Ibarat sekali berlayar dua tiga pulau terlampaui. Salah satu kebiasaan saat bersepeda pagi dengan beberapa teman, tidak hanya melulu bersepeda sebagai olahraga rekreatif. Namun sekali tempo bersepeda sambil wisata sejarah. Berkunjung di tempat-tempat bernilai historis.
Gowes pagi berlima, bersama Udanto Wahyu, Rachmad Priyandoko, Bagus Yusuf W., Nur Wahyudi, dan saya sendiri. Udara pagi Surabaya masih segar dan lalulintas kota masih sepi. Hari Minggu rupanya sebagian masyarakat masih enggan keluar rumah. Barangkali lebih memilih bercengkerama bersama keluarga di rumah.
Setelah roda sepeda onthel melahap aspal jalanan Kota Surabaya sejauh 12 kilometer dari titik kumupul di Taman Bungkul, kami berlima sepakat untuk singgah dulu di Makam Sawunggaling. Kebetulan rute gowes kali ini dengan tujuan melintas wilayah Surabaya Barat.
Kota Surabaya memiliki cerita rakyat atau legenda yang terkenal, yakni Jaka Berek atau Raden Sawunggaling. Tokoh Sawunggaling terkenal dengan keberanian, ketulusan, dan kesaktiannya. Sawunggaling sering menjadi lakon kesenian, seperti judul karya tari maupun drama tari yang dipentaskan, bahkan namanya diabadikan sebagai nama salah satu gedung Pemerintah Kota Surabaya.
Lokasi Makam Sawunggaling terletak di desa Lidah Wetan, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya. Makam tersebut menjadi saksi sejarah kebesaran Kadipaten Surabaya di masanya dulu. Makam Sawunggaling ditemukan oleh warga pada tahun 1901. Jarak dari Balai Kota Surabaya ke lokasi makam tersebut kisaran 15 kilometer.
Terdapat lima makam, yakni makam Raden Ayu Pandan Sari, teman Sawunggaling saat babat Alas Nambas Keling, makam Sawunggaling, makam Dewi Sangkrah adalah ibu Sawunggaling, makam Mbah Buyut Suruh. Beliau adalah pengasuh Dewi Sangkrah, dan makam Raden Karyosentono yang merupakan kusir Sawunggaling.
Tertulis pada salah satu dinding bangunan, berdasarkan SK Walikota No.188. 45/ 270/436. 1.2/2013, makam Sawunggaling ini telah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB) Kota Surabaya. Peresmian sebagai cagar budaya dilakukan oleh Wakil Walikota Surabaya, Whisnu Sakti Buana, pada 15 Juli 2013.
Legenda Sawunggaling
Mengambil intisari dari hand out “Sekilas Legenda Jaka Berek/R. Sawunggaling” karya Cak Moel, yang saya dapatkan dari Setyo Budi, Juru Kunci Makam Sawunggaling bahwa Sawunggaling yang mempunyai nama kecil Jaka Berek adalah putra Adipati Jayengrana dengan Raden Ayu Dewi Sangkrah.
Adipati Jayengrana (kisaran 1677 -1709, menurut Sedjarah Regent Soerabaja) tidak mau bersekutu dan mengikuti perintah kolonial Belanda. Ketika Belanda mulai merajalela dan bersekutu dengan banyak bupati atau adipati di tanah Jawa dia sangat prihatin. Dia sadar Belanda semakin kuat dan akan menguasai tanah Jawa, khususnya Surabaya.
Pada suatu ketika, Adipati Jayengrana bersemedi di hutan di tepi rawa Wiyung. Dalam persemediannya itu, ia bertemu dengan Raden Ayu Dewi Sangkrah, gadis desa kampung Lidah Dorowati yang mampu menggagalkan semedinya.
Tak lama dari waktu itu, Adipati Jayengrana meninggalkan Raden Ayu Dewi Sangkrah yang sedang hamil untuk bertugas sebagai Adipati di Surabaya. Ia meminta Dewi Sangkrah untuk tetap tinggal di kampung Lidah Wetan, yang dulunya bernama kampung Lidah Donowati dengan meninggalkan selembar cinde (selenda sutra). Lahirlah bayi laki-laki dinamai Jaka Berek.
Jaka Berek tumbuh sebagai pemuda desa dan tidak mempunyai ayah, dia memelihara ayam jago. Karena tak kuat ejekan tema-teman sebagai anak tak berayah, Jaka Berek mendesak ibunya untuk menunjukkan siapa ayahnya. Ayu Dewi Sangkrah lantas menceritakan bahwa ayahnya adalah Jayengrana, Adipati di Surabaya.
Dengan berbekal cinde yang diberikan Adipati Jayengrana, Ayu Dewi Sangkrah melepas Jaka Berek pergi mencari ayahnya di Surabaya. Jaka Berek pun tak lupa membawa serta ayam jago kesayangannya yang selalu menang jika diadu.
Sesampai di Kadipaten Surabaya, meskipun mengaku anak Adipati Jayengrana, Jaka Berek dilarang masuk oleh penjaga. Datanglah Sawungrana dan Sawungsari, keduanyaputra Adipati Jayengrana dengan seorang putri dari Jawa Tengah.
Sementara itu, karena Adipati Jayengrana tidak mau bersekutu dengan pemerintah VOC, kepemimpinannya di Surabaya tidak diakui oleh Belanda. Belanda berusaha melengserkan Adipati Jayengrana sebagai adipati dan menggantikannya dengan yang lain yang mau bekerja sama dengan Belanda.
Dengan tipu muslihat bekerja sama dengan Sosrohadiningrat, Adipati dari Jawa Tengah, Belanda mengadakan lomba sodor atau memanah. Siapa pun yang mampu memanah cinde puspita (kain selendang sutra berbunga) akan diangkat sebagai Adipati Anom di Surabaya untuk mengganti Adipati Jayengrana.
Cakraningrat, Adipati dari Madura, yang merupakan sesepuh Jawi Wetan, ditunjuk sebagai penyelenggara. Karena hubungan kekerabatan yang baik, Adipati Jayengrana menyetujui siasat Belanda tersebut karena yakin bahwa Sawungrana dan Sawungsari, keduanya anaknya,pasti mampu memenangi lomba.
Setelah beberapa hari pelaksanaan lomba tidak ada seorang pun kesatria yang mampu memanah cinde puspita. Sawungrana dan Sawungsari pun gagal. Adipati Jayengrana gelisah tak ada anak turunnya yang bakal menggantikan. Akhirnya Jaka Berek memberanikan diri menghadap Adipati Cakraningrat bermaksud ingin ikut sayembara.
Lantaran Cakraningrat tidak tahu jika Jaka Berek adalah anak Adipati Jayengrana ia marah dan menolak karena Jaka Berek berasal dari rakyat jelata. Jaka Berek tetap ngotot, ia beralasan rakyat jelata pun berhak mengikuti sayembara.
Berdasar keyakinan dengan bukti cinde pemberiannya, Adipati Jayengrana meminta agar Jaka Berek diizinkan mengikuti sayembara. Ia katakan bahwa Jaka Berek adalah putranya sendiri dengan ibunya bernama Ayu Dewi Sangkrah. Setelah melakukan ritual doa, dengan keberanian, ketrampilan, dan ketulusan, akhirnya Jaka Berek mampu memanah cinde puspita.
Melihat keberhasilan Jaka Berek, Belanda, Sosrohadiningrat, Sawungsrana dan Sawungsari berusaha menghalangi Jaka Berek menjadi Adipati Surabaya. Mereka menggunakan akal licik dengan memberikan syarat tambahan agar Jaka Berek membabat Alas Nambas Keling, sekarang Banyu Urip, yang terkenal angker dan ganas.
Dengan tombak Beliring Lanang, Jaka Berek berhasil membabat hutan tersebut tetapi karena luas dan banyak gangguan makhluk peri penjaga hutan hingga tidak kunjung selesai. Tiba-tiba muncul peri Ayu Pandansari bersedia membantu Jaka Berek karena ia tertarik ketampanan Jaka Berek.
Awalnya menolak, karena selain hutan luas juga banyak gangguan anak buah peri Ayu Pandansari akhirnya Jaka Berek menyetujui bantuan Ayu Pandansari dengan berjanji akan mengawininya tetapi dalam ujud alam yang sama. Ayu pandansasi harus berinkarnasi menjadi seorang gadis.
Setelah saling berjanji, Ayu Pandansari, peri sakti, menyatu ke dalam tombak Beliring Lanang. Dalam sekejap akhirnya Alas Nambas Keling rata dengan tanah. Mendengar keberhasilan Jaka Berek, Adipati Cakraningrat dan Adipati Jayengrana gembira karena kursi kadipaten tidak lepas dari keluarganya.
Meski Belanda tidak rela memberikan kursi kadipaten dengan segala tipu muslihat, atas kesaktian dan keberaniannya, Adipati Cakraningrat dan Adipati Jayengrana menganugerahi gelar kebangsawanan, yaitu Raden Mas Ngabehi Sawunggaling Kulmosostronagoro.
Pada akhir kisah, Raden Sawunggaling berjanji akan selalu memusuhi Belanda meskipun dalam generasi yang berbeda. Kelak jika terjadi perang besar di Surabaya, semangat juang dan keberanian Raden Sawunggaling akan kembali melawan Belanda dalam bentuk generasi yang berbeda pula.
*
Maka, tidak heran ketika sejarah mencatat bahwa barometer perlawanan terhadap Belanda berada di Surabaya. Seperti yang digambarkan oleh buku “Kronik Pertempuran Surabaya” karya Ady Setyawan.
Dikisahkan secara kronologi mulai bulan Oktober hingga bulan November 1945 kiprah heroik perjuangan Arek-Arek Suroboyo dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia melawan tentara Sekutu yang membonceng Belanda.
Tokoh-tokoh besar, seperti Soekarno dan Bung Tomo, yang lahir, besar, dan berjuang mempertahankan kemerdekaan di Surabaya merupakan satu bukti bahwa semangat Raden Sawunggaling selalu mewarisi semangat juang Arek-Arek Suroboyo.
Kini, nama Raden Sawunggaling diabadikan sebagai nama salah satu gedung pusat pemerintahan Kota Surabaya, yakni Graha Sawunggaling. Gedung ini berada di Jalan Jimerto 10, Ketabang, Kec. Genteng, Kota Surabaya 60272
Di samping itu, nama Raden Sawunggaling diabadikan pula sebagai nama sebuah Sekolah Dasar Negeri (SDN), yakni SDN Sawunggaling 1 dan SDN Sawunggaling 7/388, Jalan Gajah Mada Sekolahan 5 Surabaya. Juga SDN Sawunggaling 8/389, Jalan Gajah Mada Baru II Surabaya. Sedangkan SDN Sawunggaling 2 hingga SDN Sawunggaling 6 sudah dimarger.