Ketupat dan Lepet Sajian Khas Menu Lebaran Syawal

Ketupat dan Lepet Sajian Khas Menu Lebaran Syawal
Share this :

Tak hanya merayakan Idulfitri saja, umat muslim di tanah air, khususnya sebagian masyarakat muslim di Pulau Jawa, sepekan setalah merayakan Idulfitri biasanya menggelar perayaan lagi yang disebut Lebaran Ketupat, atau Syawalan.

Meski tradisi ini tidak tercantum dalam ajaran agama, namun perayaan ini sebagai bentuk apresiasi bagi umat muslim yang menjalankan Puasa Syawal. Puasa sepekan ini dimulai setelah satu hari dari perayaan Idulfitri. Puasa Syawal ini sunnah, sehingga tak semua muslim menjalankan.

Filosofi Ketupat dan Lepet

Ketupat

Tradisi Lebaran Ketupat sudah ada sejak lama, sudah sangat familiar bagi sebagian muslim di tanah Jawa. Dalam beberapa catatan sejarah, Sunan Kalijaga disebut sebagai orang yang memperkenalkan tradisi Lebaran Ketupat. Ia membudayakan dua kali bakda (diucapkan bodo : lebaran), yakni bakda lebaran (Idulfitri) dan bakda kupat (Lebaran Ketupat).

Lebaran Ketupat ini biasanya dirayakan dengan mengadakan tradisi selametan yang sudah berkembang di kalangan masyarakat. Pada awalnya, tradisi selametan bakda kupat ini juga menjadi sarana untuk mengenalkan ajaran Islam mengenai cara bersyukur kepada Tuhan, bersedekah, dan bersilaturahmi di hari Lebaran. Ketupat sebagai menu sajiannya.

Ketupat dan Lepet Sajian Khas Menu Lebaran Syawal
Sambal urapan kelapa dan sayur kates atau bahan lainnya sebagai pelengkap menu ketupat (Foto : Maemun Zein)
Ketupat dan Lepet Sajian Khas Menu Lebaran Syawal
Ketupat dan lepet berbungkus daun siwalan. Umumnya terdapat di Tambakboyo, Tuban (Foto : Maemun Zein)

Maemun Zein, salah satu warga Tambakboyo, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, menuturkan bahwa tradisi Lebaran Ketupat di daerah ini, dan kawasan Pantura umumnya, masih sangat dipertahankan oleh masyarakat. Satu minggu setelah puasa Syawal, masyarakat merayakannya sebagai simbolis dari rasa syukur kepada Allah SWT dengan selamatan ketupat dari rumah ke rumah warga.

“Bahkan di daerah sini, selamatan kupat itu setahun dua kali. Yang pertama, lima belas hari sebelum puasa tiba, dan kedua satu minggu setelah merayakan Idulfiri. Momen Lebaran Ketupat biasanya selain berkunjung ke sanak famili, juga dimanfaatkan masyarakat untuk wisata,” tutur Maemun Zein usai selamatan di rumah tetangga, Senin pagi (9/5/2022).

Dikutip dari www.ayosemarang.com, filosofi kata ‘ketupat’ atau ‘kupat’ berasal dari kata bahasa Jawa ‘ngaku lepat’ yang berarti ‘mengakui kesalahan’. Dimaksudkan dengan simbol ketupat, sesama muslim diharapkan mengakui kesalahan dan saling memaafkan serta melupakan kesalahan sehingga hati suci seputih isi kupat.

Ketupat dan Lepet Sajian Khas Menu Lebaran Syawal
Salah satu rumah warga mempersiapkan acara selametan (Foto : Maemun Zein)
Ketupat dan Lepet Sajian Khas Menu Lebaran Syawal
Selamatan ketupat di salah satu warga Tambakboyo, Tuban, Jawa Timur, Senin usai Subuh (9/5/2022). (Foto : Maemun Zein)

Sebagian masyarakat juga memaknai rumitnya anyaman ketupat mencerminkan berbagai macam kesalahan manusia. Ssedangkan warna putih isi ketupat ketika dibelah dua mencerminkan kebersihan dan kesucian setelah mohon maaf dari kesalahan. Beras sebagai isi ketupat diharapkan menjadi lambang kemakmuran setelah hari raya.

Biasanya, ketupat disajikan bersama opor ayam dan sambal goreng. Ini pun ternyata ada makna filosofisnya. Opor ayam menggunakan santan sebagai salah satu bahannya. Santan, dalam bahasa Jawa disebut dengan santen yang mempunyai makna ‘pangapunten’ alias memohon maaf. Di beberapa daerah, menu ketupat dilengkapi sambal kelapa atau urapan.

Lepet

Salah satu pelengkap menu lebaran ketupat yakni ‘lepet’. Menu makanan yang bertekstur lengket ini selalu muncul sebagai pendamping ketupat. Lepet ini dibungkus menggunakan janur dan diikat menggunakan tali bambu. Sebagian masyarakat menyediakan hidangan lepet sebagai jamuan makan keluarga maupun bagi para tamu yang datang berkunjung.

Mengapa dibungkus janur dan ditali? Hal ini bukan tanpa alasan, cara penyajian ini memiliki filosofi tersendiri. Proses membuka tali bambu pada lepet dikaitkan dengan pemberian maaf serta mengurai permasalahan secara perlahan. Selain itu, nama lepet berasal dari istilah ‘lepat’ yang berarti ‘salah’ sehingga harus saling memaafkan.

Ketupat dan Lepet Sajian Khas Menu Lebaran Syawal
Selain ketupat, disajikan lontong juga (Foto Henias)

Lepet dibuat dari beras ketan yang dicampur dengan kacang tolo, dan kelapa. Dibungkus dengan janur dan ditali dengan tali bambu. Jenis makanan ini memiliki cita rasa yang gurih dan tekstur lengket dan liat. Pembuatannya pun cukup sederhana, adonan beras ketan dan bahan lainnya dikukus hingga matang. Lepet disajikan sebagai pendamping ketupat.

*

Kearifan lokal atau local wisdom semacam Lebaran Ketupat mengapa perlu dipertahankan? Barangkali tradisi itu sebagai salah satu keanekaragaman kearifan lokal yang ada bumi Nusantara ini yang tak bisa kita jumpai di daerah lain. Sepanjang ada hal-hal positif yang memaknai yakni sebagai implementasi cara bersyukur, bersedekah, dan bersilaturahmi, serta tak menyimpang dari rel agama, kiranya tradisi itu sangat layak untuk dilestarikan.

Featured Image : Maemun Zein

You may also like

6 thoughts on “Ketupat dan Lepet Sajian Khas Menu Lebaran Syawal”

    1. Masbro Karyo Wahono,
      Telasan Topak, telasan : lebaran, atau orang Jawa menyebut bakda atau bodo. Topak : ketupat atau kupat.
      Di beberapa daerah tanah Jawa tradisi ini masih kukuh dilestartikan.
      Matur nuwun atas apresiasi Panjenengan.

    1. Mas Santoso A.’
      Tradisi ini masih sangat kental untuk masyarakat Pantura, seperti di Tambakboyo – Tuban. Di Jepara bahkan ada pesta Lomban Syawalan.
      yakni menghias kapal dan berlayar di seputaran pantai dengan melarung ketupat sebagai rasa syukur atas berkah ikan yang melimpah.
      Semoga tradisi tetap dilestarikan sebagai kearifan lokal.
      Matur nuwun.

  1. Menjaga kearifan lokal dari gempuran2 ajaran yang tidak baik, itu wajib kita lakukan. Itu semua perlu kepedulian dan kepekaan agar tidak kecolongan.

    1. Pak Hendro,
      Memang betul sekali, kearifan lokal mesti diturunkan kepada generasi muda. Seperti membuat ketupat saja,
      anak-anak milenial rasanya hampir 100% mereka belum tentu bisa membuat. Ini contoh kecil saja.
      Belum lagi kearifan lokal yang lain, agar tak punah maka generasi tua hendaknya ada kepedulian mewariskan tradisi kepada
      generasi penerus, meski saat ini hidup di era digital.
      Matur nuwun.

Leave a Reply to Ali Muchson Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *