Setiap orang dalam menapaki perjalanan hidup dimulai dari titik awal kemudian dipungkasi pada titik akhir. Bukan berarti lantas tak ada makna lagi titik awal bila seseorang telah sampai di titik akhir. Kita masih perlu menengok kembali titik awal, di mana kita mulai berpijak. Di kampung, tempat saat kita dulu dilahirkan, sekadar untuk memorabilia masa-masa lalu. Masa kecil.
Mudik, atau ada sebagian masyarakat menyebutnya dengan pulang kampung. Perjalanan ini tak sekadar pergi ke kampung halaman, namun juga merupakan sebuah prosesi dalam perjalanan hidup. Yakni, seseorang dapat menjembatani antara tanah kelahirannya dengan tempat di mana dia menjalani kehidupan saat ini lantaran telah hijrah, karena pekerjaan, atau sebab lainnya.
Tak sebatas even tahunan, mudik merupakan gerakan moral melebihi fanatisme nonton bola atau konser musik, misalnya. Mereka berbondong-bondong untuk mudik. Survei Kementerian Perhubungan memperkirakan jumlah pemudik pada periode Idulfitri tahun 2024 mencapai 193,6 juta orang, atau 71,7 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Tahun lalu hanya 123,8 juta orang.
Meski hidup di peradaban dan teknologi modern, mudik tetap menjadi priotitas. Ada magnet kerinduan dan memorabilia yang menyedot mereka. Masalahnya, bukan bagi orang kampung atau orang kota, mudik adalah sikap tentang cara menghargai kampung halaman, tanah tumpah darah, dan bumi di mana tempat para leluhur berpijak meski kini mereka sudah mudik di keabadiannya.
Ada sesuatu yang mesti kita maknai secara relegi dari peristiwa mudik. Seperti analogi bahwa setiap perjalanan kereta api akan berakhir di stasiun, dan perjalan bus berakhir di terminal tujuan. Pun setiap orang, perjalanan hidupnya akan berakhir di stasiun atau terminal keabadian. Jika mudik dibutuhkan bekal semangat, harta dan tenaga, mudik ke terminal keabadian butuh bekal juga.
Satu bulan penuh sebagai umat muslim kita menunaikan ibadah puasa, dan ibadah maupun amalan-amalan lainnya. Semua itu semoga akan menjadi simpanan amal sebagai bekal untuk pulang ke kampung keabadian kelak, kampung Allah SWT. Pun mudik sebagai pengingat kita, sepanjang nyawa masih dikandung badan, kita perbanyak bekal untuk mudik kepada-NYA.
Akhirnya, Ramadan 1445 Hijriyah pun akan sampai di penghujung, Idul Fitri akan tiba. Namun, yang pasti tak ada yang bisa menjamin, apakah kita akan bertemu kembali di Ramadan tahun depan? Wallahu a’lam bishawab. Semoga kita termasuk orang-orang yang diterima amal ibadahnya di tahun ini dan sebelumnya, pun diberi umur panjang sehingga berjumpa kembali dengan Ramadan pada tahun-tahun mendatang.