Hidup pada era digital semua serba cepat, mudah dan instan. Bagi anak-anak zaman sekarang, internet menjadi kebutuhan primer. Mereka banyak menghabiskan waktu di depan smartphone atau komputer daripada melakukan aktivitas di luar ruangan. Mereka dapat dengan mudah mencari informasi melalui search engine tanpa harus membaca buku.
Ingin dikenal publik, mereka dapat secara instan menjadi youtubers atau vlogger kemudian disebarkan melalui sosial media. Hidup pada era digital memang heboh. Era digital adalah masa ketika semua manusia telah melek teknologi, serba terkoneksi, dapat saling berkomunikasi sedemikian dekat walaupun saling berjauhan.
Wikipedia menyebutnya, era digital bisa juga disebut dengan globalisasi. Globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya yang banyak disebabkan oleh kemajuan infrastruktur telekomunikasi, transportasi dan internet.
Era Internet
Halaman website, entah itu berupa news, blog, sosial media, forum, dan lain-lain terbukti mampu memberikan informasi yang diinginkan dalam hitungan detik. Sebutannya sudah ‘flash’ dan bukan lagi instant. Jaringan internet menjadi kebutuhan prioritas.
Saat ini internet sudah menjadi perpustakaan dunia yang merekam segala informasi yang ada. Satu missal, ingin tahu cara membuat rendang, tinggal browsing. Bahan, dan cara mengolahnya sudah tersedia, tinggal baca. Tidak perlu bertanya tetangga yang asli Padang. Cukup ketik keyword yang sesuai.
Dikutip dari yoga-ps.com, mencari atau mengumpulkan informasi melalui browsing itu bagus, namun jika tidak berhati-hati setidaknya ada tiga bahaya yang mengancam para ‘flash information seeker’, mereka yang ingin dapat informasi dalam sekejap.
Menurut Yoga PS, ada tiga keuntungan hanya didapat lewat membaca mendalam melalui buku, dan membuatnya tak tergantikan oleh website, yakni :
Website memberi informasi yang lebih cepat, buku yang bagus memberi informasi yang kuat
Saat ini hoax menyebar begitu cepat lewat website daripada lewat buku. Mengapa? Karena tidak ada filter informasi. Seseorang bisa menulis teori tentang cara diet menurunkan berat badan menggunakan lemak ayam lewat blog, misalnya.
Content di website yang pasti tak ada yang me-recheck apakah informasi yang ditulis benar atau salah. Filter hanya ada pada pembaca yang sadar dan mempertanyakan, ini masuk akal atau tidak?
Tak sama dengan buku, untuk menulis sebuah buku seorang penulis harus melewati berbagai filter. Mulai dari penyunting naskah, editor, hingga penerbit yang mempertaruhkan kredibilitasnya. Konsekuensinya validitas buku tentu bisa lebih dipertanggungjawabkan.
Website hanya berselancar di permukaan, buku yang bagus memberi pemahaman yang lebih dalam
Ketika mencari informasi via web, baik itu lewat website atau blog, penulis content di website atau blog tentu menyajikan informasi seringkas-ringkasnya. Karena mereka tahu jika pembaca hanya punya waktu terbatas dan tidak ada guna untuk menulis semua. Implikasinya, terkadang web hanya menyentuh rangkuman permukaan.
Content yang ada tidak sempat memberikan ruang yang lebar untuk pembangunan argumen dan logika. Informasi di internet dapat menjabarkan ‘What’ dan ‘How’, tapi belum tentu bisa menjelaskan ‘Why’ dengan baik.
Membaca Wikipedia tentang profil seseorang tentu akan jauh berbeda dengan membaca langsung biografi yang lebih lengkap dan menyeluruh. Baca sejarah kemerdekaan Indonesia di website, tentu beda dengan membaca Indonesia Menggugat-nya Soekarno, atau Untuk Negeriku-nya Hatta.
Satu kelemahan, jika seseorang terbiasa menelan informasi secara bulat, ia tidak akan terlatih untuk bertanya, “Koq bisa begitu? Metodologinya seperti apa? Mengapa bisa lahir teori seperti itu? Mengapa peristiwa itu bisa terjadi?” Kecenderungannya hanya tahu ‘apa’ dan ‘siapa’, tetapi lupa mencari tahu ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’.
Website memberi Anda keterlibatan, buku memberi Anda momen hening
Website memiliki kekuatan pada komunikasi dua arah antara penulis content dan pembaca. Itu keistimewaan yang tidak bisa dimiliki sebuah buku. Sebaliknya, kelebihan buku menawarkan keheningan pada saat pembaca meresapi materi yang sedang dibacanya.
Sifat komunikasi yang dibangun dari sebuah buku hanya searah membuat pembaca harus menginterpretasi informasi yang masuk dalam dialog diri yang penuh dengan rasa sunyi.
Ibaratnya, buku adalah sebuah kapal selam. Ia mengajak pembacanya untuk berpikir lebih dalam, lebih jauh, dan berusaha menyentuh subtansi pengetahuan. Buku yang baik bukan hanya kaya akan informasi, tapi juga mengajak pembacanya bertanya, mengapa ini bisa terjadi?
Lewat buku, seperti membaca buku Pertempuran Surabaya – Media Asing dan Historiografi Indonesia, karya Ady Setyawan, menuntun kita dalam luapan emosi, bahkan seakan-akan menyaksikan sendiri peristiwa yang terjadi pada saat itu melalui rekaman para jurnalis dan penuturan beberapa pelaku sejarahnya.
Buku karya pegiat Roode Brug Soerabaia itu pula menggiring kita akan merasakan ketegangan antara Okober hingga November 1945 dari hari ke hari. Bagaimana rasanya berjuang dan diperlakukan tidak adil. Sekutu berkhianat atas kesepakatan, dan mengambil langkah membombarbir Surabaya.
Dengan buku, sebuah perjalanan pikiran yang agak susah ditandingi oleh artikel website yang hanya punya 1000-2000 kata per postingnya. Meski hidup di era digital, untuk pengembangan pengetahuan dan pemerolehan informasi, menurut Anda kehadiran buku masihkah tetap dibutuhkan?.
*
Kita hidup pada abad ke-21, setiap detik banjir informasi menggenang dalam gadget di genggaman . Pada akhirnya buku, blog, ebook, audiobook, video, hanyalah media penyampaian informasi. Semua memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Kini, penting kiranya kita menjadi seorang pembelajar. Seorang yang tak pernah lelah bertanya, mencari pengetahuan, dan memberikan inspirasi untuk kebaikan kemanusiaan. Dan kebetulan, salah satu cara mencari pengetahuan adalah dengan membaca.
Maka, sebab itulah firman Allah SWT yang pertama adalah ‘bacalah’, melainkan bukan ‘tontonlah’.