“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu

“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Share this :

Surabaya Walking Tour (SWT), sebuah acara mengajak jalan-jalan atau bersepeda blusuk’an di kawasan Surabaya, khususnya ke tempat-tempat bernilai sejarah terkait perkembangan Kota Surabaya bagi siapa pun yang tertarik kesejarahan. Acara “Exploring Toendjoengan” kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati (KMH), yakni komunitas penyandang tunanetra, sebagai pemandu, Minggu (18/12/2022) sore.

Rute SWT dimulai dari Hotel Majapahit Jalan Tunjungan Surabaya hingga Gedung Kantor PT PLN Area Surabaya Utara Jalan Gemblongan Surabaya. Diikuti 30 orang peserta, tak hanya berasal dari warga lokal Surabaya, namun ada yang berasal dari Bogor, Yogyakarta, dan Semarang. Mereka dari berbagai latar belakang profesi, dan tak hanya orang dewasa saja, namun ada mahasiswa, siswa SMA, bahkan siswa SD.

Danny Heru Dwi Hartanto, salah seorang dari KMH, dibantu dengan menggunakan pengeras suara, dia menjelaskan sejarah seputar Jalan Tunjungan, Hotel Majapahit, dan perobekan bendera Belanda bagian warna birunya. Meski tidak tahu lokasi tepatnya di mana, Dannny cukup detail menceritakannya. Danny tidak datang sendiri, namun bersama Prana Carenza, dan Joko Winarko

“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Danny membuka acara Surabaya Walking Tour
“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Danny membuka acara Surabaya Walking Tour

“Sepurane, meski saya tak dapat melihat, yang jelas lokasinya di belakang saya,” kelakar pria Alumnus Magister Kebijakan Publik (MKP), Fisip Unair, kepada peserta Exploring Torndjoengan.

Menunjukkan secara visual detail bangunan atau lokasi memang tidak mereka kuasai, apalagi menceritakan titik peristiwanya. Namun, jangan salah persepsi, mereka dapat bercerita dengan runtut. Berkat pendampingan SWT, penyandang tunanetra yang tergabung di KMH serius belajar tempat-tempat bernilai sejarah di Surabaya, di samping belajar bagaimana menjadi pemandu wisata.

“Meski kami penyandang tunanetra, kami merasa bangga bisa menjelaskan kepada peserta terkait dengan tempat-tempat bersejarah di Kota Surabaya. Kami telah diberi kesempatan menjadi bagian dari kota ini, tak memandang siapa dan apa latar belakang kami,” pungkas pria yang juga pandai memainkan gitar.

Sementara itu, Ady Setyawan, penggagas Surabaya Walking Tour, yang juga pendiri Roode Brug Soerabia, menuturkan bahwa sebelum kegiatan “Exploring Toendjoengan” lebih dulu diadakan pendampingan untuk persiapan. Saat itu, anggota KMH dibekali materi sejarah tentang kawasan sekitar Hotel Majapahit, Jalan Tunjungan, hingga Gedung Kantor PLN Area Surabaya Jalan Gemblongan.

“ Memang tidak mudah, semuanya butuh waktu untuk pendampingan mereka. Selain diberikan materi tempat-tempat bersejarah, Danny dan rekan-rekannya dilatih pula bagaimana cara menjadi pemandu wisata.” tambah pehobi lari dan bersepeda.

“Exploring Toendjoengan” yang dipandu KMH dijelaskan bahwa dari Jalan Tunjungan sampai Jalan Gemblongan, tiap gedung ada kisah apa, sejarahnya apa, ada peristiwa apa, terutama kaitanya dengan revolusi, itu tadi dijelaskan sama teman-teman KMH. Tidak hanya memberi penjelasan secara verbal, mereka juga memberi gambaran visual tempo dulu dengan membawa foto-foto lama, lanjutnya.

“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Sambil jalan-jalan peserta mendapatkan cerita seputas Jalan Tunjungan hingga Jalan Gemblongan
“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Peserta mendapatkan penjelasan seputas peristiwa penyobekan warna biru bendera Belanda

“Foto-foto lama yang menceritakan peristiwa perjuangan di Jalan Tunjungan dan Gemblongan kami bawa. Foto-foto besar tersebut menggambarkan waktu perang Surabaya. Ada tank yang hancur di sini, kenapa ada monumen di sini, itu kami ceritakan kisah-kisah di baliknya,” pungkas Ady Setyawan.

Dety Riani Ratnasari, peserta Surabaya Walking Tour dari Bogor, menceritakan bahwa mengikuti Surabaya Walking Tour ini baru pertama kali. Ia tahu acara ini dari akun instagram @surabayawalkingtour. Lantaran kesukaan dan ketertarikannya pada bangunan-bangunan zaman Belanda dan cerita zama Jepang, ia langsung mendaftar sebagai peserta. Ketika berkunjung di suatu kota, ia pasti mencari apakah ada walking tour-nya.

“Kalau Surabaya Walking Tour ini baru pertama kali. Saya suka bangunan bersejarah, terutama dari zaman Belanda sama cerita zanan Jepang. Tadi pagi sih saya keliling-keliling sendiri melihat bangunan-bangunan bersejarah, tapi kan belum ada yang cerita. Makanya dari kemarin saya daftar untuk ikut. Pengin tahu ceritanya, apa sih yang bisa didapat cerita di sini. Kalau main di suatu kota, saya pasti cari apakah ada walking tour-nya, kalau jadwal cocok dan kuota masih ada, saya pasti ikut,” tambah Dety

Sementara itu, Ardiana Yosephine, salah satu peserta yang berasal dari Yogyakarta mengatakan bahwa kesempatan mengikuti Surabaya Walking Tour ini baru pertama kali. Informasi acara ini ia peroleh dari akun instagram @adysetyawan1403 dan akun @surabayawalkingtour. Lantaran ketertarikannya untuk mengetahui sejarah kota baru baginya lantas ia mendaftar sebagai peserta.

“Saya dari Yogyakarta, ini baru pertama kali mengikiti acara ini, saya tahunya dari akun instagramnya Pak Ady Setyawan, kebetulan saya dengan Pak Ady Setyawan kenal, ketemu dalam suata acara. Untuk acaranya cukup menarik, jika nanti ada acara saya pun ingin ikut lagi. Kalau bagi saya, ini kota baru dan menarik untuk tahu bagaimana sejarah kotanya,”

“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Sebagian peserta Surabaya Walking Tour
“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Sebagian peserta Surabaya Walking Tour

Tempat Bersejarah di Kasawan Tunjungan hingga Gemblongan

Jalan Tunjungan

Jalan Tunjungan menjadi jantung kota sekaligus ikon Surabaya. Jalan yang membentang arah utara selatan itu memang sarat sejarah. Dulunya, Tunjungan adalah koridor penghubung antara Kota Lama (Kota Indisch, 1870 – 1900) dan Kota Baru (Kota Gemeente, 1905 – 1940). Jalan tersebut tumbuh dan berkembang sebagai shopping street dengan shopping arcade (pusat perbelanjaan).

Jalan Tunjungan menjadi kawasan komersial sejak kawasan perumahan pertama kali dibangun di Surabaya. Yakni pada tahun 1899 di daerah Simpang (saat ini kawasan Bambu Runcing, Jalan Panglima Sudirman). Jalan Tunjungan menjadi pusat perdagangan sejak tahun 1888 karena dilalui jalur lintasan trem, yakni rute Krian – Wonokromo – Jembatan Merah.

Tunjungan yang menawan membuat mlaku-mlaku di jalanan ini adalah sebuah gaya hidup. Saat itu mengajak keluarga dan handai taulan ke Tunjungan menunjukkan status sosial yang tinggi. Kebiasaan pelesiran inilah kemudian lahir lagu keroncong yang melegenda, Rek Ayo Rek, karya Is Haryanto yang dipopulerkan Mus Mulyadi. Kini Jalan Tunjungan dibangkitkan kembali oleh Pemkot Surabaya dengan “Tunjungan Vaganza”.

Jalan Tunjungan tempo dulu (foto KIT LV/Surabaya Tempo Dulu)

Hotel Majapahit

Dilansir dari Wikipedia, Hotel Majapahit adalah sebuah hotel mewah bersejarah di Jalan Tunjungan, Surabaya. Dulunya, bernama LMS, lalu Hotel Oranje dan kemudian Hotel Yamato, dan juga Hotel Hoteru. Saat ini, Hotel Majapahit yang dibangun pada tahun 1910 oleh Sarkies Bersaudara dari Armenia tersebut sudah berubah menjadi hotel mewah bintang lima dengan total 143 kamar di lantai satu dan dua.

Salah satu momen yang paling dikenal di hotel ini adalah peristiwa perobekan bagian warna bitu bendera Belanda pada tanggal 19 September 1945, yaitu Insiden Bendera. Peristiwa bermula ketika sekelompok orang Belanda yang dipimpin Mr. Ploegman mengibarkan bendera Belanda (Merah Putih Biru) di puncak sebelah kanan hotel.

Para pejuang dan pemuda Surabaya naik ke menara tempat bendera dikibarkan, dan merobek warna biru pada bendera Belanda, yang berwarna merah, putih dan biru. Dengan demikian, bendera itu menjadi merah putih yaitu bendera Republik Indonesia. Insiden bendera itu mengakibatkan terbunuhnya Mr. Ploegman, dan beberapa pejuang Surabaya gugur juga.

“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Danny menjelaskan tentang Hotel Majapahit dan peristiwa sejarahnya
“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Danny menjelaskan tentang Hotel Majapahit dan peristiwa sejarahnya

F.J. Fuchs

F.J. Fuchs adalah bisnis perlengkapan harnes, sadel, buggy, horse, carriage, ban dan mobil yang berkantor pusat di Batavia, Hindia Belanda, dengan toko dan bengkel di berbagai kota di Jawa dan di Medan, Sumatera. Perusahaan ini kemudian dikenal sebagai Fuchs en Rens. Fuchs & Rens adalah pemasok utama mobil dan ban meninggalkan warisan bangunan di berbagai kota di Indonesia, sebagaimana dilansir dari Wikipedia.

Pada tahun 1911 dibuka kantor cabang di Soerabaia (Surabaya), dekat Hotel Oranje dan mempekerjakan 200 orang. Pada tahun 1915, D.D. Rens, cabang Booheen Fuchs di Medan, Surabaya, Jakarta dan Semarang merupakan dealer Hudson Automobiles. Bengkel Fuchs en Rens (Fuchs and Rens) dan dealer mobil termasuk satu di Surabaya di atas tanah yang dibeli pada tahun 1910 seluas 3951 m2 di Jalan Tunjungan, dan selesai pada tahun 1913.

“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Gedung F.J. Fuchs
“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Peserta foto bersama berlatar belakang Gedung F.J. Fuchs

Gedung Ruang Pamer Dinas Perdagangan Gementee Soerabaia

Sejak awal abad XIX Surabaya sudah menjadi kota modern, Surabaya lebih bagus dan lebih hidup daripada Batavia. Di dalam kota terdapat banyak gedung-gedung kantor dagang maupun pasar. Surabaya berkembang tidak hanya sebagai kota dagang, tetapi juga sebagai kota industri maupun kerajinan. Hal ini terlihat dari banyaknya pabrik- pabrik maupun sentra kerajinan di Surabaya.

Awal abad XX kota-kota besar di Jawa sebagian besar menjalankan fungsinya sebagai pusat-pusat administratif dan komersial. Kota-kota pelabuhan utama di Jawa menjadi pusat komersial karena memiliki fungsi ekonomi. Fungsi ekonomi yang dimaksud adalah memproduksi hasil bumi untuk perdagangan seperti gula, kopi, dan teh yang dijual untuk pasar internasional.

Gedung tersebut berfungsi untuk mengadakan pameran permanen mesin, bahan bangunan, perkakas, dan barang-barang teknis terkait. Calon pembeli akan menemukan di sini gambaran yang jelas tentang apa yang dapat diperoleh. Oleh karena itu tidak mengherankan jika ada antusiasme untuk menyewa stan. Apalagi untuk usaha yang tidak terletak di jalan besar, ini kesempatan yang bagus untuk mendapatkan showroom dengan harga terjangkau di salah satu stand terbaik surabaya.

“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Gedung Ruang Pamer Dinas Perdagangan Gementee Soerabaian masih berdiri hingga kini
“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Peserta mendapat penjelasan tentang Gedung Ruang Pamer

Toko Ciyoda (Tjijoda) Surabaya

Mengutip dari akun facebook Purnawan basundoro, dalam beberapa tulisan di berita online disebutkan bahwa Toko Ciyoda Surabaya menempati bekas Toko Whiteaway (sekarang gedung Siola). Berdasarkan penelusuran yang dilakukannya, tulisan tersebut kurang tepat karena ternyata Toko Ciyoda menempati bangunan yang berbeda dengan bangunan Toko Whiteaway.

Toko Ciyoda berada di Jalan Tunjungan nomor 5, sedangkan Toko Whiteaway berada di Jalan Tunjungan nomor 1, atau sering disebut juga di Jalan Genteng nomor 1. Dengan demikian, kedua toko tersebut dipisahkan oleh satu toko yang berada di Jalan Tunjungan nomor 3. Toko Ciyoda merupakan toko yang dimiliki oleh pengusaha Jepang Okano Shigezo.

Dibuka pertama kali di Kota Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1933. Sepuluh hari sebelum dibuka, di harian Soerabaiasch Handelsblaad sudah terpasang iklan tentang akan dibukanya toko Jepang tersebut, yang akan dimeriahkan dengan pertunjukkan tandak wayang dari Solo serta pementasan tarian Cherry Dances yang akan dibawakan oleh gadis Jepang yang cantik-cantik.

Baik Toko Whiteaway maupun Toko Ciyoda barulah tutup ketika bala tantara Jepang menduduki kota Surabaya tahun 1942. Toko Whiteaway tutup karena seluruh orang Eropa di Kota Surabaya pulang ke negeri asalnya, kalaupun ada yang masih tinggal di Kota Surabaya mereka dimasukan ke interniran oleh tantara Jepang. Sedangkan Toko Ciyoda tutup karena nyaris semua orang sipil Jepang di berbagai kota di Indonesia ditarik pulang ke Jepang.

“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Toko Ciyoda (sumber : Facebook Purnawan Basundoro)
“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Toko Ciyoda yang masih tersisa kini

Gedung Siola

Dilansir dari Surabaya.liputan6.com, Gedung Siola bermula pada 1877, yaitu ketika investor berkebangsaan Inggris bernama Robert Laidlaw membangun gedung tersebut untuk dijadikan tempat bisnisnya. Saat itu, ia menamakan pusat perkulakan di gedung itu Het Engelsche Warenhuis. Ia bahkan sempat menjadi pengusaha tekstil terbesar saat itu dan memiliki usaha bernama Whiteaway Laidlaw.

Sepeninggal pemiliknya, kejayaan keluarga Laidlaw berakhir di sektor perdagangan pada 1935. Setelah Jepang masuk gedung tersebut dibeli oleh pengusaha asal Jepang. Setelah merdeka toko tersebut berganti nama menjadi Toko Siola. Siola dimiliki oleh beberapa konglomerat Indonesia saat itu, dan adalah akronimnya menjadi Siola, dari nama: Soemitro-Ing Wibisono-Ong Liem-Ang.

Setelah Sekutu datang ke tanah Surabaya, Jepang tunduk kalah kepada Sekutu, lantas gedung menjadi kosong tak berpenghuni. Pada 1945, bangunan ini menjadi gedung pertahanan masyarakat Surabaya untuk menghindari serangan Sekutu yang datang dari utara, sehingga pantas disebut gedung perjuangan pemuda Surabaya. Kini menjadi Museum Surabaya dan Pusat Pelayanan Perizinan dan Dokumen Kependudukan.

“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Gedung Siola. Peserta foto bersama
“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Gedung Siola. Peserta foto bersama

Kantor PLN Area Pelayanan Jaringan (APJ) Area Surabaya Utara

Bangunan kuno berlantai tiga, dan didominasi oleh lengkungan-lengkungan pada fasadnya, bangunan tersebut adalah PLN APJ Area Surabaya Utara saja. PLN ini terletak di Jalan Gemblongan No. 64 Kelurahan Alun-Alun Contong, Kecamatan Bubutan, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Gedung ini dulunya merupakan gedung N.V. Algemeene Nederlandsch-Indische Electriciteis Maatschappij (ANIEM), sebagaimana dilansir dari kekunaan.blogspot.com.

ANIEM merupakan perusahaan yang berada di bawah N.V. Handelsvennootschap yang sebelumnya bernama Maintz & Co. Perusahaan ini berkedudukan di Amsterdam dan masuk pertama kali ke Kota Surabaya pada akhir abad ke-19 dengan mendirikan perusahaan gas yang bernama Nederlandsche Indische Gas Maatschappij (NIGM). ANIEM berdiri pada tahun 1909, perusahaan ini diberi hak untuk membangun beberapa pembangkit tenaga listrik berikut sistem distribusinya di kota-kota besar di Jawa.

Pada masa Pertempuran Surabaya 1945 gedung ini pun mempunyai peran penting, mengingat lokasinya berdekatan dengan Alun-Alun Contong. Pada masa revolusi kemerdekaan 1945 sekitar Alun-Alun Contong berkobar pertempuran di Kota Surabaya, dan pemboman pihak musuh (Inggris, Gurkha, dan Nica) yang dilancarkan dari darat, laut dan udara sehingga Surabaya menjadi lautan api.

Gedung ini pula pernah menjadi Sekolah Radio, di antara siswanya adalah Pramoedya Ananta Toer dan Des Alwi Abubakar, anak angkat Bung Hatta ketika pengasingan di Banda Neira. Radio merupakan sarana penting terkait penyiaran berita seputar kemerdekaan dan pergerakan. Jepang sangat ketat mengawasi dan mengadakan sensor pemberitaan.

“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Kamtor PLN Jalan Gemblongan Surabaya
“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Peserta mengamati prasasti di tembok depan Gedung PLN Jalan Gemblongan
“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Peserta mengamati foto lama Gedung PLN Jalan Gemblongan

Serba-Serbi

Peserta foto bersama berlatar belakang Gedung F.J. Fuchs
“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Peserta foto bersama berlatar belakang Gedung F.J. Fuchs
Peserta foto bersama berlatar belakang Gedung F.J. Fuchs
Rony (berkaos putih) menyerahkan cindera mata berupa kliping kegiatan Surabaya Walking Tour kepada Komunitas Mata Hati
“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Rupanya belum puas mengamati foto lama Gedung PLN Jalan Gemblongan
“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Jalan kaki sekitar 2 km masak sudah capek sih!
“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Dety Riani Ratnasari, peserta dari Bogor, foto bersama Ady Setyawan
“Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu
Foto bersama di finish depan Hotel Majapahit

You may also like

2 thoughts on ““Exploring Toendjoengan”, Surabaya Walking Tour Kolaborasi dengan Komunitas Mata Hati, Komunitas Tunanetra, sebagai Pemandu”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *