Mudik, sebuah kata yang sudah sangat familiar di telinga masyarakat Indonesia. Tak sekadar sebagai even tahunan, mudik merupakan gerakan moral yang melebihi fanatisme nonton bola, misalnya. Tentu wajar, minggu terakhir menjelang Idul Fitri jutaan orang dari berbagai wilayah berbondong-bondong untuk mudik. Mereka tak peduli macet, panas terik matahari, atau lelah di perjalanan. Mudik telah memberi mereka sebuah energi, memberi kekuatan, dan semangat.
Masalahnya, bukan bagi orang kampung atau orang kota, namun mudik adalah sikap tentang cara menghargai kampung halaman, tanah tumpah darah, dan bumi di mana tempat para leluhur berpijak. Mudik, merupakan tradisi yang sama sekali tak terpengaruh oleh kemajuan peradaban dan teknologi. Mau secanggih apa pun otak manusia, sehebat apa pun teknologi, mudik tetap jadi pilihan banyak orang. Ada magnet kerinduan dan memorabilia yang menyedot mereka.
Lebih-lebih bagi kaum perantauan, atau kaum urban yang menggapai nasib baik di tanah orang, atau di tanah seberang, daya sedot magnet itu semakin terasa hebat. Entah karena pekerjaan, pendidikan, atau demi mendongkrak status sosial, mudik itu panggilan moral untuk pulang. Perjalanan ritual untuk kembali ke kampung halaman, untuk menemukan kembali jati dirinya, asal-usulnya. Ada sesuatu yang bernilai sakral dari mudik, yakni semangat setiap orang untuk āpulangā.
Ke mana pun pergi, di mana pun berada, kita pasti merindukan ingin pulang. Pulang ke orangtua, meski mereka telah tiada; pulang ke kampung halaman; atau pulang tempat yang membahagiakan. Kiranya tak salah jika mudik sebagai momen untuk selalu ingat āpulangā. Pulang ke tempat asal, pulang ke hadirat Allah SWT kelak. Maka, siapa pun, dan di mana pun kita, sebenarnya sedang mengantre untuk pulang ke tempat keabadian. Di dunia ini tak ubahnya seperti āmampir ngombeā.
Ada filosofi yang dalam, ada simbol yang mesti kita maknai dari peristiwa mudik. Bahwa kita pasti akan āpulangā. Bukan ke kampung halaman orangtua, bukan kampung tempat kita dilahirkan, namun ke kampung halaman sejatinya. Kampung halaman Allah SWT, Tuhan Maha Kuasa. Tak beda dengan pulang ke kampung halaman orangtua, kita perlu ābekalā yang cukup agar kelak di kampung halaman Allah SWT kita memperoleh kebahagiaan yang abadi.
Hingga saatnya tiba, setiap manusia akan kembali āpulangā ke tempat Sang Pencipta, kembali ke tempat terbaik di sisi-Nya. Mudik, sebagai peristiwa pengingat kita. Yakni dulu kita ātiadaā, sekarang āadaā, dan entah kapan akan kembali menjadi ātiadaā. Selagi belum terlambat, mumpung nyawa masih dikandung badan, mari siapkan ābekalā sebaik-baiknya untuk āpulangā. Lebih-lebih saat ini masih dalam bulan Ramadan, kesempatan untuk kumpulkan bekal. Yakni, melipatgandakan berbuat baik dan beribadah.
*
Menyoal mudik, keselamatan di jalan raya tanggung jawab bersama. Sebagai pengguna jalan dihimbau berlaku tertib saat berlalu lintas, berhati-hati saat melintas di jalanan. Jangan sampai niat dan semangat yang membara ingin cepat pulang, cepat sampai tujuan, hanya lantaran sembrono di perjalanan terjadi musibah, terjadi kecelakaan fatal sehingga berakibat menjadi āmudik abadiā. Maka, lebih baik terlambat beberapa saat daripada tak pernah sampai tujuan. Mengapa?
Pertama, akibat kecelakaan tentu menimbulkan berbagai kerugian, misalnya dalam bentuk psikis atau trauma, harta, atau bahkan nyawa. Di sisi lain, kecelakaan bukan berasal dari kesalahan diri sendiri, melainkan faktor kecerobohan orang lain yang abai terhadap pentingnya berhati-hati. Kedua, agar selamat sampai tujuan sehingga bisa menikmati hari kemenangan bersama keluarga di kampung halaman. Protokol kesehatan tetap dijaga, sebab kita masih hidup berdampingan dengan Covid-19.
Featured Image : A.A. Diah Nike Wardani
šš
Bu Juli I.,
Terima kasih buat jempol Panjenengan.
Sehat selalu.
Sudah 2 tahun tidak mudik tahun ini kesempatan mudik tidak akan dilewatkan.Naik apapun jadi,asal ketemu keluarga di kampung halaman.
Mas Santoso A.,
Rupanya rindu kampung halaman, kampung tempat kelahiran, sudah tak terbendung yah.
Yang penting, tetap ikuti aturan yang berlaku. Prokes dan etika di perjalanan.
matur nuwun.
Mudik laah….pulkam
Tetap jaga prokes…sayang banyak saudara kita yg tak menghiraukan prokes…saat ini.
Betapa percaya dirinya yaa…Subhanallah
Semoga Allah senantiasa melindungi kita…Aamiiin
Bu Endang Sulistijorini,
Inggih, rupanya di mana-mana sudah mengendor tentang penerapan prokes.
Semoga tidak terjadi loncakan covid pasca Lebaran.
Matur nuwun.
Selamat mudik, semoga memperoleh kenikmatan, kebahagiaan, bertemu berkumpul bersama sanak keluarga dan handai taulan.
Mari kita jangan “sembrono” dlm perjalanan mudik ke “alam kalanggengan”. Agar tidak tersesat.
Pak Hendro,
Inngih, Pak. Rindu kampung kelahiran rupanya telat menyedot masyarakat kita berbondong-bondong mudik.
Semoga tidak terjadi lonjakan covid pasca Lebaran. Mengingat prokes sudah banyak yang abai.
Matur nuwun.