Museum Nyah Lasem : Bisa Nikmati Sajian Menu sambil Lihat Koleksi Masa Lampau

Museum Nyah Lasem : Bisa Nikmati Sajian Menu sambil Lihat Koleksi Masa Lampau
Share this :

#PSL Goes to Lasem, Catatan Kedua

Saat kami, rombongan PSL (Pernak-Pernik Surabaya Lama), komunitas bukan saja mencintai Surabaya dengan literatur dan pernak-perniknya, namun dikenal pula sebagai “Pecinta Blusukan Edan”, tiba di Lasem, jujugan pertama di Warung Nyah Lasem. Berangkat dari meeting point di Stasiun Gubeng Baru pukul 07.00, menginjakkan kaki di Warung Nyah Lasem pukul 11.18., Sabtu (8/7/2023).

Begitu memasuki halaman sudah disambut oleh berbagai menu dihidangkan di meja atas pesanan dr. Dhini untuk mentraktir rombongan, untuk makan siang. Tak kurang dari 28 piring berbaris, berisi masakan khas pesisir; mangut ikan pari asap, cumi masak hitam, cumi goreng, nila bakar, tempe goreng yang buatnya dibungkus daun jati, ada juga iga bakar, dan seblak, juga sambal tentunya.

Warung Nyah Lasem sebenarnya bukan sekadar warung, namun sebuah museum dengan nama Museum Nyah Lasem. Bangunan rumah kuno peninggalan keluarga Tionghoa, tembok bercat putih dan memiliki satu pintu di bagian tengah serta satu gerbang di bagian kiri. Dinding bagian depan digantungkan bermacam hiasan dan beberapa pigora foto-foto penakanan. Warung mulai ada 1.5 tahun lalu, merupakan bagian dari Museum Nyah Lasem yang berdiri pada 2014.

Gerbang rumah sangat sederhana bergaya kolonial. Halaman bangunan Museum Nyah Lasem tak terlalu luas, terdapat beberapa pohon mangga dan pohon rindang sehingga terasa teduh. Beranda depan terdiri atas tembok kanan dan kiri, lengkung lukis, pintu samping kanan dan kiri, dan kuda-kuda gaya Tiongkok seperti di kelenteng. Bercat warna hijau. Meski sudah dimakan zaman, namun masih nampak begitu kokoh.

Bangunan utama museum itu terbuat dari papan kayu. Lantai bagian dalamnya pun menggunakan papan, yang umumnya orang Jawa menyebutnya gladak. Dengan digantungkan hiasan dan foto-foto menggambarkan ruang tamu pada zamannya. Melewati pintu utama, di sisi kanan/kiri ada ruang kamar. Di tengah antara keduanya untuk meja pemujaan, namum sudah tak difungsikan.

Sedangkan di bagian belakang ruang tengah ada satu ruang dengan desain memanjang, semacam beranda, tak seberapa luas. Di ruang ini dipajang koleksi lama, seperti mesin jahit tertulis di body atas dan di semacam emblem General Electric Sewing Machine Motor Schenectay, N.Y., U.S.A. Ada pula pecahan-pecahan keramik China, botol tembikar, sempoa, dan lainnya. Sayang berdebu. Ruang ini adalah kamar anak yang mungkin dulu disekat dengan lemari kuno.

Setelah beranda belakang yang terbuka masih dengan kuda-kuda gaya China, ada bangunan yang merupakan bekas tempat produksi batik, masih terdapat manequin, kompor, panci besar, bak plastik, wajan, saringan dan gawangan. Bangunan ini sepertinya difungsikan juga untuk dapur, ada toilet di ujung banguan paling kanan. Di depan ada sisa-sisa gembor alat untuk menyiran tanaman. Dibangun bersamaan dengan pembangunan rumah samping di sekitar tahun 2015.

Sedangkan di bagian kanan bangunan utama ada bangunan berlantai dua, pintu-pintu dan jendela tampak kokoh. Berbagai barang bekas diletakkan di pagar teras, seperti kendi, patung-patung yang sudah rusak, dan barang lainnya. Sebagian pilar utama berjamuran, justru tempat ini bahkan jadi spot foto yang cukup epik oleh beberapa teman PSL yang sempat blusukan di area tersebut.

Secara umum, museum menyimpan berbagai barang peninggalan keluarga Soe San Tio. Yakni, peralatan rumah tangga, seperti baskom, tampah dan botol-botol kaca berukuran berbagai ukuran. Pun pula koleksi batik produksi Tio Swan Sien, peralatan membatik, replika batik cap, catatan pesanan, dokumen perdagangan, kuitansi, surat-surat, mesin jahit, uang kuno, dan koleksi perangko.

Sebagaimana courtesy dari Youtube Cerita Nyah Lasem Pameran Nyah Lasem, Afnan Soesantio, pemilik Museum Nyah Lasem, menuturkan bahwa kepemilikan rumah ini menjelang Perang Dunia II. Waktu itu ada orang butuh uang, dan rumahnya dibuat jaminan untuk engkongnya. Dan itu tidak diambil kembali, itu secara hukum pihaknya bisa membelinya dengan harga yang ditentukan.

Bangunan itu kemudian disewakan sampai hukum sewa-menyewa selesai baru bisa mengambil kembali. Kembalinya sudah lewat orde baru, sudah zaman reformasi. Bangunan-bangunan kuno saat itu sudah banyak dirobohkan, dibongkat. Ia pun melihat hal itu dari kota-kota lain, bangunan begini langsung dihilangkan, itu kan kehilangan sejarah, tutur Tionghoa Lasem yang berprofesi sebagai filatelis dan jual beli uang kuno.

“Wah, ini saya anggap harus dipertahankan. Jelek-jelek begini malah disenengi turis. Barang-barang emmak, engkong, dan mamah yang gak kepakai kasih di sana, bilang aja museum. Semula ada usul nama Museum Nyah lasem, saya belum bisa menerima. Setelah berpikir lama akhirnya saya bisa menerima. Karena ini bukan untuk nyah Lasem yang fiktif, tetapi nyah secara plural. Hal itu termasuk oma dan mama saya. Saya terima itu. Nama itu awalnya diucapkan oleh Mas Pop,” pungkasnya.

Soe San Tio atau Afnan Soesantio masih terang ingatannya untuk menyebut sejumlah nama-nama nyah di Lasem, di antaranya Nyah Bibit, Nyah Sentor (tukan masak); Nyah Sama (baku jajan); Nyah Mundak, Nyah Mplis, Nyah Persen, Nyah Dingin, Nyah Jonei, Nyah Kimsan (buka toko); Nyah Misih, Nyah Waloh (buka warung); Nyah Thai, Nyah Serak, Nyah Yan (pengusaha batik); Nyah Giok, Nyah Djoen (kuliner); Nyak Tik Hie (penjual sayur bobohan); Nyah Ndog (jualan telur ayam)’ Nyah Aer, Nyah Ien (tukang momong bayi).

Juga Nyah Liat (pabrik tahu);Nyah lenen, Nyah Seneng (terima jahitan sambil buka toko); Nyah Ghelo, Nyah Paring, Nyah Tril, Nyah Radjin (nyonya rumah); Nyah Pan (modiste); Nyah Cuwo (pembantu); Nyah Tioe, Nyah Ndjian, Nyah Kiciang, Nyah An, Nyah Bibit, Nyah He (lijo batik); Nyah Tjoen, Nyah Sakit (pengusaha jajan tenongan); Nyah Pitan, Nyah Ceklek, Nyah Denger, Nyah Iep, Nyah Jiang Thai, Nyah Simpen, Nyah Punya (klub ceki); dan Nyah Bongkat, Nyah Ada (pengungsi 1942-1949).

Sementara itu, Baskoro Pop, salah satu Pendiri Yayasan Lasem Heritage, menuturkan bahwa bangunan yang dijadikan sebagai Museum Nyah Lasem merupakan rumah gladhak Jawa. Yakni, konstruksi rumah dengan bahan utama kayu, umumnya kayu jati, kemudian lebih dikenal dengan rumah gladhak Jawa. Selain konstruksi tiang, dinding atau disebut gebyok dan lantai pun dibuat dari bahan kayu.

Rumah gladhak, lanjut Mas pop sapaan akrabnya, berbeda dengan desain rumah peninggalan Tionghoa yang dinding dan lantai bangunan pada umumnya terbuat dari batu. Rumah gladhak yang dijadikan Museum Nyah Lasem adalah milik Soe San Tio (Afnan Soesantio). Ia mewarisi rumah yang diperkirakan dibangun sekitar tahun 1800 itu dari orangtuanya yang merupakan keturunan dari Tio Oen Hien dan Go Radjin Nio.

“Museum ini pernah menjadi tempat untuk pameran seni “Cerita Nyah Lasem Pameran Nyah Lasem”, yang beberapa materi dari pameran itu dipamerkan kembali di ruangan sebelah sewing machine. Museum Nyah Lasem didedikasikan untuk mengingat kembali kehidupan nyonya-nyonya yang pernah tinggal di rumah-rumah kuno di Lasem,” lanjutnya.

Mas Pop menambahkan, leluhur Soe San Tio adalah pemilik perusahaan batik Tio Swan Sien. Rumah miliknya merupakan salah satu dari rumah bergaya gladhak Jawa yang masih bertahan, didapatkan secara hipotek pada 1940 an. Rumah-rumah bergaya gladhak lain, yang tersisa ada yang masih dihuni oleh pewaris atau orang lain, ada pula yang sudah ditinggalkan. Masih ada 35 rumah gladak/panggung Tionghoa-Jawa yang lestari di Lasem.

“Museum Nyah Lasem, nama tersebut diambil dari kata nyonyah, atau disingkat nyah, panggilan yang biasa digunakan untuk memanggil perempuan keturunan Tionghoa. Lantaran letaknya di Lasem, maka museum tersebut dinamai Museum Nyah Lasem,” pungkas pria yang murah senyum, dan ketika diminta tolong memotretkan, ia selalu beri aba-aba, “Satu…, dua…, syantiiikk….” Ini yang jadi semangat teman-teman PSL untuk berposeria.

Beralamat di di Jalan Karangturi V No 2, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Museum Nyah Lasem yang dikelola oleh Yayasan Lasem Heritage perlu banyak kalangan yang turut turun tangan, khususnya Pemkab Rembang, untuk memberikan sentuhan agar keberadaan museum ini berkembang dan lestari. Harapannya, koleksi lebih terawat, dan penyajiannya lebih menarik sehingga dapat menyedot pengunjung.

Hal ini mengingat bahwa museum mempunyai tugas untuk melestarikan warisan sejarah, alam, budaya, dan menyebarluaskan informasi kepada masyarakat luas, juga sebagai media pembelajaran bagi dunia pendidikan. Maka, sarana dan prasarana Museun Nyah Lasem perlu ditingkatkan kualitasnya. Tentunya, peran Pemkab Rembang melalui OPD terkait sangat dibutuhkan.

Cerita di Balik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem

Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem
Cerita Dibalik Mata Lensa
PSL Goes to Lasem

You may also like

1 thought on “Museum Nyah Lasem : Bisa Nikmati Sajian Menu sambil Lihat Koleksi Masa Lampau”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *