Nilai jual garam rakyat di daerah Provinsi Jawa Timur, seperti di Madura, Sidorjo, atau Gresik, bahkan di provinsi lain sebagai produsen garam pun mengalami anjlok. Harga per kilogram di kisaran Rp300,00. Ditengarai, anjloknya harga garam milik petani musim ini lantaran adanya impor garam dari luar negeri.
Dampak dari anjloknya harga garam tidak hanya berpengaruh bagi petani garam sebagai pemilik lahan, tetapi juga dialami oleh para buruh tambak garam. Sebab, para buruh tambak garam tersebut merupakan garda depan terhadap berhasil atau tidaknya produksi garam rakyat.
Syaifuddin, salah satu buruh tambak garam di daerah Sedati, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, menceritakan bahwa harga garam per kilogram saat ini kisaran Rp300,00. Per karung plastik bobot 50 kilogam hanya Rp15.000,00. Total ini tidak utuh, masih dipotong harga karung plastik sekitar Rp1.500,00-Rp1.700,00 dan ongkos angkut Rp200,00. Praktis bersihnya tinggal Rp13.100,00 an.
Proses penggarapan, lanjut Syaifuddin, mulai dari persiapan isi bahan baku air petak lahan tambak hingga memanen itu memerlukan waktu cukup panjang, 8-10 hari. Itu pun tergantung cuaca, jika cuaca kerap mendung seperti di bulan Oktober ini tentu berpengaruh terhadap proses dan kualitasnya.
“Saya ‘mboro’ di sini bersama isteri, sudah lima bulan belum bisa sambang anak-anak. Bagaimana bisa, pulang? Sementara hasil kerja hanya cukup dimakan berdua. Anak-anak terpaksa dihidupi oleh kalek neneknya. Bahkan ada tetangga yang meninggal pun tidak bisa pulang,” cerita Syaifuddin, salah satu buruh tambak garam asal Kalianget, Sumenep, Madura.
Lebih lanjut, Syaifuddin menceritakan bahwa apa yang diceritakan itu bukan tanpa alasan. Untuk menggarap sepetak lahan tambak, dia bersama isterinya memerlukan waktu 8-10 hari. Hasil yang diterimanya hanya sepertiga bagian dari total hasil keseluruhan, sedangkan dua pertiga bagian untuk pemilik lahan tambak garam.
Masih cerita Syaifuddin, garapan satu petak lahan bisa memanen lima ton garam, atau 100 karung plastik @50 kg. Jika dihitung-hitung, total pendapatan kotor adalah 100 x Rp13.100,00 = Rp1.310.000,00. Dia bersama isterinya mendapatkan bagian sepertiganya, dua pertiga milik juragan lahan tambaknya.
“Saya bersama isteri kerja dari pagi hingga sore di bawah terik matahari, dengan mandi cucuran keringat dalam sepuluh harian mendapatkan bagian Rp430.000,00. Andai tidak dengan isteri, saya hanya dapat separohnya,” tambahnya.
Cerita itu tidak hanya dialami Syaifuddin dan isterinya, tetapi juga dialami oleh para buruh penggarap tambak garam di samping kiri kanannya. Mereka menggarap lahan tambak biasanya membawa serta isterinya, ada juga membawa anaknya yang masih balita. Buruh penggarap tambak garam di Sedati umumnya dari daerah Desa Pinggir Papas, Kecamatan Kalianget, Sumenep.
Melihat penghasilan yang minim itulah dia dan para buruh lainnya mengharapkan perhatian dari pemerintah. Bagaimana harga garam tidak selalu anjlok di saat musim panen. Selain itu, diharapkan pemerintah turut turun mengawasi harga garam rakyat sehingga menjadi stabil. Dengan begitu, bisa meningkatkan perekonomian, khususnya bagi para buruh penggarap dan pemilik tambak garam.
*
Salah satu penyebab anjloknya garam adalah banyaknya garam impor. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), tahun 2020 impor garam ada peningkatan menjadi 2,9 juta ton. Sebelumnya, tahun 2019 impor garam sebanyak 2,6 juta ton. Kenaikan impor garam di tahun ini mencapai 300.000 ton.
Impor yang tujuannya untuk mencukupi kebutuhan industri seharusnya jangan menyebabkan jatuhnya harga garam di tingkat petambak garam rakyat. Sehingga derita mereka tidak selalu terulang setiap putaran tahun ketika musim garam tiba.
Sebenarnya sudah ada payung hukum dalam hal ini, yakni mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Untuk itu, tinggal bagaimana komitmen pemerintah mewujudkan swasembada garam nasional.