Marjolein van Pagee, sejarawan Belanda lulusan Leiden sebagai Master of Colonial History, meluncurkan buku terbarunya, Genosida Banda, Kejahatan Kemanusiaan Jan Pieterszoon Coen. Diskusi dilaksanakan bersama Roode Brug Sorabaia dan Museum 10 Nopember, hadir pula sebagai narasumber Dr. Johny Alfian Khusyairi, dari Sejarah Unair, di Auditorium Museum 10 Nopember Surabaya, Minggu (4/2/2024) pukul 10.00.
“Sekarang ini sedang menjadi tren di Belanda untuk menengok kembali sejarah kolonial.
Sudah bukan lagi kontroversi untuk mengatakan bahwa kolonialisme adalah hal yang salah,” tutur Marjolein van Pagee saat mengawali diskusi.
Dalam bukunya, Marjolein van Pagee mengkritisi sumber-sumber arsip Belanda sendiri, dan berupaya mengangkat kisah dari sisi Indonesia. Ia menyuarakan keberadaan masyarakat Wandan, generasi yang selamat dari pembantaian Jan Pieterszoon Coen pada awal abad 17.
Marjolein berusaha membeberkan satu peristiwa sejarah di Banda, Maluku, pada abad ke-17. Banda menjadi sentra rempah paling mahal, yakni pala dan bunganya. la mengurai diktum Jan Pieterszoon Coen yang sohor sebagai pendasar kolonialisme Belanda di Nusantara, “Tiada perdagangan tanpa perang, tiada perang tanpa perdagangan.”
Di samping itu, Marjolein juga mencoba menganalisis keterkaitan konflik agama di Eropa hingga Perang Salib atas peristiwa pembantaian di Banda. Ia mengingatkan pula bahwa sejarawan yang tidak mengkritisi sumber arsip-arsip Belanda, berpotensi melanjutkan narasi yang salah tentang Genosida Banda.
Ini menjelaskan bahwa di masa VOC perdagangan tidak melulu berbasis kesepakatan. VOC memaksa Banda berhenti berdagang dengan bangsa lain. Situasi kacau diciptakan di Banda sejak VOC datang berkapal-kapal pada 1599. Lantaran penduduk Banda menolak monopoli sehingga VOC memutuskan menggunakan kekerasan.
Pada 1621 Jan Pieterszoon Coen membunuh secara massal 14.000 dari 15.000, lalu mengusir dan memperbudak penduduk Banda. Marjolein tak hanya menunjukkan bagaimana semua itu terjadi, tetapi juga menempatkan VOC sebagai kekuatan sistem penindasan kolonial yang menjalankan praktik genosida. Namun, hingga kini diaspora Wandan masih eksis di Kepulauan Kei dan Seram.
Diskusi serupa telah dilaksanakan pula di Aula Ki Hajar Dewantara FIS Universitas Negeri Malang yang diselenggarakan oleh Departemen HKN, FIS UM dan MGMP Sejarah SMA Kota Malang, serta didukung oleh PEHP LPPM UM, Roode Brug Soerabaia, Histori Bersama, dan Karavan. Selain Marjolein, Daya Negri Wijaya dari PEHP LPPM UM dan Zainul Hasan dari MGMP Sejarah SMA Kota Malang sebagai narasumber juga pada Jumat (2/2/2024) pukul 13.00.
Cerita dalam Foto
Diskusi Publik “ Bincang Buku Genosida Banda”
Auditorium Museum 10 Nopember Surabaya
Cerita dalam Foto
Diskusi Publik “ Bincang Buku Genosida Banda”
Aula Ki Hajar Dewantara FIS Universitas Negeri Malang
terimakasih pak ali