.

Jaka Walang Tinunu, tambahnya, suatu hari memancing bersama Satim dan Sabalong. Beberapa waktu menunggu umpan disantap ikan, tiba-tiba muncul ikan deleg. Tak disangka, ikan itu adalah jelmaan seorang manusia. Ikan deleg menampakkan wujud aslinya, seorang pemuda tampan dan ramah. Jaka Walang Tinunu pun takjub, kemudian memanggilnya dengan sebutan Jaka Pandelegan.

Masih menurut Semin, Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan membuka sawah untuk ditanami padi di sekitar pertapaan Kyai Gede Penanggungan. Keduanya bekerja keras dan sangat ulet bekerja sehingga hasil padinya melimpah. Nyai Roro Walang Sangit dan Nyai Roro Walang Angin menaruh hati kepada keduanya, Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan pun tak bertepuk sebelah tangan.

Candi Pari dan Candi Sumur
Candi Pari dan Candi Sumur
Ruang dalam dan atap dalam Candi Pari

Walaupun Kyai Gede Penanggungan berusaha mencegah, namun ikatan cinta Jaka Walang Tinunu kepada Nyai Roro Walang Sangit, dan Jaka Pandelegan kepada Nyai Roro Walang Angin tak bisa dipisahkan. Makin hari cinta antara mereka makin tumbuh berkembang, pada akhirnya kedua pasang kekasih tersebut bersepakat untuk melanjutkan hubungan pernikahan, tambah Semin.

Setelah menikah, jelas Semin, mereka tambah rajin bercocok tanam, menggarap sawah, dan sawahnya tumbuh subur sehingga hasil panen sangat melimpah ruah. Kabar hasil sawah yang melimpah ini sampai ke Maharaja Sri Rajasanagara alias Hayam Wuruk. Padahal saat itu kondisi masyarakat sedang mengalami kesusahan, para petani menghadapi paceklik, gagal panen.

Bersamaan itu, tambah Semin, Maharaja Hayam Wuruk mengirim utusan untuk menyampaikan pesan kepada Jaka Walang Tinunu dan Jaka Pandelegan. Pesan sang raja yakni agar hasil panen dibagikan kepada warga yang sedang membutuhkan. Tak keberatan dengan pesan tersebut, Jaka Walang Tinunu kemudian membagi-bagikan hasil panen ke warga wasyarakat setempat.

Candi Pari dan Candi Sumur
Candi Pari dan Candi Sumur
Candi Sumur dan pesepeda yang lagi “Bike Touring”

Penguasa Majapahit memberikan penghargaan, keduanya dipanggil ke istana, diangkat sebagai keluarga kerajaan. Namun, penghargaan itu ditolak oleh keduanya. Raja akhirnya memerintahkan jemput paksa mereka. Jaka Pandelegan menghindar dan menghilang di lumbung padi miliknya, sedangkan Nyai Roro Walang Angin menghilang di sumur, dekat dengan lumbung, lanjutnya.

“Jaka Pandelegan dan Nyai Roro Walang Angin lebih memilih moksa daripada menjadi keluarga kerajaan,” ujar Semin.

Raja kagum kagum dengan keteguhan hati Jaka Pandelegan Nyai Roro Walang Angin. Untuk menghormati keduanya, raja memerintahkan dibangunkan candi. Di lumbung padi, tempat moksa Jaka Pandelegan dibangun candi, kini disebut Candi Pari. Sedangkan di sumur, tempat moksa Nyai Roro Walang Angin dibangunkan candi, dikenal bernama Candi Sumur., pungkas Semin.

Candi Pari dan Candi Sumur
Candi Pari dan Candi Sumur
Candi Sumur telah mengarami pemugaran dengan kerangka penyangga

*

Kisah Jaka Pandelegan dan Nyai Roro Walang Angin merupakan legenda atau cerita rakyat. Legenda adalah cerita rakyat yang berisikan penafsiran tentang tokoh, peristiwa, atau tempat tertentu berlatar masa lampau yang dipercaya kebenarannya oleh sebagian masyarakat. Sebenarnya kebenaran cerita tersebut tidak didukung oleh fakta ilmiah.

Jika menilik lagi ke zaman lampau, secara saintifik pun ada benang merah jika Desa Candipari ini sebagai lumbung padi lantaran tanahnya subur sebagai lahan pertanian, khususnya tanaman padi. Kini, di abad 21 saja lahan persawahan Desa Candipari masih terbilang cukup luas sedang ditanami padi, apalagi pada 7 abad yang silam. Tak heran, hasil panen padi melimpah menjadi pemasok beras di Kerajaan Majapahit.

Sawah Desa Candipari, Porong, Sidoarjo
Sawah Desa Candipari, Porong, Sidoarjo
Area persawahan Desa Candipari, “hijau royo-royo”

You may also like

4 thoughts on “Bike Touring, selain Nikmati Pedesaan Kawasan Porong Sidoarjo, juga Kagumi Candi Pari dan Candi Sumur”

    1. Benar sekali Panjenengan, mas Santoso.
      Sius purbakala perlu dirawat dan dilestarikan sebagai bagian dari sejarah bangs ini.

      Matur suwun atas apresiasi Panjenengan
      Sehat-sehat selalu beserta keluarga besar Panjenengan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *