Zilma. Itu yang hanya kuingat nama kependekannya. Usia baru enam belas tahun saat itu, baru kelas 3 SLTP, atau sebutan SMP sekarang. Kalau aku bilang anak sudah kelewatan, tapi kalau bilang remaja, dia baru menapakinya. Wajahnya oval, hidung mancung, rambut terburai ikal, kulitnya putih berkilau, perawakannya semampai., dan matanya tajam kala menatap. Tergolong dengan sebutan ‘sayrifah’, lantaran dia memiliki darah keturunan Arab. Dia muridku, dan aku gurunya. Kami terpaut enam tahun. Maklum, saat aku ditugaskan mengajar di sekolahnya, aku baru usia 22 tahun. Ketika lulus crash program keguruan, tak menunggu lama langsung penugasan mengajar di sekolahnya, di kotanya.
Setiap aku mengajar di kelasnya, ada rasa aneh dari sorot matanya. Itu aku rasakan sejak di awal kelas 3. Ketika jam istirahat dia sering datang ke ruangku, kebetulan aku punya ruang tersendiri sebagai pembina OSIS. Dia tak sendirian, biasanya ditemani oleh teman karibnya, Nina. Berdalih tanya ini itu, tentang pelajaran, jawaban latihan soal-soal karena sebentar lagi ujian, bahkan terkadang tak bertanya apa. Hanya ketemu, sekedar basa-basi bergurau. Usai ujian, waktu sudah senggang bagi kelas 3, dan kebetulan kelasnya masuk pagi, mereka diliburkan sampai menunggu pengumuman kelulusan. Kelas pagi tinggal kelas 2, yang siang kelas 1. Jumlah kelas belum mencukupi jika semua masuk pagi. Suatu sore saat aku usai mengajar, sekelebatan dia masuk gerbang sekolah, dan tiba-tiba muncul di ruangku. Rasa sedikit kaget iya, dag dig dug juga. Tak terasa bel tanda siswa pulang sudah dibunyikan, kami segera berkemas untuk pulang. Tiba-tiba, “Pak, tolong saya diantarkan pulang ya, please,” dengan manjanya.
Tersentak rasanya. Jarak sekolah ke rumahnya cukup jauh dan harus menyebarang menuju suatu pulau, di seberang Pulau Maduru ujung paling timur. Senja mengiringi laju Yamaha tahun ’80, angin pantai serasa ingin menahan lajunya. Tiba-tiba tangannya disabukkan diperutku, benjolan di dadanya berasa mengganjal di punggungku. Sayup-sayup suara azan Maghrib kami tiba di dermaga Pulau Madura paling timur. Temaran lampu dermaga jadi bayang-bayang di pantai, kerlip-kerlip lampu di seberang tampak samar-samar pulau tempat dia tinggal, hanya butuh 20-25 menit menyeberang. Lambaian tanganku mengiringi perjalanan kapal ferry, makin lama makin jauh di telan petang. Namun, jejaknya meninggal rasa. 22 November 2022, nada dering di handphoneku berbunyi, setelah aku terima ada suara perempuan, “Saya Nina, murid Bapak angkatan 1984, teman akrab Zilma, ada salam dari dia untuk Bapak,” ujarnya. Pikiranku langsung berkelebat di 38 tahun silam, di ujung dermaga Pulau Madura paling timur. Saat dia jabat tangan untuk pamit, sambil raih tanganku agar memeluknya. Di akhir senja, di bawah temaran lampu dan terpaan angin pantai, bibir kami saling berkulum.