Suatu siang dalam suasana tegang di ruang kerja suatu kantor pemasaran produk-produk lokal, Ratih dan Ruthi terlibat percekcokan.
Ratih: “Kamu benar-benar egois, Ruth! Selalu berpikir tentang dirimu sendiri.”
Ruthi: “Maaf kalau aku seperti itu. Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu.”
Ratih: “Tak peduli aku! Kamu hanya membuat semuanya menjadi lebih sulit.”
Ruthi: “Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku hanya ingin membantu!”
Ratih: “Aku tidak butuh bantuanmu! Lebih baik kamu menjaga jarak dariku.”
Jika mencermati ilustrasi dialog tersebut, Ratih sebagai seorang yang emosional, impulsif, dan tidak mempedulikan perasaan orang lain. Dialog menunjukkan bahwa Ratih cenderung menyalahkan orang lain, merasa benar sendiri, seperti yang terlihat dari responsnya terhadap Ruthi. Ratih dalam dialog tersebut memiliki sifat yang keras, ketus, dan sulit menerima pendapat orang lain.
Di sisi lain, Ruthi sebagai seorang yang penuh peduli. Dia mencoba untuk menjelaskan niat baiknya kepada Ratih meski dihadapkan pada respons yang keras. Dia sebagai sosok yang sabar, penuh empati, dan sensitif terhadap perasaan orang lain. Walaupun dia mungkin terluka perasaannya oleh respons Ratih, dia tetap berusaha memahami dan ingin tetap memberikan dukungan.
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita tidak menyadari bahwa lisan, sikap, dan tindakan kita bisa menyakiti perasaan orang lain. Jika perasaan itu dianalogikan dengan selembar kertas putih tanpa cacat, ketika perasaan itu satu kali kita sakiti, maka ibarat kita satu kali meremas kertas tersebut. Selembar kertas itu pasti akan cacat, menjadi kusut, dan tentu tak mulus lagi.
Demikian pula, bila berkali-kali kita menyakiti perasaan seseorang, tak ubahnya kita meremas-remas kertas itu berkali-kali pula. Apa jadinya? Kertas itu akan semakin kusut tak berbentuk. Bisa saja kita meminta maaf, bisa jadi seseorang tersebut akan memaafkan. Ibarat kertas tadi, meski kita perbaiki bisakah kertas tersebut menjadi halus kembali tanpa cacat atau kusut. Tentu tidak.
Pun dengan perasaan, meski seseorang tersebut sudah memaafkan namun luka dalam perasaan akibat lisan, sikap, perbuatan, maupun kesombongan yang diterimanya tetap terasa dan akan tetap membekas pada dirinya. Maka, kesadaran akan dampak dari perilaku tersebut adalah langkah awal yang penting menuju sebuah hubungan yang sehat, penuh empati, dan harmonis antarsesama.
Menyakiti perasaan orang lain tak hanya pada orang dewasa, di kalangan anak-anak dan remaja millennial bahkan sering menjadi trending topic dengan perilaku bullying. Perilaku ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk dengan lisan, sikap, dan tindakan fisik kepada korban yang umumnya dia pada possisi pihak yang lemah.
Bullying dengan lisan meliputi penggunaan kata-kata yang menyakiti, menghina, atau merendahkan orang lain. Ini bisa termasuk ejekan, celaan, ancaman, atau penghinaan secara verbal. Tindakan ini dapat menyebabkan gangguan psikis bagi korban, seperti stres dan kecemasan.
Lalu, bullying dengan sikap yakni bullying dengan melibatkan perilaku yang merendahkan, mengintimidasi, atau mengucilkan orang lain. Contohnya termasuk melihat dengan sinis, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, atau menganggap remeh lantaran dianggap tidak se level.
Sedangkan bullying dengan tindakan fisik, yakni meliputi penindasan secara fisik, seperti pukulan, tempeleng, tendangan, atau tindakan agresi fisik lainnya. Ini juga termasuk dalam bentuk perilaku intimidasi yang dapat menyakiti secara fisik atau emosional.
Hati-hati dengan lisan, sikap, dan perbuatan kita. Hidup diibaratkan ‘mampir ngombe’ dari sebuah perjalanan panjang. Jangan pernah menjadi bagian dari orang-orang yang begitu mudah menyakiti perasaan orang lain dengan lisan, sikap, perbuatan, apalagi dengan kesombongan. Kita tahu, setiap orang mempunyai toleransi untuk menahan rasa sakit hati itu berbeda-beda.