“Engkuk Dhisik” (Jw), Kebiasaan yang Tak Gampang Dihilangkan

“Engkuk Dhisik” (Jw), Kebiasaan yang Tak Gampang Dihilangkan
Share this :

Suatu pagi di penghujung bulan Maret, saya bermaksud menyudahi jalan kaki pagi dan mau menyeberang jalan untuk pulang. Lantaran sedang menjalani puasa, maka jatah jalan pagi saya kurangi setengahnya dari hari-hari sebelum bulan Ramadan. Tiba-tiba saya disapa seorang laki-laki yang muncul dari warung di tepi jalan, sehingga mendadak membuat saya harus berhenti melangkah.

Selintas ia tak jauh dari seumuran saya. Andai berbeda, mungkin selisih empat atau lima tahunan di atas saya. Tinggi kisaran 170 cm, perawakan kurus, berkulit coklat agak gelap. Tampak giginya sudah ompong semua, jadi memengaruhi tampilan wajahnya. Sepertiga wajahnya tampak menurun, pipinya semakin cekung, sehingga sudut-sudut wajahnya semakin menurun. Tampak lebih tua dari umur sesungguhnya.

Ca Nang, ia mengenalkan namanya kepada saya, umur 69 tahun, pensiunan dari salah satu lembaga pemerintah yang mengurusi masalah hukum dan keadilan. Pagi itu dia istirahat sejenak setelah mancal sepedanya beberapa kilometer di seputaran tempat tinggal. Meski sebenarnya saya keburu pulang, tak apalah saya berhenti untuk basa-basi ngobrol di tepi jalan sambil menggoyang-goyangkan kaki buat pelemasan.

“Ngilangi kebiasaan opo sing paling angel kanggo wong urip iki?” pertanyaan Ca Nang dengan bahasa Jawa dialek Suroboyoan. Atau, jika dibahasaindonesiakan, “Menghilangkan kebiasaan apa yang paling sulit bagi orang hidup ini?”

Pertanyaannya meluncur yang dilontarkan kepada saya, seakan-akan di antara kami sudah saling mengenal sebelumnya. Sambil mengusap keringat di dahi, saya memutar otak mencari jawaban. Sementara bising lalu lalang dan bunyi klakson kendaraan orang-orang yang berangkat bekerja sempat membuyarkan konsentrasi saya, sehingga belum sempat menemukan jawabannya.

“Ngilangi engkuk dhisik,” dengan dialek Suroboyoan Ca Nang membuyarkan pikiran saya yang belum sempat menemukan kalimat untuk menjawab pertayaannya.

“Gak wong dewasa koyok sampeyan wae, arek-arek remaja, bahkan arek-arek cilik sering semoyo ambek kata-kata iku. Engkuk dhisik. Angel ngilangi kebiasaan iki!” (“Tidak orang dewasa seperti Anda saja, anak-anak remaja, bahkan anak-anak kecil sering minta menunda sesuatu dengan kata-kata itu. Nanti dulu. Sulit menghilangkan kebiasaan ini!”), ucap Ca Nang sambil nyengklak sepedanya sembari pamitan.

Tak seberapa lama bayangan Ca Nang tak tampak, hilang ditelan arus keramaian lalu lintas pagi. Sementara orang-orang saling berebut menguasai jalan agar mereka segera sampai tujuan. Tak sedikit dari mereka mengabaikan kesantunan berlalu lintas, zig-zag ke kiri kanan, memotong lajur pengendara lain, membunyikan klakson keras-keras, dan memacu kendaraan kencang-kencang. Seakan dialah jagoan jalanan, namun tak pikirkan risiko buat diri sendiri maupun orang lain.

Saya pun mencari celah di antara lajunya berbagai kendaraan untuk menyeberang jalan. Beberapa detik menunggu, melambaikan tangan buat minta kesempatan menyeberang. Namun sedikit sekali di antara mereka yang mau melambatkan laju kendaraannya. Saya memilih bersabar, menunggu kendaraan yang jarak lajunya masih agak jauh dari saya berdiri, sehingga kesempatan menyeberang lebih aman.

Berkat engkuk dhisik, di jalanan, dengan Ca Nang, orang tak disangka kenal, saya mendapat satu pembelajaran tentang bagaimana cara memanfaatkan manajemen waktu yang lebih baik. Waktu sama dengan kejadian, tak bisa diulang. Ketika kita sudah melewatkannya, kita tak bisa memutar kembali waktu tersebut. Belajar kehidupan tak harus dibangku sekolah, di mana, siapa dan apa pun bisa jadi gurunya.

‘Engkuk dhisik’, atau bahkan cukup kata ‘sik’ adalah kependekan dari ‘mengko dhisik’, dalam bahasa Indonesia sama dengan frasa ‘nanti dulu’. Ada beberapa varian frasa ini seperti ‘kosik’, kokik’ yang sebenarnya kependekan dari ‘mengko dhisik’ juga. Secara harfiah memiliki makna ‘tunggu’, namun pemaknaan bergantung dengan konteks, kondisi, atau tujuan ketika berkomunikasi.

Penggunaan frasa ‘mengko dhisik’ berfungsi sebagai jawaban yang diucapkan oleh seseorang yang semoyo atau minta tangguh ketika diajak, disuruh, dilarang, atau diminta melakukan sesuatu. Jawaban tersebut bukan berarti menolak atau tidak mau, tetapi memintanya menunggu. Lebih ekstrem, frasa ini ada kecendurungan lebih sering digunakan sebagai jawaban untuk menunda-nunda suatu aktivitas.

Tuhan memberi kita waktu selama 24 jam dalam sehari untuk bisa menggunakannya dengan tepat dan efisien menurut kebutuhan masing-masing individu. Hanya saja tak semua orang menyikapi dengan bijak dan menggunakan waktu yang mereka punyai dengan sebaik-baiknya. Bahkan mungkin juga telah abai atau lalai untuk memahami konsep bahwa waktu itu sangat berharga.

Seseorang dengan kebiasaan menunda-nunda suatu aktivitas tentu berbeda dengan orang yang malas. Orang malas biasanya menunda-nunda suatu aktivitas ketika dirinya bingung menghadapi suatu kesulitan, terlalu lelah, jenuh, atau bosan. Sedangkan kebiasaan menunda-nunda, apalagi sampai kronis, bisa berdampak serius pada kehidupan sehari-hari, bahkan berpotensi menjadi masalah yang lebih serius.

Begitu sangat pentingnya waktu, melalui Surah Al-‘Asr ayat 1 – 3, Allah SWT memperingatkan kita dengan penekanan bahwa manusia akan berada dalam kerugian jika tidak mampu memanfaatkan waktunya untuk hal-hal yang positif dan produktif. Waktu itu sesuatu yang mutlak, dia terus berjalan secara konstan, selalu ada, dan tak bisa diubah maupun di-restart seperti yang kita mau.

Lantaran “ngilangi engkuk dhisik” dari Ca Nang, itu sebagai pengingat kita agar gunakan waktu sebaik-baiknya. Terutama untuk hal-hal terkait dengan kebaikan, sebaiknya jangan tunda-tunda lagi. Segerakan. Menyegerakan melakukan kebaikan adalah bentuk kita beryukur atas dua nikmat, yakni nikmat sehat dan waktu luang.

Sehat dan waktu luang merupakan dua momen yang tepat untuk segera melakukan kebaikan, sebelum datang sakit dan waktu yang sempit. Yukk, kita kurangi atau bahkan tinggalkan ‘engkuk dhisik’.

You may also like

2 thoughts on ““Engkuk Dhisik” (Jw), Kebiasaan yang Tak Gampang Dihilangkan”

  1. Avatar
    Endang Sulistijorini

    melaui Cak Nang , Allah SWT telah mengingatkan ya Pak Ali surah Al Asr. daaan, jadilah tulisan, semoga tidak hanya menginspirasi tapi bisa mengubah kebiasaan kita…di semua kegiatan…Aamiiin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *