#blusukanedan PSL (Pernak-Pernih Surabaya Lama) yang Bertajuk “PSL Goes to Malang – Lawang”
Ketika memasuki Kelenteng Eng An Kiong, tampak tiang-tiang yang kokoh, dan di setiap bagian altar berbagai persembahan tertata rapi. Lilin-lilin dan lampion menyala gemerlapan memancarkan sinar. Simbol naga menghiasi berbagai sudut, merupakan simbol keperkasaan. Di dalam ruangan ada patung dewa dan dewi yang dipercaya membawa perlindungan dan keberuntungan bagi para pengunjung.
Melangkah pelan-pelan menuju ruang kelenteng lebih dalam, disambut oleh aroma wangi dupa menebar ke seluruh ruangan, memberikan kesan hening, tenang, dan terasa sakral. Ciri khas bangunan dan ornamennya didominasi warna merah dan kuning. Konon, merah memiliki makna kehidupan, kebahagian dan keberanian. Sedangkan warna kuning memilik makna keagungan.
Di tengah-tengah altar, terdapat persembahan buah-buahan, makanan dan minuman yang ditata dengan rapi, sebagai bentuk penghormatan kepada para arwah leluhur. Keseluruhan suasana Kelenteng menggambarkan keindahan pemandangan dekoratif yang kental dengan unsur-unsur oriental. dan kekayaan tradisi serta filosofi yang masih hidup dalam setiap detailnya.
Kelenteng Eng An Kiong merupakan salah satu bangunan tertua di Kota Malang dan telah ditetapkan menjadi salah satu bangunan cagar budaya atau heritage. Jika melihat strukur bangunannya yang masih berdiri kokoh, tak disangka jika saat ini Kelenteng Eng An Kiong sudah berusia hampir dua abad. Bangunan maupun ornamen masih terjaga keasliannya.
Di kelenteng ini adalah objek kedua dari acara #blusukanedan PSL (Pernak-Pernih Surabaya Lama) yang bertajuk “PSL Goes to Malang – Lawang”. Sedangkan objek yang pertama yaitu di Sekolah Cor Jesu dan Biara Ursulin. Adapun blusukan edan yang dimaksud adalah berkunjung ke bangunan-bangunan kuno sambil mengulik sejarah keberadaannya. Blusukan edan diikuti oleh 22 orang anggota, Sabtu (20/4/2024).
Dikutip dari buku Chinese Epigraphic Materials in Indonesia: Under The Direction of Wolfgang Franke, meskipun sudah ada kawasan kecil Tionghoa di Malang, dekat dengan wilayah VOC yang mulai menguasai kota ini pada tahun 1767, sangat sedikit yang diketahui mengenai hal tersebut hingga awal tahun 1880-an.
Ketika Belanda mulai memperluas kota tersebut sehubungan dengan perkembangan kota, perkebunan kopi dan perkebunan tembakau tumbuh di sini. Selaras dengan perkembangan tersebut, pada tahun 1905, populasi orang Tionghoa pun meningkat hingga berjumlah 3.600 orang. Saat itu hanya ada satu kuil atau kelenteng.
Gong Yongan (Eng An Kiong) 永安宮 atau “Kuil Kedamaian Jangkauan Jauh” terletak di Jalan Laksamana Martadinata 1 Malang. Menurut PS, pada tahun 1955 kuil ini merayakan hari jadinya yang ke-120, berarti telah didirikan pada tahun 1835. Klenteng ini merupakan Kelenteng Tridarma, digunakan beribadah tiga kepercayaan, yaitu Khonghucu, Taoisme, dan Buddha.
Pada tahun 1940, Khong Kouw Sian hanya menyatakan bahwa tempat suci pertama yang didedikasikan untuk Fude zhengshen 福德正神 telah didirikan atas prakarsa Letnan Guo Sanhuai (Kwee Sam Hway 郭三塊 atau Yauw Ting Kong, menjabat 1842-1863) yang berasal dari Sumenep (L.19).
Setelah kematiannya, tempat suci tersebut berturut-turut dijalankan oleh kedua putranya, Letnan Kwee Sioe Ing (atau Guo Maochuan 郭茂川 yang menjabat pada tahun 1864-1880) dan Letnan Kwee Sioe Go (menjabat pada tahun 1880-1889), yang terkait dengan Kwee (Guo) dari Semarang (lihat K 1.2.4) dan Pasuruan (L 16.3), kemudian oleh para pemimpin masyarakat Tionghoa berturut-turut.
Kuil ini pertama kali diperbesar antara tahun 1895 dan 1905, pada masa Letnan Han Shitai 韓世泰 (atau Han Sioe An, menjabat 1889-1897), Letnan Guo Juecheng 郭跃成 (atau Kwee Ping Kien, menjabat 1897-1903), dan Letnan Zheng Wenji (The Boen Kik atau juga Zheng Fulong 鄭福隆, menjabat 1904-1914).
Menurut Kong Kouw Sian, perluasan dan hiasan candi ini dibiayai oleh kontraktor Tiongkok yang memperoleh keuntungan dari pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan Malang ke Blitar (L 5) pada tahun 1890-an. Aula belakang yang didedikasikan untuk Guanyin 觀音, Weituo 韋馱,dan Delapan Belas Luohan telah ditambahkan, serta galeri samping tempat patung Guangong 關公 dan Dizangwang 地蔵王.
Di depan candi terdapat halaman beraspal luas yang digunakan untuk pertunjukan teater boneka. Bangunan ini diperbaiki lagi pada tahun 1912, 1934 dan 1949, sebagaimana dibuktikan oleh prasasti batu, dan baru-baru ini pada tahun 1986. Prasasti batu tahun 1949 disembunyikan di balik lemari dan tidak dapat difoto.
Prasasti tertua yang disimpan di kuil ini hanya berasal dari tahun 1881. Saat itu, sudah ada umat yang berasal dari daerah Fuqing, prefektur Fuzhou. Kelenteng tersebut berada di bawah pengawasan pimpinan masyarakat Tionghoa hingga pengangkatan yang terakhir Letnan Tan Kik Djoen (menjabat tahun 1914 – akhir tahun 1920-an). Namun pada tahun 1904 sebuah asosiasi didirikan untuk dijalankan sejak tahun 1942.
Tangkapan Mata Lensa
Acara #blusukanedan Bertajuk “PSL Goes to Malang – Lawang”