Bersepeda Minggu pagi tak sekadar olahraga belaka. Bagi saya dan sebagian teman sambil mengayuh pedal, menghirup udara segar juga ada nilai rekreatif dan edukatif. Dengan nilai rekreatif, bisa melepas rutinitas keseharian dan mencari suasana baru. Sedangkan dengan nilai edukatif yakni bisa belajar dari apa kami lihat di tempat tertentu. Seperti di Candi Tawang Alun Desa Buncitan Sidoarjo.
Meski sudah ditetapkan sebagai cagar budaya dengan ditancapkannya papan pengumuman yang tampak kusam tak terawat, kondisi situs Candi Tawang Alun sangat memprihatinkan. Candi yang berlokasi di Jalan Tawang Alun, Dusun Kampung Baru, Desa Buncitan, Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur itu sebagian sudah hampir runtuh
Tampak kondisi lingkungan Candi Tawangalun dengan pagar seadanya, dan sebagian dinding batu bata merahnya berserakan di samping candi. Hal ini menandakan bahwa perhatian Pemkab Sidoarjo terhadap situs cagar budaya ini belum maksimal, khususnya perawatan candi. Candi yang letaknya di area perbukitan, berdekatan dengan semburan-semburan kecil, seperti semburan lumpur di Porong
Ahmad Syaiful Munir (49), juru kunci Candi Tawang Alun, menuturkan meski kondisi candi seperti itu, namun candi tersebut masih difungsikan sebagai tempat ritual oleh sebagian masyarakat. Khususnya pada setiap bulan purnama, mereka datang ke kompleks Candi Tawang Alun untuk meditasi, kontemplasi diri dengan tujuan mereka masing-masing.
Candi Tawang Alun, lanjut Syaiful, konon didirikan pada tahun 1292 M, yakni pada masa Raja Brawijaya II. Diperkirakan fungsi Candi Tawang Alun adalah tempat pendermaan. Meski sudah ratusan tahun, batu bata merah sebagai bahan dasar candi masih tetap kuat. Sebagian masyarakat Desa Buncitan mempercayai bahwa candi tersebut merupakan cikal bakal Desa Buncitan.
Masih menurut Syaiful, batu bata merah Candi Tawang Alun dengan ukuran panjang 38 cm, lebar 22 cm, dan tebalnya 8 cm. Sudah berumur ratusan tahun namun struktur batanya masih utuh, tidak rusak. Meski kondisi kini sangat memprihatinkan, candi ini didatangi banyak orang. Entah mereka hanya sekedar ingin tahu, namun ada yang peduli benda cagar budaya. Sayang jika diabaikan.
Legenda Putri Tawang Alun
Dilansir dari sidoarjokini.com, Mashuri Alhamdulillah mengisahkan bahwa di Kebek ada seorang bernama Ki Gede Tawang Alun. Ia mempunyai seorang anak perempuan bernama Puteri Dewi Meranti. Puteri ini berwajah seperti raseksi atau buto (raksasa) wanita. Namun, puteri itu mempunyai keinginan tinggi. Ia disunting raja Majapahit. Kemudian ia mengadu pada ayahnya.
Lantaran ayahnya seorang resi atau pertapa sakti, dengan kesaktiannya itu, wajah puteri yang berwujud raseksi itu pun diubah menjadi seorang wanita yang cantik jelita. Kemudian puteri itu dibawa menghadap kepada raja Majapahit. Sang raja langsung jatuh cinta, lalu menjadikannya sebagai selir. Singkat cerita, puteri itu kemudian hamil.
Sebagaimana wanita hamil, puteri Meranti mengalami ngidam, ingin makan daging mentah. Para dayang istana pun menuruti keinginan sang selir ini. Lantaran berlangsung setiap hari, para dayang mulai curiga. Ternyata, ketika puteri makan daging mentah, mulutnya keluar taring, wajahnya berubah menjadi raseksi. Dayang pun memberi tahu raja, namun saat raja tidak percaya.
Suatu hari sang raja melihat sendiri jika selirnya adalah seorang raseksi. Akhirnya, puteri itu dipulangkan ke Kadipaten Tawang Alun meskipun puteri Meranti masih sangat mencintai raja. Di Tawang Alun puteri Meranti melahirkan anak laki-laki dan diberi nama Jaka Dilah. Saat menjelang dewasa, ia ingin tahu siapa ayahnya.
Karena dihantaui rasa penasaran, Jaka Dilah bertanya pada ibu dan kakeknya. Sang kakek memberi tahu jika ayahnya adalah raja Majapahit. Oleh kakeknya, ia diminta datang ke Majapahit. Alkisah, raja Majapahit tak mengakui Jaka Dilah sebagai anak. Namun raja akan mengakuinya jika ia bisa membuat lampu di dalam besi yang cahayanya bisa dilihat dari Majapahit. Jaka Dilah kembali pulang.
Ketika sampai di Tawang Alun ia mengadu kepada kakeknya. Lantaran kesaktiannya, sang kakek membuatkan lampu permintaan raja. Kemudian lampu besi itu diletakkan di suatu tempat yang bisa dilihat cahanya dari Majapahit. Akhirnya Jaka Dilah pun diakui sebagai anak raja Majapahit. Tempat itu kini bernama Desa Damarsi, artinya Damar Wesi, terletak di sebelah selatan Desa Buncitan.
Sedangkan disebut Desa Buncitan, bermula pada saat Ki Tawang Alun ingin memperluas wilayahnya, dan akan membuat benteng dan taman. Para penghuni di sekitar Kadipaten dipindah ke Duran. Di antara mereka ada yang berkata “Saya pindah yang paling buncit.” Paling buncit artinya paling terakhir, kemudian desa itu dinamai Desa Buncitan.
*
Kini, kondisi Candi Tawang Alun hanya disangga dengan kayu di sebagian yang mulai runtuh, hanya tunggu waktu keruntuhan sebagian itu lebih parah, atau bahkan keseluruhan candi pada akhirnya. Andai candi itu runtuh, punah pula peninggalan yang merupakan bagian dari sejarah perjalanan bangsa ini. Maka turun tangan Pemkab Sidoarjo, dinas terkait, atau instansi kepurbakalaan sangat ditunggu untuk selamatkan Candi Tawang Alun dari kepunahan.
Candi adalah peninggalan bersejarah yg patut diri utk dan dilestarikan. Salam budaya untuk penulis sang pelestari budaya adiulung.
Matur suwun atas apresiasi Panjenengan.
Tetaplah di garis pelestari wayang, salut….
Sehat-sehat selalu semoga.
Informasi dan dokumentasinya mencerahkan dan memperkaya kasanah sejarah budaya Indonesia, keren dan tetap semangat👍👍👍
Matur suwun atas apresiasi Panjenengan, Mas.
Semoga sehat selalu kagem Panjenengan beserta keluarga besar.