Menunggu Kereta Terakhir

  • FIKSI
Menunggu Kereta Terakhir
Share this :

Senja mulai menyelinap masuk melalui kaca jendela-jendela besar. Meski suasana hiruk-pikuk dan lalu-lalang di ruang tunggu, namun tak mampu mengusir perasaan galau di antara para penumpang yang sedang menunggu. Cahaya senja memerah memantul di dinding-dinding stasiun, menciptakan bayangan yang panjang dan melankolis. Suasana seakan begitu hening, waktu seakan terhenti, menambah perasaan semakin gelisah.

Meski ramai orang berhimpitan jalan di ruang tunggu stasiun, suasana terasa aneh tak seperti kehidupan sehari-hari. Orang-orang melangkah cepat saat berpapasan, suara kereta yang berderit di peron, dan cahaya yang redup dari lampu-lampu plafon menciptakan atmosfer yang menegangkan. Bagi orang-orang yang mengantar orang tercintanya, setiap detik terasa seperti melambat, dan kekhawatiran yang dalam mengisi penuh dalam pikirannya.

Mereka duduk di bangku yang terasa keras, sehingga kerap mengisut-isutkan pantatnya. Sebentar-sebentar menatap ke arah pintu masuk stasiun dengan pandangan kosong, mencoba menahan rasa cemas yang mendera. Detak jantungnya berdebar kencang, dan tangannya terasa gemetar ketika mencoba menutupi ketidakpastian yang melanda. Melihat wajah orang yang mereka cintai, mereka merasakan getaran perasaan gelisah memenuhi setiap celah ruangan.

Setiap suara yang terdengar, entah itu pengumuman, suara langkah kaki, atau suara kereta yang datang, meningkatkan intensitas kegelisahan mereka. Saat itu mereka merasakan adanya tekanan di dada, seolah-olah dunia berputar lebih lambat, dan mereka tidak bisa menghindari perasaan kehilangan yang akan datang. Di tengah keramaian dan kebisingan, mereka merasa terisolasi dalam kekhawatiran dan kesedihan yang sebenarnya mereka ciptakan sendiri.

Di sudut ruang, terlihat sepasang remaja, Rama dan Sita, mereka tengah terperangkap dalam momen yang penuh mendebarkan. Rama, berusia 24 tahun, tubuh tegap dengan tinggi badan di atas rata-rata. Wajahnya tampan dengan mata yang tajam menatap penuh kehangatan. Rambut hitamnya tersisir rapi, memberikan kesan keteraturan dan keanggunan. Tampak gagah namun penuh dengan kelembutan, ia dikenal selalu memberikan kekuatan bagi orang di sekitarnya.

Sementara itu, gadis cantik semampai bernama Sita, berusia 20 tahun, rambut panjang berwarna cokelat gelap tergerai lembut di atas pundak. Matanya cokelat penuh dengan keceriaan namun saat ini tampak sayu. Sendu. Tak seperti biasanya, senyuman manisnya tak mampu memancarkan cahaya di wajahnya. Sifatnya yang hangat dan penyayang membuatnya menjadi sosok yang disukai banyak orang itu terkubur oleh perasaan sedih yang sedang membuncah di hatinya.

Ketika kereta yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, suasana semakin tegang. Rama dan Sita berdiri dari tempat duduk, berdua saling berpelukan erat, seolah ingin menahan waktu agar tidak berlalu begitu cepat. Air mata pun tak bisa lagi mereka tahan, mengalir deras di antara serangkaian pelukan yang tak ingin mereka lepas. Mereka berdua saling memandang, mencerminkan kekuatan cinta yang begitu dalam, namun juga kepedihan yang tak terucapkan.

Sementara lonceng stasiun sudah berbunyi berulang-ulang, suatu pertanda bahwa kereta akan segera berangkat, dan itu tiba saatnya bagi Rama untuk meninggalkan kekasihnya. Dengan perasaan yang berat, ia melepas pelukan dan mengusap lembut air mata yang mengalir di pipi Sita. Melangkah gontai namun penuh ketegaran hati, dengan ransel di punggung dan tentengan tas di tangannya, Rama melangkah menjauh, meninggalkan sang pujaan hati yang tetap terpaku di tempatnya.

Dengan perasaan hati yang hancur, mata Sita terus mengikuti langkah Rama, meskipun ia tahu bahwa itu adalah langkah terakhir mereka bersama untuk sementara waktu yang panjang. Dalam keheningan yang menyiksanya, ia melambaikan tangan, menatap kereta yang mulai bergerak perlahan-lahan. Ia berharap agar sang kekasih, Rama, dapat merasakan getaran cintanya yang tak terucapkan, namun kereta terakhir telah pudar dari pandangannya.

Namun, semakin jauh kereta bergerak, semakin jauh pula keberadaan Rama dari pandangan mata Sita. Dalam kehampaan yang menyelubungi hatinya, ia merasa bagai terhempas oleh gelombang kesedihan yang tak mampu ia kendalikan. Ruang tunggu semakin sepi, ditinggalkan satu persatu oleh para pengantar. Yang Sita rasakan, suasana ruangan sesak oleh kepedihan hati, yang seakan memperkuat rasa kehilangan yang kian terasa.

Keluar dari ruang tunggu dengan langkah kakinya yang terasa rapuh untuk menopang tubuhnya, Sita merasakan beban berat di masa-masa jauh dengan Rama yang akan memulai bekerja di kota berjarak hampir ribuan kilometer dari dirinya. Pertanyaan-pertanyaan yang tak berujung merayapi pikirannya. Mampukah Rama akan bertahan? Apakah cinta selama ini cukup kuat untuk melawan jarak dan waktu yang barangkali justru akan memisahkan hubungan cintanya?

Ataukah kesibukan masing-masing akan melumatkan perasaan yang terasa begitu kuat saat ini? Hanya waktu yang akan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, sementara hatinya terusik oleh rasa pedih yang tak mampu ia bendung. Suasana petang yang semakin redup membawa Sita pada perjalanan yang penuh dengan ketidakpastian dan bayangan-bayangan hitam menggelayut yang akan dihadapinya tanpa Rama di sampingnya.

Featured image: by Bing AI/alisson.id

You may also like

1 thought on “Menunggu Kereta Terakhir”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *