Mudik : Perjalanan Dialektika Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan

Mudik : Perjalanan Dialektika Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan
Share this :

Ada titik awal, titik tujuan dan titik akhir, serta sejarah yang menyertai dalam perjalanan hidup setiap orang. Suatu kewajaran, kadang-kadang kita butuh kembali ke titik awal sekadar untuk mengenang masa-masa lalu. Pulang kampung. Perjalanan ini bukan sekadar pergi ke kampung halaman, namun juga merupakan sebuah prosesi dalam festival perjalanan hidup, yakni orang dapat menjembatani daerah asalnya dengan di mana dia hidup sekarang.

Mudik, tak sebatas sebagai even tahunan, namun merupakan gerakan moral yang melebihi fanatisme nonton bola atau konser musik, misalnya. Tentu wajar, minggu terakhir menjelang Idul Fitri jutaan orang dari berbagai wilayah berbondong-bondong untuk mudik. Mereka tak peduli macet, panas terik matahari, atau lelah di perjalanan. Mudik telah memberi mereka sebuah energi, memberi kekuatan, dan semangat.

Tak terpengaruh oleh kemajuan peradaban dan teknologi, mudik tetaplah jadi priotitas. Mau secanggih apa pun otak manusia, sehebat apa pun teknologi, mudik tetap jadi pilihan banyak orang. Ada magnet kerinduan dan memorabilia yang menyedot mereka. Masalahnya, bukan bagi orang kampung atau orang kota, mudik adalah sikap tentang cara menghargai kampung halaman, tanah tumpah darah, dan bumi di mana tempat para leluhur berpijak.

Entah lantaran sudah lama bermukim di daerah lain, karena pekerjaan, pendidikan, atau demi mendongkrak status sosial, mudik adalah panggilan moral untuk pulang. Perjalanan ritual ke kampung halaman, menemukan kembali jati diri asal-usulnya. Ada sesuatu bernilai sakral dari mudik, yakni semangat setiap orang untuk pulang. Ke mana pun pergi, di mana pun berada, kita pasti merindukan ingin ‘pulang’ ke tanah asal, ke hadapan orangtua, sekalipun mereka telah tiada.

Jika mau mengkaji dalam-dalam, ada filosofi, ada simbol yang mesti kita kuak dari mudik. Kita akan ‘pulang’. Bukan pulang ke kampung halaman orangtua, bukan ke tempat asal kita dilahirkan, namun ke kampung halaman sejatinya. Kampung halaman Tuhan Maha Kuasa. Tak beda dengan pulang ke kampung halaman orangtua, kita pun butuh persiapan ‘bekal’ yang cukup untuk menghadap-NYA.

Dulu kita tiada, sekarang ada, dan entah kapan akan kembali menjadi tiada. Saat ini kita ibarat sedang mampir ‘ngombe’ dari suatu perjalanan hidup. Setelah itu, kita akan mudik, akan pulang keharibaan-NYA. Selagi belum terlambat, mumpung nyawa masih dikandung badan, mari siapkan ‘bekal’ sebaik-baiknya bekal untuk ‘pulang’ agar kelak di kampung halaman Allah SWT kita memperoleh kebahagiaan yang abadi. Mudik, cermin dialektika masa lalu, kini, dan masa akan datang.

*

Alissoners yang terhormat,

Lantunan indah suara takbir telah berkumandang malam ini di berbagai belahan bumi ini, pertanda Idulfitri telah tiba.

Selamat Idulfitri, 1 Syawal 1444 Hijriyah
Taqobbalallahu minna wa minkum
Mohon maaf lahir dan batin

Ali Muchson & Keluarga

You may also like

1 thought on “Mudik : Perjalanan Dialektika Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *