Memanfaatkan libur Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1944, Kamis pagi (3/3/2022), saya bersama dengan Ady Setyawan, penulis lima buku tentang Pertempuran Surabaya 1945 dan buku Tragedi Batavia 1629 yang terbit bulan ini, gowes Surabaya – Pasuruan dengan tujuan utama melihat dari dekat sambil menikmati sarapan pagi di Hotel Daroessalam Pasuruan.
Daroessalam Hotel dengan konsep “Syariah Heritage Hotel” berlokasi di di Jalan Soekarno Hatta 41-43, telepon 0343 5616000 Pasuruan. Lokasi itu tak sulit untuk ditemukan, selain berada jalan utama juga berada di tengah kota. Gaya arsitektur hotel yang asalnya rumah hunian milik seorang Kapitein China Pasuruan ini menggabungkan elemen-elemen Indische dan Tionghoa.



Bangunan dengan teras depan berpilar, langit-langit tinggi dari metal embos, sepanjang rusuk rumah ada koridor, pintu dan jendela besar, lantai marmer dan ubin indah, serta ruang dalam saling terhubung. Ciri khas Tionghoa yakni dari struktur atap pelana. Permukaannya segitiga dan trapesium dengan sudut kemiringan tajam, dari samping tampak tinggi atapnya dua kali tinggi dinding.
Pasuruan memiliki wilayah seluas 36.58 km2 atau sekitar 0.07 persen luas Jawa Timur. Selain dikenal sebagai kota dagang zaman duludengan pelabuhannya, dan kota industri dengan PIER, Pasuruan memiliki julukan lain, yaitu Kota Santri. Pasalnya di wilayah Pasuruan memang terdapat banyak pondok pesantren seperti seperti Pondok Sidogiri, Pondok Ngalah, Pondok Al Yasini, dan lainnya.



Sekilas tentang Sejarah Rumah Daroessalam
Beruntung sekali usai menikmati sarapan pagi kami dapat dipertemukan langsung dengan sang pemilik hotel, Hanif Fachir Thalib (50). Sosok yang ramah dan terbuka, yang telah bercerita panjang lebar tentang asal muasal hotel ini. Ia adalah generasi ketiga dari pemilik pertama, sang kakeknya yang bernama Muhammad bin Thalib, seorang saudagar Arab asal Yaman.
Hanif, panggilan akrabnya, menceritakan bahwa mulanya rumah ini didirikan oleh Kwee Tjong Hook (1754-1841). Kwee Tjong Hook, seorang imigran berasal dari Lin Chuan, Provinsi Fujian, China. Di Indonesia dia tiba di Lebak, daerah di wilayah bagian tenggara Pasuruan. Lokasi tersebut kemudian diketahui sebagai tempat dia dimakamkan bersama isteri keduanya, Oei Tjwan Nio.



Sedangkan tentang isteri pertama Kwee Tjong Hook tidak banyak diketahui, hal tersebut terkait dengan percobaannya untuk meracuni Kwee Tjong Hook. Meski percobaan meracuni suaminya tidak berhasil dilakukan, dia harus menerima hukuman sehingga kisah tentang dirinya maupun keberadaanya hilang tak terlacak, cerita Hanif..
Kepemilikan berikutnya, tambah Hanif, dilanjutkan oleh keturunannya yakni Kwee Sik Poo (1847-1930). Kwee Sik Poo, pengusaha gula besar pada abad ke-19, pemilik Pabrik Gula Kawis Redjo sekitar tahun 1882. Dia cucu Kwee Tjong Hook, anak dari Kwee Ting Swan. Kwee Sik Poo hidup se zaman dengan sang Raja Gula Asia Tenggara, Oei Tiong Ham (1866-1924).


Kwee Sik Poo sebagai Leutnant der Chineezen sekitar tahun 1873 hingga 1886, dan merupakan penerus Han Ho Tjoan sebagai Kapitein der Chineezen pada tahun 1886, setelah Han Hoo Tjoan mengundurkan diri. Sepeninggal Kwee Sik Poo kepemilikan rumah dilanjutkan oleh keturunannya lagi, yakni Kwee Khoen Ling (1879-1946), lanjut Hanif.
Kwee Koen Ling, lanjutnya, adalah anak dari Kwee Sik Poo dengan isteri kedua, The Tien Nio. Kwee Koen Ling sebagai seorang Luitenant China sejak tahun 1918, kemudian tahun 1926-1933 dia mendapat tugas sebagai Kapitein China di Pasuruan menggantikan ayahnya, Kwee Sik Poo. Pada tahun 1938, Kwee Khoen Ling mengalami kebangkrutan dan rumah disita oleh bank.


“Pada tahun yang sama, rumah ini dibeli oleh seorang saudagar Arab asal Yaman bernama Muhammad bin Thalib, kakek saya. Sepeninggal kakek pada tahun 1959, kepemilikan rumah diwariskan kepada Fachir Thalib (1939-2015), ayak saya. Kemudian sepeninggal ayah pada 2015, saya sebagai penerus kepemilikan rumah hingga kini,” tutur Hanif.
Muhammad bin Thalib, cerita Hanif, kakeknya ini memiliki kebiasaan menjamu masyarakat sekitar untuk makan siang dan makan malam setiap hari. Bangunan panjang di samping kanan dan kiri bangunan utama digunakan sebagai guest house bagi para pedagang luar daerah yang tidak memiliki tempat menginap di Pasuruan. Pemilik rumah menjamu para tamu tersebut tanpa menarik biaya.


“Bangunan penunjang tersebut sekarang digunakan sebagai restoran dan kamar hotel. Sedangkan bagian depan bangunan ditambah kaligrafi Arab dan aksara latin berbunyi “Daroessalam”, yang berarti rumah atau tempat yang aman dan terbuka bagi siapa saja,” tambah cerita Hanif.
Beberapa bagian rumah telah mengalami perbaikan. Pertama, tahun 1987 seluruh bagian dinding rumah ditambahi cor beton untuk mengurangi efek kapiler dari air tanah. Selanjutnya, perbaikan pada 2008 berupa pengecatan ulang seluruh bagian rumah, sehingga bangunan itu tampak seperti saat ini. Sedangkan perabot dan pajangan foto, dan lain-lain masih seperti dulu, pungkas Hanif.



*
Dengan tetap menjaga keutuhan bangunan zaman kolonial, Daroessalam Hotel “Syariah Heritage Hotel” dengan 31 kamar telah mendapat predikat satu-satunya hotel sebagai bangunan cagar budaya di Kota Pasuruan. Anda yang tertarik pada bangunan bersejarah bisa menikmati sensasi menginap dengan suasana kekunoan yang jauh dari suasana horror. Barangkali buat acara bersama keluarga, komunitas, maupun acara lainnya.



Mantap, mengungkap sejarah suatu tempat/bangunan yang jarang orang tertarik untuk menekuni.
Pak Hendro,
Inggih, gowes rekreatif sambil explore arsitektur zaman kolonial.
Barangkali bisa menambah wawasan baru bagi pembaca.
Martur nuwun, semoga sehat selalu bersam keluarga.
😎👍👍
Mas Nur Wahyudi,
Terima kasih buat jempol Panjenengan.
Salam sehat selalu nggih.
Semakin kuno semakin unik dan antik saat zaman semakin modern. Melestarikan kekunoan,dan menyebarkan info tentang yang langka2 adalah perbuatan yang mulia dan terpuji. Sebab lantaran ini, yang tidak tahu menjadi tahu.Termasuk saya.
Mas Santoso A.,
Matur nuwun atas apresiasi Panjenengan.
Iya, paling tidak bisa nambah wawasan baru tentang arsitektur kuno.
Semoga sehat selalu.