“Hustle Culture” Tak Hanya Dikenal di Dunia Kerja, Kini Tumbuh Liar di Jalanan

“Hustle Culture” Tak Hanya Dikenal di Dunia Kerja, Kini Tumbuh Liar di Jalanan
Share this :

Semula istilah hustle culture dikenal di dalam dunia kerja. Situasi dunia yang begitu kompetitif, produktivitas dijunjung tinggi dan budaya gila kerja cenderung diapresiasi. Hal itu didukung lagi oleh konstruksi sosial masyarakat berpandangan bahwa tolok ukur kesuksesan hidup seseorang adalah jabatan mentereng, kondisi finansial yang baik, rumah bak istana, pakaian branded, dan kemdaraan kelas premium.

Secara etimologis, istilah hustle culture berasal dari kata bahasa Inggris, hustle, yang berarti aksi energik, mendorong seseorang agar bisa bergerak lebih cepat secara agresif. Jika dimaknakan secara bebas semacam sikap terburu-buru. Sedangkan kata culture bermakna budaya. Jadi, barangkali bisa disimpulkan bahwa hustle culture adalah kebiasaan seseorang melakukan sesuatu dengan terburu-buru dan agresif.

Lantaran dipicu hal tersebut, seseorang jadi terpacu untuk terburu-buru meraih karier secepatnya dengan segala cara. Kalau memang berdasarkan prestasi, itu suatu kewajaran. Namun, tak sedikit orang menempuh jalan pintas untuk mendapatkan jabatan dan kekayaan. Apakah dengan cara kolusi, nepotisme, atau praktik suap demi secepatnya meraih kursi empuk, maupun bertindak korupsi guna menumpuk harta.

“Hustle Culture” Tak Hanya Dikenal di Dunia Kerja, Kini Tumbuh Liar di Jalanan
Penyeberang jalan di Pelican Crossing jalan Tunjungan pada Rabu (15/3) pukul 19:36:27. Tampak motor dan mobil tak berkenti

Hustle Culture Semakin Liar di Jalanan

Pemandangan yang akrab di mata kita saat menunggu traffic light warna merah berganti hijau, ada saja sebagian pemotor menyerobot. Atau, kerap juga kita lihat ketika di zebra cross atau di pelican crossing, ada penyeberang jalan belum sampai di finis, dan tanda lampu masih warna merah, serta suara corong masih berbunyi “tet tot tet tot”, ada saja pemotor bahkan sesekali pemobil yang menerabas juga.

Seiring tuntutan agar semua harus bergerak cepat, kini hustle culture pun telah tumbuh liar di kehidupan jalanan, khususnya bagi para pengendara kendaraan bermotor. Di jalanan misalnya, sikap terburu-buru dan agresif terbukti di antara mereka yang menggeber kendaraannya dengan kecepatan tinggi tanpa memedulikan pengguna lalu lintas yang lain. Bahkan traffic light dan tanda rambu-rambu lalu lintas pun dilanggar.

Fenomena keseharian di jalan raya yang kerap terjadi hampir di semua traffic light maupun di pelican crossing tersebut jika lebih dicermati seolah dianggap sebagai pelanggaran biasa, pelanggaran kecil. Dalam hal ini, yang mereka lakukan sejatinya bukan masalah pelanggaran kecil atau besar, namun lebih kearah adanya krisis kesabaran, mengedepankan ego, terburu-buru, agresif berkendara dan abai terhadap keselamatan orang lain.

Berdasar dari James, L., & Nahl, D. (2000) dalam Road Rage and Aggressive Driving Steering Clear of Highway Warfare, ada tiga bentuk perilaku berkendara agresif. Pertama, impatience and inattention, yakni tidak sabar, tidak mau perhatian, dan tak peduli. Contohnya, yaitu melanggar traffic light dan melanggar batas kecepatan.

“Hustle Culture” Tak Hanya Dikenal di Dunia Kerja, Kini Tumbuh Liar di Jalanan
Penyeberang jalan di Pelican Crossing jalan Tunjungan pada Rabu (15/3) pukul 19:36:29. Penyeberang belum sampai finis, tampak motor dan mobil tak berkenti

Sedangkan kedua, power struggle, adalah saling berebut. Contohnya, memotong jalur dengan sengaja, mengancam atau menghina dengan kata-kata, isyarat, juga mengklason terus-menerus. Yang ketiga, recklessness and road rage, yaitu ceroboh dan marah-marah, seperti berkendara sambil mabuk dan berkendara dengan kecepatan sangat tinggi.

Sebagai gambaran betapa tinggi angka kebelakaan, dilansir dari otomotif.kompas.com, Korlantas Polri merangkum angka kecelakaan dari Januari hingga September 2022. Tercatat selama sembilan bulan tahun tersebut, jumlah kecelakaan mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Dikutipnya dari NTMC Polri (19/11/2022), selama Januari-September 2022 ada 94.617 kasus kecelakaan.

Angka kasus kecelakaan tersebut meningkat 24.000 kasus kecelakaan, atau sekitar 34,60 persen dibandingkan kasus kecelakaan tahun 2021. Sementara itu, korban meninggal dunia sampai September 2022 terdaftar sebanyak 19.054 jiwa. Data korban meninggal kurun waktu tersebut naik 683 jiwa, atau sekitar 3,72 persen dibandingkan tahun 2021.

Pemilik sarana lalu lintas bukanlah semata para pengendara kendaraan bermotor, baik beroda dua atau empat maupun beroda di atasnya, namun ada pula pejalan kaki, pesepeda, pendorong gerobak, dan lainnya. Pengguna lalu lintas yang terdiri atas berbagai kalangan itu hendaknya ada sikap saling hormat, saling berbagi demi kenyamanan, keamanan, dan keselamatan masing-masing.

*

Jalanan itu bukan lintasan pacu balap. Memacu kendaraan dengan terburu-buru, atau dengan sikap agresif itu bukan hebat, bukan jagoan. Selain dapat mencelakakan diri sendiri, juga celaka bagi orang lain. Kini jumlah pengendara kendaraan bermotor meningkat dan didukung oleh performa kendaraan kekinian. Cepat dan nyaman. Namun, ironisnya belum didukung oleh pengetahuan dan etika berlalu lintas yang benar oleh sebagian pengendaranya.

You may also like

3 thoughts on ““Hustle Culture” Tak Hanya Dikenal di Dunia Kerja, Kini Tumbuh Liar di Jalanan”

  1. Hati2 dijalan sudah tidak pernah dihiraukan bagi orang yg terburu-butu dan gila kerja.Padahal waspada saja belum cukup.Disamping waspada kita juga harus waspada terhadap orang yg kurang waspada.

  2. Betul pak Hendro….sekarang ini udah g laku alon2 waton kelakon…yang ada cepet2 ben ora ketinggalan sepur…….

    Jangankan Lalin …orang kalimat aza di singkat biar cepet selesai bacanya…..
    Contoh:
    Jngnkn lalin…org klmat za d sngkt biar cpt slse bcx

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *