Demi Lestarikan Wayang, Samut Hargai Wayang Buatannya Hanya Segini!

Demi Lestarikan Wayang, Samut Hargai Wayang Buatannya Hanya Segini!
Share this :

Menikmati sore bermotor keliling sekitaran tempat tinggal, menunggu azan Maghrib sambil ‘ngumbah moto’ melihat-suasana lalu lalang menjelang senja. Melihat di pinggir jalan ada orang jajakan wayang, mendadak teringat apa yang diceritakan seorang sahabat beberapa hari lalu bahwa sang ‘Jagoan Kecilnya’ tertarik wayang yang dijajakan di pinggir jalan. Lantas berhentilah saya.

Samut (54), seniman pembuat wayang mainan, menjajakan karya wayangnya tidak di dalam etalase berkaca, tidak juga dipajang di sebuah galeri dengan lampu kerlap-kerlip menghias ruangan, namun ia beber wayang-wayang karyanya dilapak bekas backdrop di tepi Jalan Raya Pandugo, seberang kompleks Perumahan Puri Indah, Kelurahan Penjaringansari, Kecamatan Rungkut, Surabaya – Jawa Timur.

Beberapa tokoh wayang dipajang dengan disandarkan di pagar tanah, sedangkan puluhan wayang dari berbagai tokoh hanya di letakkan di gelaran backdrop yang tak seberapa lebar dan panjang, sekitar 2×1,5 meter. Itu pun sebagian gelaran digunakan untuk ia duduk sambil mengecat atau mewarnai wayang yang belum jadi, juga untuk meletakkan perlengkapan cat dan lain-lain..

Sebenarnya jika diukur dengan kreativitas, kerumitan proses pengerjaan, modal kertas karton, cat dan bahan lain, ia mematok harga hanya 10 ribu rupiah per tokoh wayang jauh dari kata layak. Satu tokoh wayang sampai siap dijual itu membutuhkan proses pengerjaan yang relatif memakan waktu. Samut baru beber lapaknya selepas Maghrib hingga pukul 21.30 an saban harinya. Berapa yang laku pun tak pasti.

Samut menuturkan, menggeluti profesi sekaligus menjajakan wayang kurang lebih empat bulan. Ini sebagai alih profesi, lantaran profesinya sebagai tukang sepi order, sedangkan kebutuhan menghidupi keluarga tak pernah berhenti. Keahlian membuat wayang sebenarnya tanpa belajar khusus, hanya lantaran sejak muda gemar menonton pertunjukan wayang kulit, dan mendengarkan radio siaran wayang. Juga ada turunan dari kakeknya.

Demi Lestarikan Wayang, Samut Hargai Wayang Buatannya Hanya Segini!
Sebagian wayang dibeber di lapak bekas backdrop
Demi Lestarikan Wayang, Samut Hargai Wayang Buatannya Hanya Segini!
Sebagian lain disandarkan di pagar tanah kosong di belakangnya

“Sejak muda saya gemar nonton ‘ringgit purwo’ atau wayang kulit, di mana pun pokok saya bisa tempuh pasti nonton. Selain kegemaran itu, menurut ibu saya ada keturunan dari kakek. Kakek saya dulu pembuat wayang kulit, juga sebagai dalang. Kakek meninggal sebelum saya lahir,” tutur pria dengan tiga anak dan tiga cucu, yang sekaligus bisa mendalang juga.

Lanjut Samut, membuat wayang dan menjajakannya selain untuk mencari nafkah, ia berharap bisa turut andil melestarikan budaya tanah Jawa, ‘ringgit purwo’ ini agar tidak punah. Kegemaran terhadap kesenian wayang kulit ini hendaknya bisa beralih generasi ke gerasi berikutnya. Yang dikhawatirkan, jika tidak ada yang melestarikan, bisa saja bangsa lain mengklaim wayang sebagai budaya mereka.

Yang membeli wayang, tambah Samut, ada sebagian banyak orangtua dengan anak-anaknya, ada juga beberapa remaja membeli juga. Bahkan, ada beberapa pasangan temanten baru yang membeli. Mereka biasanya memilih tokoh Arjuna dan Sembodro, sebagai simbol pasangan suami isteri yang serasi sehingga banyak membuat iri orang-orang sekelilingnya.

“Koq bisanya ada yang mengusulkan wayang untuk dimusnahkan, itu orang yang tidak mengerti filsafat wayang. Padahal dengan media ‘ringgit purwo’ atau wayang kulit, Sunan Kalijaga ingin Islam menjadi ‘ngremboko’ atau berkembang pesat di tanah Jawa,” pungkas pria yang berdomisili di Medokan Ayu 30 C/8, Kelurahan Medokan Ayu, Kecamatan Rungkut, Kota Surabaya – Jawa Timur.

Demi Lestarikan Wayang, Samut Hargai Wayang Buatannya Hanya Segini!
Sambil jualan Samut sempatkan untuk mengecat wayang yang belum jadi
Demi Lestarikan Wayang, Samut Hargai Wayang Buatannya Hanya Segini!
Lapak Samut yang ala kadarnya di pinggir jalan

Wayang Salah Satu Media Tumbuhkembangkan Literasi

Tidak mengherankan apabila wayang melalui isi cerita yang bermuatan nilai-nilai hidup, memiliki kekuatan estetik dan hiburan. Bahkan, dijadikan pedoman dan panduan hidup bagi sebagian masyarakat Jawa. Dengan berbagai perkembangan dan perubahannya, wayang telah menemani peradaban Jawa dalam jangka waktu yang tak sebentar.

Dikutip dari kediripedia.com/wayang-perlu-dikenalkan-sejak-dini, secara kasat mata wayang adalah boneka. Maka, tidak jarang orang mengatakan bahwa cerita wayang selayaknya cerita-cerita boneka lainnya. Pendapat dan anggapan tersebut tidak salah ketika wayang dilihat dari kasat mata. Namun, bagaimana jika wayang dilihat lewat kaca mata kebudayaan?

Sebagai manifestasi kebudayaan ‘adiluhung’ atau kebudayaan yang tinggi nilainya, wayang memiliki kekuatan artistik bersifat kelembutan dan keindahan atau bernilai estetika. Di samping itu, kesenian wayang mampu menembus ruang kejiwaan penonton sehingga terjadi transformasi perilaku atau pembentuk perilaku bernilai etika bagi penonton.

Wayang sebagai warisan budaya dunia asli Indonesia oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui UNESCO telah menetapkan wayang sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity atau ‘Mahakarya Warisan Kemanusiaan Lisan dan Nonbendawi’ pada tanggal 7 November 2003. Kemudian tanggal tersebut oleh pemerintah telah ditetapkan sebagai Hari Wayang Nasional.

Jika semakin mendalami dan menelusuri seni wayang, ada dua unsur yang semestinya dapat digunakan untuk memahami kekuatan seni wayang, yaitu ada di lisan dan kemanusiaan. Keberadaan wayang adalah bukti terujinya kebudayaan lisan yang memiliki kedalaman tentang tutur kang tinular atau transformasi nilai-nilai kemanusiaan melalui budaya lisan.

Demi Lestarikan Wayang, Samut Hargai Wayang Buatannya Hanya Segini!
Wayang-wayang yang siap dijual
Demi Lestarikan Wayang, Samut Hargai Wayang Buatannya Hanya Segini!
Koleksi wayang yang saya beli dari Samut untuk saya hadiahkan kepada sang ‘Jagoan Kecil’ sahabat saya

*

Peradaban manusia tidak boleh luput dari dua masa yaitu masa lalu dan masa kini. Warisan peradaban masa lalu bisa dijadikan sebagai titik tolak kemajuan masa depan, yakni diselaraskan dengan kemajuan kebudayaan kekinian. Kita yang hidup di masa kini seharusnya memberikan apresiasi terhadap warisan adiluhung, bukan malah merobohkan, atau bahkan memusnahkannya.

Wayang sebagai karya lisan atau masterpiece of oral memiliki kekuatan untuk menumbuhkembangkan literasi, khususnya bagi anak-anak usia dini. Andai setiap orangtua menyadari bahwa memberikan ruang literasi itu betapa penting bagi tumbuh kembang anak. Selain memberikan literasi digital yang kekinian, penting juga mengenalkan literasi terkait seni budaya sebagai kearifan lokal, seperti wayang tersebut.

You may also like

5 thoughts on “Demi Lestarikan Wayang, Samut Hargai Wayang Buatannya Hanya Segini!”

    1. Mas Santoso A.,
      Mengenal, mencintai, menjaga, dan melestarikan budaya kearifan lokal mesti ditanamkan sejak anak usia dini.
      Orangtua adalah guru pertama dan utama bagi anak-anaknya nggih, Pakbro.
      Sehat-sehat selalu bersama keluarga besar Panjenengan nggih.
      Matur nuwun.

  1. Avatar
    Endang Sulistijorini

    MasyaAllah Pak Ali….jeli banget ya…itu hampir tiap hari saya lewati, luar biasa ya menjajakan wayangan dengan sabar dan telaten…semoga berkah, banyak yang beli, agar generasi melineal kenal wayang2 yg dibeber di pinggir jln Panduga….sebagai bahan literasi…Aamiiin

Leave a Reply to Santoso Abetnego Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *