Istano Basa Pagaruyung atau yang berarti Istana Besar Kerajaan Pagaruyung adalah salah satu saksi peninggalan sejarah masa lampau yang masih tersisa dari eksistensi kekuasaan Kerajaan Pagaruyung. Bangunan istana megah tersebut terletak di Nagari Pagaruyung, Kecamatan Tanjung Emas, Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatra Barat. Nagari ini dahulunya adalah ibu kota Kerajaan Pagaruyung.
Tanah Datar merupakan satu di antara daerah segitiga, yakni Kabupaten Agam, Lima Puluh Kota, dan Tanah Datar. Segitiga daerah ini dianggap sebagai poros awal persebaran kebudayaan Minangkabau. Tinjauan sejarah menyimpulkan bahwa ketiga daerah yang pada masa lampau berjuluk Luhak Nan Tigo ini merupakan permukiman awal dari masyarakat Minangkabau atau disebut pula wilayah darek (daratan).
Wilayah darek adalah wilayah daratan yang pertama kali dihuni oleh masyarakat Minangkabau. Berdasar sejarah dan tambo, masyarakat Minangkabau pertama kali bermukim di daerah lereng gunung Marapi. Luhak Nan Tigo, sebuah ikatan tak pernah bisa terpisahkan dari tiga daerah tersebut meski ketiga wilayah persebaran masyarakat Minangkabau ini memiliki sejarah penamaan, karakteristik geografis dan sosial ekonomi berbeda.
Dikutip dari buku, Mengenal Kerajaan-Kerajaan di Nusantara oleh Prasetyo, D (2009 : 53) bahwa Kerajaan Pagaruyung didirikan oleh Adityawarman pada tahun 1347 M, putra dari Adwayawarman seorang Rakryan Mahamantri dari Kerajaan Singasari dan Dara Jingga. Merupakan peninggalan kerajaan Hindu-Budha yang beralih menjadi kerajaan Islam. Dalam Prasasti Batusangkar, berdasarkan penafsirannya menyebutkan jika Adityawarman, pemimpin yang menganut ajaran Siwa-Buddha, ia menjadi raja di negeri tersebut.
Istano Basa Pagaruyung
Dilansir dari https://indonesiakaya.com/pustaka-indonesia, sesuai dengan namanya, istana ini mengabadikan kemegahan arsitektur dari pusat pemerintahan Kerajaan Pagaruyung. Meskipun bukan bangunan aslinya, namun berbagai detail ciri khas arsitektur yang dimiliki masih sama seperti kondisi di masa lampau. Istano Basa Pagaruyung dahulu merupakan kediaman dari Raja Alam, sekaligus pusat pemerintahan dari sistem konfederasi yang dipimpin oleh triumvirat (tiga pemimpin) berjuluk Rajo Tigo Selo.
Triumvirat, sistem konfederasi kepemimpinan memposisikan Raja Alam sebagai pemimpin kerajaan dengan dibantu dua wakil. Yakni, Raja Adat berkedudukan di Buo, dan Raja Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus. Raja Adat bertugas memutuskan berbagai perkara berkaitan adat, sedangkan Raja Ibadat bertugas memutuskan permasalahan berkait agama. Tetapi, jika suatu permasalahan tidak terselesaikan maka barulah Raja Pagaruyung, Raja Alam, turun tangan untuk membuat keputusan.
Istana ini merupakan replika dari bangunan asli yang dibakar Belanda pada tahun 1804, saat Perang Padri. Bangunan istana berbentuk sebuah rumah panggung dengan atap gonjong, menjadi ciri khas dari arsitektur tradisional Minangkabau. Rumah panggung ini bertingkat tiga dengan 72 tonggak yang menjadi penyangga utama, dilengkapi 11 gonjong yang menghias bagian atas bangunan. Seluruh dinding bangunan dihiasi ornamen ukiran berwarna-warni terdiri atas 58 jenis motif yang berbeda.
Masing-masing tingkat dari bangunan istana memiliki fungsi yang berbeda-beda. Tingkat paling bawah, tempat aktivitas utama pemerintahan, berupa sebuah ruang besar yang melebar. Di bagian tengah area khusus sebagai singgasana raja. Di sisi kiri dan kanan ruangan terdapat sebuah kamar, sedangkan di bagian belakang singgasana terdapat tujuh buah kamar sebagai tempat bagi para putri raja yang telah menikah. Tingkat kedua, ruang aktivitas bagi para putri raja yang belum menikah.
Sedangkan ruangan yang teratas merupakan tempat raja dan permaisuri bersantai sambil melihat kondisi di sekitar istana. Ruangan ini disebut anjung peranginan, posisinya terletak tepat di bawah atap gonjong yang berada di tengah bangunan, atau disebut juga gonjong mahligai. Di ruangan ini terdapat sejumlah koleksi senjata pusaka asli kerajaan yang masih tersisa, di antaranya tombak, pedang, dan senapan peninggalan Belanda.
Awalnya, bangunan asli istana Pagaruyung berlokasi di Bukit Batu Patah. Hancur akibat perang tahun 1804 istana didirikan kembali, tetapi terbakar habis pada tahun 1966. Pada 27 Desember 1976 upaya rekonstruksi ulang kembali dilakukan dengan ditandai peletakan tunggak tuo (tiang utama) oleh Gubernur Sumatera Barat saat itu, Harun Zain. Istana ini dibangun kembali di lokasi yang baru di sisi selatan bangunan asli, yaitu di lokasi saat ini, di Nagari Pagaruyung.
Kemudian pada 27 Februari 2007 Istano Basa Pagaruyung tersebut kembali terbakar akibat tersambar petir, sebagian besar peninggalan barang berharga di dalamnya musnah dan hanya tersisa sekitar 15 persen. Upaya pembangunan kembali berlangsung antara tahun 2008 hingga tahun 2012 dengan menelan dana lebih dari Rp20 Miliar. Arsitektur aslinya tetap dipertahankan untuk pembangunan kembali Istano Basa Pagaruyung.
Selain bisa menyaksikan kemegahan arsitektur Istano Basa Pagaruyung dengan berbagai ragam motif hiasannya, Anda juga bisa selfie atau wefie bersama orang tercinta, keluarga, kerabat, sahabat atau komunitas dengan berlatar belakang istana tersebut. Mumpung di sana, Anda dapat menyewa busana adat untuk dikenakan sebagai properti saat berfoto.
Adapun harga tiket dipatok tak sampai membuat dompet Anda menjadi ‘kopiyahâ, alias kosong, harga tiket masuk Istano Basa Pagaruyung saat ini yakni Rp15.000,00 untuk dewasa, dan Rp7.500,00 untuk anak-anak. Harga tiket tersebut berlaku baik hari biasa (weekdays) maupun akhir pekan (weekend) dan hari libur nasional. Sedangkan sewa busana adat Minangkabau kisaran Rp35.000,00 hingga Rp75.000,00
Jam operasional Istano Basa Pagaruyung, baik hari kerja (Senin â Jumat), dan akhir pekan (Sabtu â Minggu) buka mulai pukul 08.00 â 18.00. Jika Anda mengendarai kendaraan bermotor, tarif parkir sepeda motor Rp5.000,00, mobil Rp10.000,00, dan bus Rp15.000,00. Kalau Anda datang dari Kota Padang, jarak ke Istano Basa Pagaruyung kisaran 110 km via jalan Lintas Barat Sumatra, atau 105.2 km via Jalan Raya Padang â Solok. Keduanya beda medan jalan, ditempuh kisaran 3 jam.
Rumah adat memang menarik untuk dibahas. Kekayaan dan kearifan lokal yg patut disyukuri dan diuri uri.
Bagus ya Pak Istano Baso Pagaruyung, luar biasa arsiteknya..makasih Pak Ali, barokallah dan sukses selalu