Niat bersepeda semula ingin ke kawasan Surabaya Kota Lama, yakni di sekitaran Jalan Karet, Jalan Gula, Jembatan Merah, Jalan Kembang Jepun, Jalan Panggung, dan ke Museum Bank Indonesia, kemudian mampir di rumah sahabat, Mas Alwi Hadi, di Kebalen Wetan. Sudah lama sepeda kuno, atau āsepeda keboā orang menyebutnya, tidak saya kendarai, berdebu, dan semakin menebalkan karatnya. Ditemani Mas Denny Hidayat, kami berangkat pukul 06.00, Selasa (1/6/2021).
Untuk mendukung kesan kekunoan agar selaras dengan sepeda, saya tak mengenakan kostum bebas. Apalagi pakai kostum semacam jersey, mungkin malah akan jadi bahan tertawaan di sepanjang perjalanan. Sebenarnya ada kostum komunitas sepeda kuno juga, namun enggan untuk memakai, kesannya malah jadi ke masa kolonial karena bertopi polka ala Kompeni. Akhirnya, cukup kenakan baju surjan Yogyakarta, celana hitam kombor, dan berblangkon untuk penahan terik matahari.


Setelah ambil beberapa foto di Jalan Gula, yang merupakan spot foto sejuta umat, kami bergeser ke Jembatan Merah. Sebuah jembatan sebagai saksi perjuangan Arek-arek Suroboyo mempertahankan kemerdekaan melawan Sekutu yang membonceng āpenumpang gelapā Belanda yang masih bernafsu berkuasa atas wilayah yang saat itu sudah menjadi Republik Indonesia, seperti yang ditulis di buku ‘Kronik Pertempuran Surabaya ā Media Asing dan Historiografi Indonesia’ karya Ady Setyawan.
Ketika di Jembatan Merah inilah saya bertemu dengan Cak Ratno, sang senior mantan fotografer Humas Pemkot Surabaya, bersama kawan-kawan dari komunitas fotografi āPerkumpulan Senifoto Surabaya (PSS) yang sedang hunting foto dalam rangka ulang tahun PSS yang ke-55 pada 1 Juni 2021. Mungkin lantaran dandanan saya yang ānjawaniā, tak seperti biasanya itu, lantas beberapa kawan-kawan minta saya menjadi bagian dari acara hunting tersebut. Menjadi āmodel dadakanā.
āWah, kalau begitu, Pak Ali Muchson saja diminta untuk jadi modelnya,ā ujar Koko Budi Lim, salah satu pengurus PSS.


Kilas Balik tentang Sepeda
Kali pertama memiliki sepeda, kemudian belajar mengendarainya adalah pengalaman hidup yang hampir dilakoni oleh setiap orang. Meski di kaki, tangan, atau bagian lain dari tubuh ada luka akibat jatuh dari sepeda saat belajar, itu yang menjadikan kita mahir bersepeda hingga sekarang. Belajar mengayuh sepeda saat masih berusia anak-anak adalah kenangan yang sulit dilupakan begitu saja. Mungkin bekas luka pun masih ada hingga kini. Jatuh bangun dari sepeda hal yang biasa, bukan?
Bersepeda melatih otot kaki seseorang lebih kuat, membuat tubuh lebih bugar, dan mengurangi konsumsi bahan bakar karena sepeda tanpa roda penggerak bertenaga mesin. Kehadirannya sebagai alternatif cukup populer untuk menggantikan kendaraan bermotor, mengurangi polusi. Sepeda sebagai alat transportasi yang sederhana dan berkelanjutan, bersepeda meremajakan kesehatan fisik dan mental seseorang, serta baik untuk ekonomi, dan perbaikan lingkungan.


Dirilis dari nationaltoday.com/world-bicycle-day, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan Hari Sepeda Sedunia setiap tanggal 3 Juni karena berbagai alasan. Meski mendasar, namun dampak sepeda pada kehidupan masyarakat cukup transformatif, bahkan sekelompok orang yang paling miskin pun, atau sekelompok orang yang belum beruntung secara ekonomi, bisa mendapatkan akses transportasi dasar, yakni dengan menggunakan sepeda.
Semuanya dimulai ketika Profesor Leszek Sibilski yang berbasis di AS memulai kampanye akar rumput dengan kelas sosiologinya untuk mempromosikan resolusi PBB yang akan menandai hari untuk advokasi dan perayaan sepeda sederhana di seluruh dunia. Pada 2015, Sibilski mendedikasikan dirinya pada projek akademis, mengeksplorasi sepeda tentang peran dan dalam perkembangannya.


Projek Sibilski melesat menjadi gerakan besar-besaran yang didukung oleh ‘Mobilitas Berkelanjutan untuk Semuaā, dan menghasilkan hari internasional khusus yang ditetapkan oleh PBB untuk promosi bersepeda. Pada 12 April 2018, resolusi menyatakan 3 Juni sebagai Hari Sepeda Sedunia (World Bicycle Day) dengan suara bulat diadopsi oleh 193 negara anggota Sidang Umum PBB. Resolusi tersebut sangat didukung oleh Turkmenistan dan disponsori bersama oleh sekitar 56 negara.
Logo yang menampilkan pengendara sepeda yang mengendarai berbagai jenis sepeda di seluruh dunia dirancang oleh Isaac Feld, dengan animasi pendamping yang dibuat oleh Profesor John E. Swanson. Pesannya di sini adalah bahwa alat sederhana melayani seluruh umat manusia dan menjembatani kesenjangan antara orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat. Kedua desainer juga menciptakan logo biru dan putih saat ini untuk tujuan tersebut.


Ulah Sebagian Pesepeda Jadi Sorotan Netizen
Bermula lantaran pandemi Covid-19, penggunaan transportasi umum telah turun secara signifikan lantaran semakin banyak orang memilih berjalan atau naik sepeda untuk menghindari angkutan massal yang padat dan untuk mengikuti anjuran otoritas kesehatan dengan menjaga jarak fisik. Beberapa Negara seperti Milan, Jenewa, Brussels dan London telah memutuskan untuk berinvestasi di jalur sepeda yang fleksibel dalam rangka merespons tren ini.
Sedangkan di Indonesia, hampir di seluruh kota-kotanya marak dipadati oleh lalu lalang orang bersepeda. Entah untuk keperluan olahraga menjaga imun tubuh, sebagai moda transportasi, atau sekedar hanya ikuti trend yakni ramai-ramai bersepeda. Mereka bisa disimpulkan menjadi dua kelompok, pertama memang pesepeda asli atau pehobi bersepeda, sedang kelompok kedua mereka yang sekedar mengikuti tren. Yang kedua ini akan punah dalam kurun waktu yang tak terlalu lama.


Lepas dari kedua kelompok tersebut, akhir-akhir ini beberapa perilaku pesepeda menjadi sorotan para nitizen di berbagai media sosial, terutama perilaku yang tidak simpatik dan arogan. Arogansi rombongan pesepeda kerap menjadi pergunjingan. Masih ada yang tak mematuhi rambu lalu lintas, menyerobot traffic light saat tanda lampu masih berwarna merah, melintas di bagian tengah jalan sehingga menghalangi pengguna jalan lain, berjajar lebih dari dua pesepeda sambil mengobrol, atau perilaku lain yang menimbulkan pengguna jalan yang lain jengkel.
Akibatnya, perilaku arogansi dari sebagian pesepeda jadi stigma negatif bagi pesepeda secara umum. Lantaran itu, jangan sampai akhinya terjadi pukul rata menjadi sebuah kesimpulan ke semua pesepeda, bahwa semua pesepeda adalah arogan ketika di jalan. Padahal kenyataannya tidak demikian, pesepeda yang taat rambu-rambu lalu lintas, sopan santun, menghormati hak pengguna jalan yang lain jumlahnya jauh lebih banyak.


Ady Setyawan, ketua Komunitas Roode Brug Soerabaia, menuturkan salah satu parameter kota yang maju bisa dilihat bagaimana mereka menata sistem transportasinya. Transportasi publik dan sepeda mendominasi, ini masih bertentangan dengan realita di jalanan Kota Surabaya. Untuk itu, ia berharap agar Pemkot mencurahkan perhatian khusus pada sepeda dalam strategi pembangunan lintas sektoral, juga untuk memasukkan sepeda dalam kebijakan dan program pembangunan.
āSemoga dengan peringatan Hari Sepeda Dunia ini, bisa makin meluas kesadaran kolektif masyarakat untuk beraktivitas dengan sepeda, untuk lingkungan yang lebih baik, demi tubuh yang lebih sehat. Di samping Pemerintah Kota juga memberikan ruang yang cukup aman bagi pesepeda,ā tutur pria, bersepeda telah menjadi habit-nya.
Lebih lanjut Ady Setyawan menambahkan, meski tampaknya akhir-akhir ini di jalanan jumlah pesepeda mulai turun lagi, namun peraturan tetap dibutuhkan untuk membangun budaya masyarakat. Yakni, budaya tertib berlalu lintas, sopan santun dijaga, dan menghargai hak pengguna lalu lintas yang lain. Mengingat banyak yang mengeluhkan bahwa jalan menjadi rebutan untuk berbagai jenis kendaraan.


Sementara itu, Cak Zaenal, pegiat Suroboyo Cycling institute atau Subcyclist, mengharapkan Pemkot Surabaya hendaknya melaksanakan amanat undang-undang adalah sebuah keharusan. Apalagi Kementerian Perhubungan telah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 59 tahun 2020 tentang Keselamatan Pesepeda di Jalan, harapannya Pemkot memberikan hak jalur jalan yang memadai bagi pesepeda.
āMengingat, pesepeda merupakan pengguna jalan yang sangat rentan, maka pemenuhan terhadap jalur sepeda perlu segera diwujudkan perluasannya di beberapa jalan wilayah Surabaya yang belum ada jalur sepeda,ā harap Cak Zaenal.
Cak Zaenal menambahkan, bagi teman-teman pesepeda, apa pun jenis sepeda Anda, teruslah bersepeda meski pemerintah belum memenuhi hak-hak yang cukup memadai bagi kita, para pesepeda. Tetaplah sopan santun dijaga, dan berbagi jalan dengan pengguna lalu lintas yang lain. Pokokāe #wanimancal, tetapi tetap jaga keselamatan diri sendiri, dan keselamatan orang lain.

*
Bersepeda itu jadikan tradisi. Kita semua memiliki kenangan indah saat bersepeda di lingkungan sekitar kita sebagai anak-anak dengan sepeda favorit kita, dengan aksesori seperti bel dan keranjang. Tumbuh dewasa, bersepeda telah menjadi ritual perjalanan, dan signifikansinya hanya meningkat seiring waktu. Baik itu sepeda jenis roda dua biasa, sepeda gunung, road bike, atau sepeda dengan roda tambahan.
Yuukk, kita rayakan Hari Sepeda Sedunia atau World Bicycle Day 2021 hari ini, 3 Juni 2021, dengan kegembiraan bersepeda. Tetap jaga keselamatan diri dan keselamatan orang lain. Tunjukkan bahwa Anda adalah seorang pesepeda yang patuh aturan berlalu lintas, sopan, simpatik, dan menghormati hak pengguna jalan yang lain sehingga tak mendapatkan lebel sebagai pesepeda yang arogan.

Sepeda kuno jadi barang antik, harganya jadi selangit.
Makin kuno, harganya pun semakin melangit juga. Lantaran pertambahan waktu, ada pertambahan nilai ekonomisnya nggih, Pak.
Sepeda ini jarang-jarang saya pakai, jika kepengin saja, harian pakai sepeda lain.
matur suwun.