Arjanti, baca Aryanti, nama ibuku. Perempuan 71 tahun adalah sosok yang sangat istimewa dan tiada duanya bagi kami, keempat anaknya. Meski sudah 20 tahun ditinggal ayah menghadap sang Pencipta, ibu tetap menjanda. Memilih membesarkan anak-anaknya dengan mengelola beberapa petak sawah tinggalan ayah, yang merupakan satu-satunya sumber penghidupan. Selain menanam padi, jagung atau kedelai, di atas āgalenganā ditanami pula kacang panjang, tomat, atau cabai. Dengan keuletan, kerja keras, kesabaran, dan doa ibu, berempat anaknya kini telah ājadi orangā. Yang nomor satu laki-laki di Balikpapan, pengusaha; nomor dua perempuan di Jakarta, pegawai pemerintah; nomor tiga, aku sendiri di Sidoarjo sebagai karyawan BUMN, dan yang bungsu perempuan, Tina, menemani ibu di kampung sambil mengelola sawah. Kami berempat sudah berkeluarga. Ibu, bagai tempat yang tak akan pernah bisa digantikan siapa pun itu, bahkan oleh ayah sekalipun. Sejauh manapun kami tinggal, baik saat kuliah dulu atau kini kami tinggal berjauhan, namun tetap saling berkabar.
āMas Anton, dua hari lagi ibu akan ulang tahun. Kebetulan kan pas hari Minggu, bisa pulang kampung gak?ā kiriman whatsapp dari adikku, Tina. Jadi kepikiran juga, beberapa hari lalu Tina mengabarkan jika ibu agak kurang enak badan. Sudah dibawa ke Puskesmas, dan dapat obat. āKata dokter, ibu cuma kecapaian,ā ujar Tina. Kalau keadaan ibu begitu, biasanya itu pertanda ada signal kalau ibu sedang kangen anak-anaknya yang tinggal di luar kota. Tak hanya aku yang paham maksud ibu, Mas Dipo, dan Mbak Asih juga tahu. Cuma ibu gak mau terus terang. āIbu gak mau repotkan kamu dan keluargamu,ā kata ibu pada suatu hari. Bagi kami, ibu tetap menjadi tempat pulang terbaik. Tak hanya tempat meyampaikan kabar, namun ia sebaik-baiknya tempat mencurahkan isi hati, tempat berbagi rahasia, maupun berkeluh kesah. Lantaran inilah, ibu sebagai sosok yang sangat istimewa, tak ada duanya. Meski terkadang ibu sangat cerewet, kami sadar bahwa semua itu dilakukannya demi kebaikan. Hari Jumat, melalui video call, Mas Dipo, Mbak Asih dan aku sepakat akan sambang ibu, sekaligus merayakan ulang tahunnya ke-71. Mas Dipo Jumat siang terbang dari Balikpapan, dan menginap di rumahku. Sedangkan Mbak Asih Sabtu pagi pesawat dari Jakarta. Bersama Mas Dipo, aku jemput Mbak Asih di Bandara Juanda.
Kami berangkat ke Bojonegoro bersama-sama. Hanya aku yang membawa istri dan kedua jagoanku, Ardi dan Mardian. Aku yang pegang kemudi. Linda, striku, sudah siapkan aneka krupuk, bandeng asap dan petis kesukaan ibu, selain kado. Entah apa yang dibawa Mas Dipo dan Mbak Asih. Apa pun yang kami bawa, semua untuk membahagiakan ibu. Perjalanan dari Sidoarjo exit di pintu Tol Ngawi, kemudian melintasi liku-liku hutan jati ke arah Cepu atau Bojonegoro. Kampung ibu 2 km dari kecamatan, melewati kampung dan persawahan, di pinggiran Begawan Solo letaknya. Handphone Mbak Asih berdering, āMbak, ibu abis salat Dhuhur mendadak ia gak sadar, telungkup di sajadahnya. Kuraba urat nadinya sudah tak ada denyut,ā suara Asih tersendat-sendar terdengar suara tangisnya. Serasa tersambar petir, mendadak gelap, bumi seakan berputar, hanya isakan tangis yang membungkam suara mesin mobil. Benarkah ibu sudah meninggal? Kenapa ia meninggal lebih dahulu? Besok Ibu ulang tahun, dan ini kami bawakan kado buatmu, Ibu! Bagaimana bisa dia meninggal di saat yang seperti ini? Tidak, kabar ini tidak benar, ibu masih hidup. Aku bisa merasakannya, ibu masih tersenyum.
Catatan :
āgalenganā artinya pematang, atau lahan pembatas antarpetak sawah
ājadi orangā artinya hidup sudah mapan secara ekonomi, sosial dan lain-lain.