Masjid merupakan sarana untuk pemenuhan kebutuhan spiritual tak sekadar berfungsi sebagai tempat beribadah, yakni salat wajib maupun salat sunah. Keberadaannya juga merupakan pusat kegiatan sosial, pusat pendidikan agama juga sebagai sumber kemakmuran masyarakat di sekitarnya. Fungsi itu sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW pada saat itu.
Perkembangan yang terjadi saat ini, masjid memiliki pengertian khusus dalam segi kebahasaan menjadi kata baku, yakni suatu bangunan sebagai tempat salat. Ketika masyarakat menyebut masjid, maka yang dimaksudkan adalah tempat melaksanakan ibadah salat Jumat. Setiap tempat salat yang tidak dipergunakan untuk ibadah salat Jumat, tempat itu tidak disebut masjid.
Untuk mengembalikan fungsi masjid sebagaimana fungsi masjid pada zaman Rasulullah SAW, Yayasan Global Spirit of Ummah menggandeng Yayasan Mannarul Ilmi (YMI) ITS – Waqaf Desain Masjid, Financial Technology (Fintech) Syariah, dan Asosiasi Developer Property Syariah (ADPS) akan membangun masjid di Kompleks Universitas Islam Negeri (UIN) Mahmud Yunus Batusangkar, Tanah Datar, Sumatra Barat.


Desain masjid yang terdiri atas lima lantai, berkapasitas 10.000 orang, di atas tanah seluas sekitar hektar karya Teddy A. Permana, YMI ITS – Waqaf Desain Masjid, menggambarkan masjid tak hanya sebagai tempat beribadah. Namun, dengan dilengkapi berbagai sarana pendukung fungsi masjid selain digunakan untuk penunjang kegiatan masyarakat kampus, juga masyarakat di luar kampus.
Konsep perencanaan bangunan Masjid UIN Mahmud Yunus Batusangkat, Tanah Datar, Sumatra Barat ini dirancang sedemikian rupa dengan berbasis struktur masjid pada zaman Nabi Muhammad SAW. Sehingga keberadaan masjid dapat mengakomodir seluruh kegiatan-kegiatan yang akan menjadi suatu ekosistem baru, sarana ekonomi umat syariah, juga sebagai sarana halal tourism atau wisata halal dengan melengkapi berbagai sarana pendukung.
Masjid UIN dengan Konsep Halal Tourism
Farrel Muhammad Rizqy, Yayasan Global Spirit of Ummah, menuturkan bahwa masih banyak publik beranggapan keliru tentang pengertian wisata halal. Minimnya literasi menyebabkan sebagian masyarakat beranggapan bahwa wisata halal terkait dengan ajaran dan simbol Islam. Wisata halal dipahami sebagai islamisasi terhadap dunia pariwisata, padahal bukan seperti itu.
“Perspektif wisata halal bukan mengubah objek wisata menjadi halal. Halal yang dimaksud adalah penyediaan pangan yang disajikan dalam restoran, ketersediaan tempat ibadah dan hotel yang dapat memiliki standar kehalalan, juga terkait masalah kesehatan dan higienitas,” tutur pria yang lebih dikenal dengan sapaan Ustadz Farrel.

Ustadz Farrel menambahkan, konteks wisata halal ada pada layanan, bukan mengubah objek atau alam wisata lainnya. Banyaknya wisatawan Muslim membutuhkan beberapa hal penting terkait ajaran agama yang harus dipatuhi. Misalnya, arah kiblat, tempat sholat, makanan dan minuman halal serta level kesehatan lingkungan dan higienitas makanan. Ini yang akan dikembangkan dalam pembangunan masjid UIN Batusangkar.
Wisata halal, lanjutnya, merupakan adopsi dari negara-negara non-Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang melihat potensi besar dari pertumbuhan Muslim di seluruh dunia. Wisata halal diciptakan untuk mewadahi kebutuhan beribadah bagi para muslim di negara- negara non-OKI, seperti penyediaan tempat ibadah atau musala dan restoran halal.
“Thailand, Malaysia, Singapura, Jepang, Korea, Australia, Selandia Baru, Inggris, dan Prancis merupakan negara yang cepat menangkap peluang pelayanan wisata halal. Wisata halal juga bukan membatasi gerak-gerik wisatawan. Para wisatawan, terutama wisatawan asing tetap bebas melakukan kebiasaan ketika berwisata,” lanjut salah satu anggota Dewan Pengawas Bank DKI Syariah.
Selain berkaitan dengan urusan makanan dan minuman dan pengelolaan destinasi, pariwisata halal juga berkaitan bagaimana di destinasi wisata halal terdapat perbankan syariah atau pengelolaan keuangan bersyariah. Bahkan, bila perlu ada paket tour wisata syariah. Yang tidak kalah penting dari wisata halal yakni menciptakan lingkungan bebas dari sampah dan kebersihan toilet, pungkas Ustadz Farrel.


Sementara dalam acara Weekly Press Briefing Kemenparekraf, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, menekankan bahwa wisata halal bukan berarti islamisasi wisata atraksi. Artinya, memberikan layanan tambahan yang terkait dengan fasilitas, turis, atraksi, dan aksesibilitas untuk memenuhi pengalaman dan kebutuhan para wisatawan muslim, Senin (20/6/2022).
Sandiaga Uno menyatakan bahwa wisata halal merupakan layanan tambahan atau extension of services yang ditujukan bagi wisatawan Muslim. Wisata halal bukan berarti semua tempat wisata harus sesuai dengan ajaran Islam. Konteks konsep wisata halal ini sejatinya menyatukan keberagaman Indonesia, alih-alih mengusung suatu agama tertentu.