Yogyakarta tak sekadar sebagai jujugan destinasi wisata yang menyuguhkan keindahan panorama alam yang memikat, namun juga menjadi sarana edukasi untuk mengenal salah satu kultur dan sejarah Jawa. Jalan Malioboro menjadi satu di antara ikon Kota Yogyakarta merupakan tempat yang tak pernah mati. Siang maupun malam selalu dikunjungi orang.
Malioboro dengan aktivitas yang ikonik, seperti bersliweran andhong setiap saat, berjajar-jajar lapak jajakan pernak-pernik khas, produk beragam dari bahan batik, dan aneka kuliner. Di samping juga lalu lalang orang berjalan atau belanja di Pasar Beringharjo, seniman jalanan, pengamen, dan lain-lain tentu sudah tersohor tak hanya di negeri ini tetapi juga manca negara.
Kebetulan saat di Yogyakarta (8-9/9/2021) pada pagi hari saya sempatkan mancal pedal sepeda dan keliling kawasan Malioboro, kebetulan juga tak jauh dari tempat inap. Satu hal yang tak pernah saya lewatkan ketika sedang di Yogyakarta yakni ‘andok’ (Jw) atau makan di tempat di Gudeg Mbok Lindu, Jalan Sorowijayan, kawasan Malioboro Yogyakarta.
Gudeg Mbok Lindu Diteruskan Generasi Keduanya
Kali pertama saya mengenal dan ‘andok’ Gudeg Mbok Lindu pada tahun 2011. Saat itu Mbok Lindu masih berjualan di pos kampling samping kanan Hotel Grage Ramayana, Jalan Sosrowijayan, kawasan Malioboro. Sekarang pun masih di jalan yang sama, tetapi hanya pindah tempat. Tepatnya di Jalan Sosrowijayan St No. 30, Sosromenduran, Gedong Tengen, Yogyakarta 55271.
Meski Mbok Lindu telah meninggal dunia, namun cita rasa gudeg tidak berubah sama sekali. Resep gudeg yang diturunkan Mbok Lindu kepada anaknya menjadikan cita rasa gudegnya tetap sama, sehingga pelanggan tetap bertahan tak mau pindah ke lain gudeg. Mbok Lindu meninggal Minggu (12/7/2020) pukul 18.00 WIB, penyebabnya usia sudah tua. Usianya sudah 100 tahun lebih.
Semeleh lan Narimo ing Pandum, Pembelajaran dari Mbok Lindu
Ada yang muncul dari ingatan setiap kali ‘andok’ Gudeg Mbok Lindu, yakni pembelajaran hidup yang sempat saya petik dari beliau. Ketika itu lagi ‘andok’ kesekian kalinya (2014), lupa keberapa karena seringnya. Sempat ‘ngobrol’ singkat dengan Mbok Lindu, kebetulan saat pagi itu pembeli belum ramai. Sambil melayani pesanan menu Mbok masih bisa diajak ngobrol ringan.
Mbok Lindu yang mempunyai nama asli Setya Utomo (baca Setyo Utomo) saat itu berusia sekitar 95 tahun. Meski berusia 95 tahun bukan sebagai penghalang untuk tetap semangat bekerja. Wanita yang kenyang pahit manisnya kehidupan itu memiliki lima anak, dan saat itu telah dikaruniai 15 cucu dan 8 buyut. Mbok yang sudah rentu tak mau menggantungkan nasib pada belas kasihan anak-anaknya. Tetap ingin berkarya.
“Kagem awet sehat lan dowo umur puniko resepe nopo, Mbok?”, (Untuk awet sehat dan panjang umur itu resepnya apa, Mbok?), tanya saya saat itu.
“Semeleh lan Narimo. Urip puniko kedah semeleh lan narimo ing pandum, Nak”, jawab Mbok Lindu sembari melayani pelanggan.
Urip kedah semeleh lan narimo ing pandum, bisa jabarkan bahwa orang hidup itu harus selalu bertawakkal atau berserah diri dan menerima apa pun dengan hati yang ikhlas pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa. Kalimat yang tampaknya sederhana yang sarat nilai filosofi itu merupakan falsafah orang Jawa yang cukup dalam maknanya, dan tak gampang untuk dilakukan oleh setiap orang.
Urip semeleh lan narimo ing pandum adalah sikap menempatkan hati untuk menerima apa pun keadaan yang sedang dialami dengan penuh rasa ikhlas. Di samping itu, selalu bersyukur atas karunia Tuhan Yang Maha Kuasa berupa apa pun baik pada pada masa lalu, maupun kini. Tak cukup itu, juga selalu berupaya menambah kebaikan untuk masa yang akan datang.
*
Sebenarnya tak hanya Malioboro sebagai magnet yang menyedot wisatawan berkunjung ke Yogyakarta, namun daya tarik kota yang dijuluki sebagai ‘Kota Gudeg’ itu terletak pada wisata sejarah, kekayaan kultur dan seni budaya, keragaman objek alam, serta kreativitas warganya yang selalu berupaya mengangkat berbagai keunikan dan kearifan lokal untuk diolah menjadi sesuatu yang layak jual. Yukk, kapan Anda ingin pergi ke Yogyakarta?
Djogdja, banyak penjual gudegnya dan masing-masing punya ciri khas rasanya.
Jadi kangeen pulang Djogdja….
Gudeg dan Yogya satu kesatuan yang tak terpisahkan. Pergi ke Yogya kalau belum makan gudeg ada sesuatu yang kurang. Tetapi dengan membaca artikel di atas, dapat literasi gudeg yang sesuai selera.Keren.
Kadang ga sabar nunggu yg antri….
Kalo datang pukul 06.00 an masih belum ramai, dua kali pagi pukul 06.00 aku ke andok ke sana pembeli baru beberapa saja, Bu.
Matur suwun. Sehat selalu….