Membersamai PSL (Pernak-Pernik Surabaya Lama) dalam acara bertajuk âPSL Goes to Madiumâ. âPSL Goes to âŠ.â adalah suatu kegiatan khas PSL bertitel blusukan edan tak hanya di dalam Kota Surabaya, namun di berbagai kota lain. âPSL Goes to Madiunâ, yakni jalan-jalan sambil blusukan mengulik sejarah bangunan peninggalan zaman kolonial Belanda. Titik kumpul untuk berangkat di Stasiun Gubeng Baru, Sabtu (17/2/2024) pukul 05.00. WIB.
Sejumlah 26 anggota PSL turut blusukan edan, begitu tiba di Madiun langsung menyerbu sarapan pagi di warung nasi pecel Yu Gembrot Madiun. Seru sih sarapan paginya, lantaran ratu, atau ora tuku alias gratis lantaran ditraktir oleh dr. Dhini. Demi berburu waktu lantaran tidak inap, usai sarapan langsung blusukan di bangunan-bangunan peninggalan zaman kolonial Belanda di Kota Madiun.
Adapun objeknya, yakni di Gedung Osvia/ Boschbouw, Gedung Santo Cornelius, Gedung Bakorwil, Gedung Gamaliel, Gedung Balai Kota, Gedung St. Santo Bernadus, Gedung Biara Ursulin, Kelenteng Hwie Ing Kiong, dan Rumah Pabrik Rokok Grenda, dan bangunan peninggalan zaman kolonial Belanda yang kini digunakan sebagai kafe Kopi Kakak.
Dilansir dari https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Madiun bahwa pada awalnya Madiun merupakan sebuah wilayah di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram. Dalam perjalanan sejarah Mataram, Madiun memang sangat strategis mengingat wilayahnya terletak di tengah-tengah perbatasan dengan Karesidenan Kediri atau Daha yang juga dikuasai oleh Mataram.
Oleh karena itu pada masa pemerintahan Mataram banyak pemberontak-pemberontak kerajaan Mataram yang membangun basis kekuatan di Madiun. Seperti munculnya tokoh seperti Retno Dumilah. Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, Madiun menjadi wilayah di bawah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta sebagai mancanagara brang wetan hingga akhirnya diserahkan kepada Belanda tahun 1830, setelah Perang Jawa.
Kota Madiun terus berbenah untuk menggerakkan sektor wisata. Kota yang terletak kisaran 150 km sebelah barat Kota Surabaya, mendapat berbagai julukan. Di antaranya sebagai Kota Gadis, Kota Brem, Kota Pecel, Kota Sastra, Kota Pelajar, Kota Kereta, Kota Budaya, Kota Industri, Kota Karismatik, Kota Pendekar dan Milan van Java.
Di samping itu, Kota Madiun memiliki lima ikon dari lima negara asing sebagai daya tarik warga setempat maupun warga luar Madiun, hal ini untuk menggerakkan sektor wisata. Lima ikon dunia tersebut, yakni Patung Merlion ikon Singapura, Ka’bah ikon Arab Saudi, Menara Eiffel ikon Perancis, Big Ben ikon Inggris dan Kincir Angin ikon Belanda. Tak ketinggalan juga Tugu Monas Ibu Kota Jakarta.
âNgapain mahal-mahal ke luar negeri kalau hanya buat selfie, datang saja ke Kota Madiun. Di sini kamu serasa sudah travelling di lima negara,â kelakar seorang teman saya di dalam mobil saat keliling Kota Madiun.
Yang jelas, itu guyonan atau bisa juga semacam sindirian waton keno. Kebanyakan dari teman-teman yang ikut blusukan mengomentari bahwa Madiun seakan krisis identitas, seakan dipaksakan jadi kota modern. Bahkan seorang anggota rombongan yang asli Madiun, sudah 14 tahun tak sambang kotanya, merasa heran saat melihat wajah Alun-Alun Kota Madiun menjadi tak karuang katanya.
âPusat Kota Madiun, dengan hadirnya ikon manca negara tersebut menjadi hilang feel Madiunnya. Meski masih ada ikon khas Kota Madiun, seperti Patung Pecel di Jalan Pahlawan, dan Tugu Pendekar di Proliman, namun penempatan kedua ikon kearifan lokal tersebut malah kurang dari sisi artistiknya. Kalau bangunan heritage-nya sih oke banget,â celetuk seorang teman yang lain.
Saat jeda acara sempat meneggak es sinom produk karyawan gereja Santo Cornelius, ini ratu juga berkat traktiran Mbak Ratri Narayya. Pun tak ketinggalan mampir di Es Dawet Suronatan buat penghapus dahaga akibat mlaku-mlaku saat matahari di atas ubun-ubun di jalanan Kota Madiun, juga ratu berkat traktiran Engkong Hartono Widjaja. Kemudian makan siang di RM Srasa Desa, ngopi di Kopi Kakak, dan beli oleh-oleh khas Madiun, yarwe alias mbayar dewe-dewe. Bayar sendiri-sendiri.
Sekilas tentang Objek PSL Goes to Madiun
Beberapa bangunan bersejarah peninggalan pemerintah kolonial Belanda masih tersisa di Kota Madiun. Bangunan-bangunan yang menjadi objek blusukan edan PSL di antaranya sebagai berikut :
Gedung OSVIA/Boschbouw
OSVIA, kepanjangan dari Opleideng School Voor Inlandsch Ambtenaren, atau Sekolah Pendidikan Calon Pamong Praja Kota Madiun bagi pribumi. Tujuan awal dibangunnya gedung di Jalan Diponegoro tersebut adalah sebagai Sekolah Pendidikan Calon Pamong Praja Kota Madiun. OSVIA Madiun dibangun sesudah diterapkannya kebijakan politik etis pada awal abad 20.
Dilansir dari www.madiunpos.com/bosbow-madiun bahwa kebijakan tersebut untuk mengubah arah tujuan pendidikan kolonial, yakni untuk mencetak tenaga terampil yang murah sebagai bentuk balas budi kepada pribumi dan tanah jajahan. Pada saat yang sama, kebijakan desentralisasi dan bertambahnya wilayah jajahan membuka lapangan pekerjaan birokrasi dalam jumlah besar.
Berlatar kebutuhan tersebut, perubahan dilakukan dengan meningkatkan status Hoofdenschool mejadi Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) pada 29 Agustus 1900. OSVIA, sekolah kedinasan pada zaman penjajahan, adalah tergolong sekolah yang elite statusnya. Yang bisa masuk ke sekolah tersebut yakni berasal dari kalangan bangsawan atau elite bumiputera.
Pada tahun 1927, OSVIA Madiun bersama dengan OSVIA tempat lain berubah menjadi Middelbaar Opleiden Scoolen Voor Indische Ambtenaren (MOSVIA). Namun, tiga tahun kemudian, MOSVIA Madiun ditutup dan dipindahkan ke MOSVIA Magelang. Penyebabnya adalah beban keuangan yang tidak bisa ditanggung lagi oleh kas pemerintahan kolonial Belanda.
Selanjutnya, gedung tersebut digunakan untuk Sekolah Kehutanan Menengah Atas Madiun, atau Middlebare Boschbouw School te Madiun (MBS) yang didirikan oleh J.H. Becking, pimpinan Jawatan Kehutanan pada tanggal 26 Agustus 1939. Dilansir dari dapobud.kemdikbud.go.id, bosbow atau boschbouw merupakan kata dari bahasa Belanda, bosch berarti hutan/kehutanan, bouw berarti gedung.
Setelah berjalan tiga tahun, MBS Madiun akhirnya ditutup dan dilarang oleh pihak Jepang. Sejak tahun 1950-an sampai 1970-an kompleks bangunan Bosbow digunakan oleh Batalyon 508 sebagai Makayon 508. Selanjutnya, asrama Bosbow digunakan sebagai tempat hunian para prajurit mantan anggota 508, Kodim 0803/Madiun, dan Korem 081/DSJ hingga sekarang.
Gedung Gereja Katolik Santo Cornelius
Tak hanya menjadi pusat kegiatan keagamaan, Gereja Santo Cornelius juga menyimpan nilai sejarah penting bagi Kota Madiun, yakni sebagai saksi perkembangan agama Katolik pada masanya. Kompleks bangunan ini memancarkan keanggunan dan keagungan sejarah. Keberadaannya mencerminkan harmoni antara arsitektur dan spiritualitas yang mesti dilestarikan.
Dilansir dari keuskupansurabaya.org/page/paroki-santo-cornelius-madiun/, Paroki Santo Cornelius Madiun merupakan Paroki tertua kedua di Keuskupan Surabaya setelah Paroki Kelahiran Santa Perawan Maria, Kepanjen, Surabaya. Berdirinya Paroki Santo Cornelius Madiun tidak lepas dari Sejarah Paroki Ambarawa. Paroki Santo Cornelius pada awalnya menjadi stasi bagian dari Paroki Ambarawa.
Pada tanggal 2 Agustus 1859, bagian tenggara stasi Semarang dipisah dan berdirilah Gereja Ambarawa, menjangkau wilayah Ambarawa, Salatiga, Solo, Madiun, Pacitan. Pada tanggal 28 Juli 1897, Pastor Cornelis Stiphout, SJ yang sebelumnya menjabat sebagai Pastor Pembantu di Magelang di pindah ke Madiun, kemudian Madiun berubah menjadi Stasi dan terpisah dari Stasi Ambarawa.
Pada tanggal 12 Maret 1899 Gereja Katolik di Madiun dibangun di sebelah barat Pastoran, yang sekarang dipakai sebagai Aula Bernardus. Perkembangan umat Katolik di Madiun semakin bertambah, maka bangunan gereja tersebut tidak mampu menampung umat yang ada. Oleh karena itu pada tahun 1937 dimulai pembangunan gereja baru.
Gereja tersebut diberkati pada tanggal 19 Juni 1938 oleh Mgr. Th. Backere, CM, Prefek Apostolik Surabaya, dengan nama pelindung Santo Cornelius, salah satu martir Gereja. Bangunan Gereja Katolik Santo Cornelius tesebut dipakai sampai sekarang ini. Tidak hanya sebatas pembangunan bangunan gereja saja, namun jumlah umat Katolik juga semakin berkembang
Gedung Bakorwil Madiun
Gedung Bakorwil Madiun, bangunan Cagar Budaya yang telah ditetapkan Pemerintah Provinsi Jawa Timur berdasar Nomor 188/KPTS/013/2021 tersebut berada di Jalan Pahlawan 31, Madiun Lor, Kecamatan Madiun, Kota Madiun. Akses menuju Gedung Bakorwil sangat mudah, berada di pusat kota dan jalan utama kota Madiun. Hanya berjarak 500 m dari Stasiun Madiun.
Dilansir dari apps.cagarbudayajatim.com/bangunan-cagar-budaya/gedung-bakorwil-madiun, bangunan yang kini difungsikan sebagai Kantor Bakorwil Madiun ini sekilas mirip dengan Istana Merdeka di Jakarta. Gaya bangunan bercirikan Indische Empire Style yang mengindikasikan bahwa bangunan tersebut dibuat pada abad 19. Gaya arsitektur itu memang berkembang pada abad 18 atau 19.
Bangunan tersebut semula bernama Residenhuis Madioen atau Rumah Dinas Residen Madiun. Fasade depan bangunan menghadap ke barat dengan tiang-tiang di depan dan menara di sisi selatan. Bangunan ini memiliki denah (L) yang memanjang timur barat dan utara selatan. Sementara sentralnya berada pada bangunan bertiang dan beratap piramida dengan hiasan nok di puncak.
Bagian bangunan yang memanjang timur barat serta utara selatan beratap pelana. Dinding eksteriornya bercat putih dilengkapi pintu dan jendela pada sisi timur dan barat. Serambi muka dan belakang terbuka dilengkapi pilar bergaya Yunani membuat gedung ini terkesan monumental. Ditambah penggunaan atap perisai, dan terdapat koridor tengah yang menghubungkan antar serambi dan antarruang satu dengan lainnya.
Pada sisi depan terdapat teras sebagai ruang terbuka, di belakangnya ada pendopo, lalu ruang luas memanjang sebagai ruang tamu dengan tiga kamar di sisi kanan dan kiri. Di belakang ruang tamu, ada ruang keluarga dan ruang makan dengan dua ruang di sisi kiri yang difungsikan sebagai dapur dan kama. Sementara sisi kanannya sebagai kamar dan toilet. Lantainya bervariasi, dari granit, teraso, hingga tegel.
Gedung GPIB Gamaliel Madiun
Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Gamaliel Madiun memiliki historis panjang sebagai warisan kepada generasi penerus. Gedung GPIB Gamaliel juga telah masuk atau ditetapkan sebagai Cagar Budaya oleh Pemerintah Kota Madiun. Keberadaan gereja tua di kota ini disebut tak terlepas dari perubahan Madiun menjadi kota industri pada awal abad ke-20.
Mengutip dari Madiun Today, GPIB Gamaliel dibangun oleh tokoh bernama T. Pilon Spark, pada 30 Agustus 1908. Hal itu terbukti dari tulisan (bahasa Belanda) pada prasasti batu pualam yang menempel di dinding teras GPIB Gamaliel Madiun tersebut. Pada prasasti itu disebutkan juga tokoh sebagai pemimpin pembangunan gedung GPIB Gamaliel adalah W.F. Reisner.
Menurut selingkarwilis.com/pilihan/85011174675/mengenal-gpib-gamaliel-madiun, perubahan Madiun itu ditandai dengan banyaknya pabrik gula. Lantaran itu, Madiun juga mulai lebih variatif warganya dengan keberadaan orang-orang Eropa dan warga lokal. Dengan bimbingan T. Pilon Spark, GPIB Gamaliel pada masa itu melayani umat Protestan yang berada di Madiun.
Sebelum menjadi GPIB Gamaliel, gereja tersebut pada masa Hindia Belanda bernama Kerkkeraad der Protestansche Gemeente te Madioen atau Gereja Protestan Jemaat Madiun. Baru pada 1974 gereja tersebut mulai dikenal dengan nama GPIB Jemaat Gamaliel Madiun. GPIB sendiri konon merupakan salah satu lembaga keagamaan Kristen yang cukup tua di Indonesia.
Gedung Balai Kota Madiun
Gedung Balai Kota Madiun merupakan pusat pemerintahan Kota Madiun. Di gedung yang beralamat di Jalan Pahlawan No.37, Kelurahan dan sekaligus Kecamatan Kartoharjo ini para petinggi Kota Madiun seperti wali kota, wakil walikota dan sekretaris daerah berkantor dan menjalankan pemerintahan.
Dikutip dari andrikyawarman.wordpress.com/2017/12/10/sekilas-sejarah-balai-kota-madiun/, sejarah pembangunan gedung ini diawali setelah pemerintah Hindia-Belanda mengesahkan berdirinya Gemeente (Kota) Madiun pada 20 Juni 1918 berdasarkan tahun 1918 Stasblad No. 326. Pemerintahan ini terpisah dari pemerintahan kabupaten dengan kepala pemerintahan yang disebut Burgemeester atau Wali Kota.
Penantian panjang selama 10 tahun itu terbayarkan pada 30 November 1929. Pada tanggal yang jatuh hari sabtu pagi itu diadakan acara Eerste Steenlegging atau peletakan batu pertama. Acara tersebut diawali dengan ritual adat Jawa yaitu selametan para pekerja dan dilanjutkan penguburan karbouwenkop atau kepala kerbau.
Kemudian baru pada tanggal 1 Agustus 1930, atau sehari sebelum perayaan kelahiran Ratu Suri Emma of Waldeck and Pyrmont, gedung Balai Kota ini diresmikan dan mulai digunakan untuk kegiatan pemerintahan. Roeloef Adriaan Schotman pun menjadi Burgemeester pertama yang berkantor di Balai Kota.
Gedung Balai Kota Madiun ini menghadap kearah barat. Langgam arsitektur Balai Kota Madiun bercirikan Nieuwe Bouwen yang terinspirasi oleh aliran International Style dan mengadopsi karakter arsitektur lokal sebagai adaptasi terhadap kondisi iklim tropis basah di lingkungan setempat (Rizaldi Dkk, 2016).
Gedung ini dilihat melalui satelit terdiri atas empat bangunan, membentuk segi empat dengan di tengahnya terdapat taman. Bangunan utama yang terletak di depan dilengkapi dengan sebuah menara yang tingginya ± 10 meter. Menara tersebut difungsikan sebagai area pengawasan atau pertahanan, mirip dengan ciri arsitektur tipe peralihan pada masa kolonial Belanda di Indonesia.
Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini berubah nama menjadi Madiun Shi Jakusyo yang kurang lebih artinya sama dengan Kantor Balai Kota. Mr. Soesanto Tirtoprodjo yang diangkat menjadi Burgemeester Madiun pada tahun 1941, kemudian ditunjuk oleh Jepang menjadi pejabat Shicho atau Wali Kota Madiun. Setelah kemerdekaan hingga sekarang fungsi gedung ini tidak berubah.
Kompleks Santo Bernardus dan Biara Ursulin Madiun
Fasilitas pendidikan lawas di Kota Madiun tidak hanya disediakan oleh sejumlah sekolah negeri, namun ada juga lembaga sekolah Katolik seperti sekolah TK, SD, dan SMP Katolik Santo Bernadus. Sarana pendidikan tersebut sudah ada sejak era kolonial dulu. Kompleks bangunan yang terdiri atas ruang sekolah dan biara tersebut masih berdiri kokoh hingga sekarang.
Dilansir dari ursulinindonesia.or.id/section-item/182, Madiun di tahun 1900 an hanya merupakan sebuah desa besar. Banyak anak yatim piatu yang membutuhkan pertolongan. Mereka dikumpulkan oleh Romo B. Schweitz, SJ. Makin lama makin banyak jumlah mereka sehingga Romo B. Schweitz kewalahan. Beliau minta bantuan para Suster Ursulin di Kepanjen Surabaya.
Pada tanggal 17 Juli 1914 komunitas Ursulin Kepanjen mengutus keenam Suster ke Madiun yakni Sr. Agnes Cohill, Sr. Edmunda Hafkenscheid, Sr. Suzanne Sanders, Sr. Josepha Wilberts, Sr. Paula Leefers dan Sr. Bernarda Steenbruggen. Para Suster segera menangani panti Asuhan, Sr. Edmunda berusaha menyiapkan ruangan untuk membuka TKK, selain itu para Suster membantu mengurus Gereja.
Tahun 1922 mendirikan TKK untuk anak-anak Jawa dan tahun 1925 membentuk HIS (Hollands Inlandse School). Pada tanggal 6 Juli 1924 Yayasan Paroki untuk Panti Asuhan diserahkan kepada suster Ursulin. Pada tanggal 31 Juli 1924 mulai pembangunan gedung sekolah, peletakan batu pertama dilakukan oleh Mgr A.P.Van Velsen, SJ.
Pada tanggal 1 Juli 1925 dibuka dua sekolah rendah (Sekolah Dasar) yaitu E.L.S (Europee Lagere School) untuk anak-anak Jawa dan H.I.S. (Hollands Inlandse School) untuk anak-anak Belanda. Tanggal 18 Maret 1945 biara dan sekolah dipakai tentara jepang, para suster dan anak-anak panti mengungsi di barak-barak di daerah Josenan.
Kemudian pada 22 April 1942 para Suster Belanda ditangkap dan menjadi tawanan di kamp-kamp yang dijaga ketat tentara Jepang. Tahun 1946 para Suster dan anak-anak panti terpaksa pindah ke Komunitas Malang karena tidak mempunyai tempat lagi, lantaran berturut-turut dikuasai oleh tentara Jepang, Sekutu, dan selanjutnya tentara Pemuda Indonesia.
Akhirnya, tanggal 8 Juli 1950 merupakan hari istimewa yang penuh dengan kegembiraan. Pada hari tersebut para suster diberitahu bahwa TNI segera akan keluar dari kompleks biara. Kemudian pada tanggal 10 Juli mereka mulai pindah kembali, dan pada tanggal 15 Juli kapel di biara sudah diberkati dan dipakai lagi.
Kelenteng Hwie Ing Kiong Madiun
Seperti kota kebanyakan, Kota Madiun juga menyimpan tempat wisata relegi peninggalan bersejarah yang menggambarkan harmonisnya hubungan antarsuku dan ras, yakni Klenteng Tri Dharma atau dikenal dengan sebutan Kelenteng Hwie Ing Kiong. Klenteng ini terletak di Jalan HOS Cokroaminoto 69 Kota Madiun.
Dirilis dari lingkarmadiun.pikiran-rakyat.com/pariwisata/pr-661423207/klenteng-hwie-ing-kiong, bangunan utama kelenteng menggambarkan kekayaan budaya dan arsitektur Tiongkok. Konon, para arsitek dan tenaga kerja didatangkan langsung dari Fujian. Pembangunan Kelenteng Hwie Ing Kiong dimulai tahun 1887 Masehi atau Yinli 2438 (menurut tarikh Imlek)dan selesai tahun 1896/Yinli 2447.
Sebelumnya, Kelenteng ini sangat sederhana didirikan di sebelah barat Sungai Madiun, terletak di samping jembatan sebelah barat. Warga Tionghoa pada waktu itu membawa patung Ma Zu Thien Shang Shen Mu setinggi 97 cm langsung dari Tiongkok guna disembahyangi di Kelenteng tersebut. Setelah ditemukan lokasi yang lebih representatif, kelenteng tersebut kemudian dipindah di lokasi saat ini.
Sebagai saksi bisu perjalanan waktu, Kelenteng Hwie Ing Kiong menjadi destinasi yang menarik, mengundang wisatawan untuk menyaksikan keelokan arsitektur Tiongkok yang kental di tengah Kota Madiun. Melalui klenteng ini, kita dapat memahami lebih dalam nilai-nilai sejarah, keberagaman budaya, dan ketahanan sebuah komunitas dalam melestarikan akar budayanya.
Rumah Pabrik Rokok Klobot Merk Grindo
Rumah pabrik rokok klobot bermerek Grindo di Jalan Kutai, Kota Madiun, terlihat sepi, pintu pagar maupun pintu rumah terkuni. Tak ada tanda-tanda orang di dalamnya. Bangunan rumah tersebut lokasinya hanya sekitar 200 meter dari Alun-alun Kota Madiun. Dari luar pagar membawa kita seperti kembali ke masa lalu, bangunan kuno pada zaman kolonial Belanda.
Tak bisa banyak untuk diceritakan lantaran rombongan PSL Goes to Madiun tak dapat masuk di dalam bangunan tersebut. Meski salah satu dari rombangan yang tak mau disebutkan namanya, sejatinya adalah salah satu pewaris bangunan Pabrik Rokok Grindo tersebut. Ia mengatakan bahwa orang yang dipercaya mengurusi bangunan tersebut sedang bepergian ke luar kota, sedangkan dirinya sudah 14 tahun tak pernah sambang.
Kedai Kopi Kakak Madiun, Dahulu Kediaman Kapten Njoo Swie Lian
Jelang pukul 17.00 acara blusukan PSL Goes to Madiun masih menyisakan satu lokasi, yakni di bangunan yang saat ini ditempati Kedai Kopi Kakak. Niatan semual selain sambil istirahat menikmati sajian aneka menu khas Kedai Kopi Kakak, juga ingin blusukan untuk explore bangunan kuno dengan arsitektur kental nuansa pecinan yang masih kokoh dan terawat.
Dilansir dari radarmadiun.jawapos.com/madiun/801212578/jejak-kapten-njoo-swie-lian-di-kota-madiun, bangunan itu dulu merupakan kediaman Kapten Njoo Swie Lian, seorang pemimpin etnis Tionghoa di Kota Madiun. Ia menempatinya mulai 1912 sampai akhir hayatnya pada 1930. Njoo Kie Siong, ayah Njoo Swie Lian, salah seorang pendiri kelenteng di Jalan HOS Cokroaminoto.
Rumah yang saat ini ditempati Kedai Kopi Kakak, sejak Njoo Swie Lian meninggal, rumah itu ditempati Njoo Hong Bo, anaknya, bersama Ong Swan Nio, menantunya. Setelah itu, ganti Yenny, salah seorang anak pasangan tersebut yang menempatinya hingga tahun 2012, sebelum berpindah kepemilikan. Rumah kapitan China itu sempat pula digunakan sebagai sekretariat perkumpulan warga keturunan Tionghoa.
Biarkan Foto Bicara
PSL Goes to Madiun, 17 Februari 2024