Reruntuhan bangunan Keraton Surosowan berada di Desa Banten, Kecamatan Kasemen, kawasan Banten Lama, di belahan utara kira-kira 14 kilometer dari Kota Serang, Provinsi Banten. Reruntuhan bangunan keraton kini menjadi saksi sejarah tentang kejayaan Kesultanan Banten masa lalu dengan pelabuhannya yang strategis dan aktivitas perdagangan yang ramai.
Alisson.id tidak sempat masuk ke dalam area reruntuhan keraton, selain sudah tengah hari usai waktu Dhuhur, cuaca terik sekali juga sudah terlewati cukup jauh pintu masuknya. Sayang sekali jika dilewatkan, belum tentu kapan bisa datang lagi ke Kota Serang ini. Akhirnya, memutuskan turun dari mobil untuk memotret tembok-tembok semacam bekas benteng yang tersisa dari luar area keraton.


Dirilis dari cagarbudaya.kemdikbud.go.id, Keraton dan atau Benteng Surosowan diperkirakan dibangun antara tahun 1526-1570, saat pemerintahan Sultan Banten yang pertama yakni Sultan Maulana Hasanudin. Sejarah pembangunan keraton ini tidak lepas dari pemberian wilayah yang diserahkan oleh Sunan Gunung Jati kepada anaknya, Sultan Maulana Hasanudin.
Pembangunan Keraton dan atau Benteng Surosowan dilakukan empat fase. Fase pembangun awal, dinding yang mengelilingi keraton lebarnya antara 100 meter sampai 125 meter. Dinding dibangun dari susunan bata yang menggunakan perekat dengan tanah liat (lempung), tanpa bastion (sudut atau penjuru yang dibangun menjorok keluar pada dinding benteng dan dipersenjatai dengan artileri).


Fase pembangunan awal diperkirakan pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1552 -1570). Sedangkan pembangunan fase kedua, didirikan dinding bagian dalam dan bastion. Terjadi perubahan fungsi dinding antara pembangunan fase pertama dengan kedua, yakni dari yang berfungsi sebagai tembok keliling kemudian menjadi tembok pertahanan dengan unsur-unsur Eropa.
Keraton Surosowan pada masa itu disebut oleh pihak Belanda sebagai Fort Diamant (fort : benteng, diamant : intan). Sedangkan fase ketiga, tahap pendirian ruang-ruang di sepanjang dinding utara, penambahan lantai untuk mencapai dinding penahan api (parapet). Kemudian pembangunan fase keempat, dilakukan perubahan pada gerbang utara dan diperkirakan juga pada gerbang timur.


Keraton dan atau Benteng Surosowan ini telah mengalami penghancuran beberapa kali. Kehancuran total kali pertama terjadi ketika perang saudara antara Sultan Ageng Tirtayasa yang dibantu oleh VOC dengan putra mahkota Sultan Haji pada tahun 1680. Akibat perang tersebut, Keraton dan atau Benteng Surosowan telah dibumihanguskan oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Ketika Sultan Haji telah dinobatkan menjadi Sultan Banten sebagai pengganti ayahnya, ia minta bantuan Hendrik Laurenzns Cardeel, seorang arsitek Belanda, untuk membangun kembali keratonnya. Cardeel membangun kembali keraton di atas puing-puing reruntuhan. Arsitek berkewarganegaraan Belanda yang masuk Islam itu diberi gelar oleh Sultan dengan nama Pangeran Wiraguna.

Pada tahun 1808 Keraton dan atau Benteng Surosowan dihancurkan oleh Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jendral VOC, Herman William Daendels. Sebab penghancuran Keraton/Benteng Surosowan adalah dipicu oleh Kesultanan Banten dengan tegas menolak permintaan Daendels, dan membunuh utusannya yakni Komondeur Philip Pieter du Puy.
Ketika itu Gubernur Jenderal Daendels meminta kepada pihak Kesultanan Banten agar Sultan setiap hari harus mengirimkan 1000 orang rakyat untuk dipekerjakan di Ujung Kulon. Menyerahkan Patih Mangkubumi Wargadiraja ke Batavia, dan Sultan supaya segera memindahkan keratonnya ke daerah Anyer, lantaran Surosowan akan dijadikan benteng oleh Belanda.


Namun, dengan tegas pihak Kesultanan Banten menolak dan membunuh Komondeur Philip Pieter du Puy beserta pasukan pengikutnya. Mengetahui hal tersebut, Gubernur Jendral Daendels langsung memerintahkankan pasukannya untuk menyerang dan menghancurkan Keraton dan atau Benteng Surosowan, yaitu tepatnya pada 21 November 1808.
Kini, sisa-sisa reruntuhan Keraton dan atau Benteng Surosowan yang statusnya telah menjadi bangunan cagar budaya itu sebagai saksi sejarah perjuangan anak bangsa melawan pemerintah kolonial Belanda tersebut perlu dilestarikan. Pelestarian perlu dilakukan lantaran keberadaannya penting bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.