“Dar…, der…, dor! Tar…, ter…, tor! Cuiittt…, blum…, bleerrr…, bleennggg…, blaaarrr…, blaaarrr…, blaaarrr….”
Bunyi serentetan tembakan senjata, meriam, dan desingan peluru saling balas antara pemuda, laskar rakyat dan pejuang dengan tentara Inggris. Kabut mesiu menyelimuti udara kota dan kabur menutup pandangan mata. Sementara mayat-mayat pejuang bergelimpangan di sudut-sudut jalanan. Demikian adegan teatrikal Pertempuran Surabaya 1945 diperankan oleh Roodebrug Soerabaia pada pembuka acara Parade Surabaya Juang 2022 di Tugu Pahlawan, Minggu (6/11/2022) pagi.
Roodebrug Soerabaia adalah komunitas kesejarahan yang bermarkas di Kompleks Museum 10 Nopember Surabaya dipercaya oleh Panitia Surabaya Juang Tahun 2022 untuk memerankan teatrikal Pertempuran Surabaya 10 November 1945 di empat titik dari rute PSJ, yakni di start Tugu Pahlawan sebagai pembuka acara, perempatan Siola, depan Grahadi, dan di finish di depan Rumah Dinas Wali Kota Surabaya.
Parade Surabaya Juang (PSJ) yang sempat vacuum selama pandemi Covid-19, tahun ini kembali digelar oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Para peserta mengenakan berbagai kostum yang identik dengan pertempuran 10 November 1945 seperti kostum pejuang, tentara sekutu hingga tim medis yang bersiaga. Suasana dibuat sedemikian rupa, sehingga begitu mirip dengan keadaan 77 tahun silam.
PSJ pada tahun 2022 ini diikuti oleh tak kurang dari 3.500 peserta. Para peserta terdiri dari prajurit TNI, Kopaska, Polri, Perangkat Daerah (PD) di lingkup Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, berbagai komunitas sejarah, para reenactor, pemuda, dan organisasi kemasyarakatan di Indonesia. Sebelum diberangkatkan, Wali Kota Eri menerima penyerahan bendera Merah Putih dari Veteran. Kemudian, bendera diserahkan kepada anggota Paskibraka sebagai tanda dimulainya pemberangkatan.
Sementara di titik tertentu, di sepanjang rute dari Monumen Tugu Pahlawan hingga Rumah Dinas Wali Kota Surabaya, warga tampak antusias menyaksikan teatrikal Perang Kota Surabaya, pembacaan puisi oleh Olivia Zalianty, Sumpah Pregolan yang terkenal dengan semboyan “Merdeka Ataoe Mati” oleh Wali Kota Eri Cahyadi di Tugu Pahlawan, teatrikal Gugurnya Nono Corvert di perempatan Siola, Pidato Gubernur Suryo dan Perang Kota Surabaya di depan Grahadi, dan Pertempuran Kedung Cowek di depan Rumah Dinas Wali Kota Surabaya.
Turut mendukung acara Parade Surabaya Juang 2022, para reenactor hadir dari luar Kota Surabaya. Kedatangan, penginapan dan keikutsertaan mereka dalam parade dikoordinir oleh Roodebrug Soerabaia. Para reenactor dari luar Kota Surabaya di antaranya datang dari Belanda, Banjarmasin, Medan, Bali, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Ngawi, Mojokerto, Trenggalek, Tulungagung, Malang, Bangil, dan kota lainnya.
Jean Luc, salah satu peserta dari Belanda menuturkan bahwa ia hadir pada acara Parade Surabaya Juang 2022 ini lantaran ingin tahu secara dekat dan terlibat secara emosional bagaimana Pertempuran Surabaya 10 November 1945 itu terjadi. Apalagi ia turut serta dalam barisan teatrikal, turut bermain bersama Roodebrug Soerabaia memberikan gambaran pada dirinya bahwa perang itu berdampak pada kengerian, korban dan kehancuran.
“Terima kasih kepada Roodebrug Soerabaia atas kepercayaannya, saya diberi peran ‘Nono Corvert’. Apa pun alasannya, perang akan berdampak pada kengerian dan kehancuran. Tak hanya kehancuran fasilitas, tetapi juga banyak korban jiwa manusia. Perang harus dihentikan,” tambah pemuda berkebangsaan Belanda yang dilahirkan di Bandung.
Sementara itu, Christa Wongsodikromo, juga berkebangsaan Belanda, teman Jean Luc, mengatakan bahwa ia datang ke Surabaya ini yang kedua kalinya, yang pertama pada bulan Juli lalu. Dengan nama belakang Wongsodikromo, leluhur orangtua Christa adalah keturunan orang Jawa Suriname. Kedatangan pertama, ia mencari darah keturunan leluhurnya, dan ia temukan. Leluhur Christa berasal dari Pracimantoro, Wonogiri, Jawa Tengah.
Terkait keikutsertaannya pada acara Parade Surabaya Juang 2022, ia menambahkan bahwa merasa bangga bisa ikut serta dalam barisan Roodebrug Soerabaia. Leluhur saya orang Jawa, yang merupakan bagian dari masyarakat Indonesia, tentu saya bangga turut ambil bagian parade ini. Apresiasi untuk warga Surabaya, salut atas antusias yang tinggi, baik yang ikut parade maupun penonton,” pungkas Christa Wongsodikromo.
Gambaran Sekilas Pertempuran 10 November 1945
Perang Kota Surabaya dan Pertempuran Benteng Kedung Cowek
Benteng Kedung Cowek yang dibangun tahun 1900 oleh Belanda merupakan benteng yang paling besar di antara benteng yang dibangun sepanjang pantai dari Surabaya hingga Gresik. Benteng tersebut dibangun untuk melindungi pelabuhan dan pangkalan angkatan laut Surabaya. Benteng Kedung Cowek sebagai simbol pertahanan Surabaya, terlihat kokoh dan megah Di sini, pernah terjadi pertempuran besar pada masa perang 10 November 1945.
Pertempuran terjadi pada tanggal 10 November 1945, ketika itu Inggris menggempur Surabaya dengan kekuatan penuh dari darat, laut dan udara. Hal itu sesuai ultimatum Mayor Jenderal Mansregh yang disebar dari langit Surabaya melalui pesawat terbang.. Sementara di dalam Benteng Kedung Cowek semua pejuang telah berkumpul dengan penuh semangat juang.
Tak ada lagi pasukan HEIHO, mereka telah terlahir kembali sebagai pasukan baru, yakni Balion Sriwidjaja, yang akan bertempur demi tanah air, Indonesia. Di Benteng Kedung Cowek mereka dibantu oleh para pemuda kampung, mantan pasukan KNIL yang menguasai meriam, TKR Laut dan tentara pelajar untuk memperkuat pertahanan pantai Surabaya di bawah pimpinan Kapten Jansen Rambe dan Gumbreg.
“Saudara-saudara sekalian, saat ini situasi Surabaya sudah mulai genting setelah kita mendengar ultimatum tentara Inggris sebelumnya. Esok mereka akan meyerang dan membumihanguskan Surabaya dari segala arah, kita tidak boleh tinggal diam. Kita harus tetap bertempur melawan penyerangan entara Inggris. Di sektor Surabaya Utara, di Benteng Kedung Cowek, kita akan berjaga di garis batas pertahanan pantai sekuat mungkin,” tegas Kapten Jansen Rambe kepada pejuang.
Pada tanggal 10 November 1945, tepat pukul 11.00, kapal-kapal perang Inggris mulai menyerang dengan mengumbar tembakan meriamnya ke pusat Surabaya. Di bawah komando Captain R.C.S. Garwood, mereka muntahkan 350 tembakan meriam caliber 45 inchi dari kapal destroyernya. Namun,di luar dugaan ternyata tembakan mereka ternyata berbalas.
Hal itu mengagetkan tentara Inggris karenan mereka mengira tidak ada orang Indonesia yang mampu mengoperasikan meriam. Anggapan selama ini bahwa tentara Indonesia berlabel “not higher than third partisan army” ternyata tidak benar. Pertemputan antara kapal-kapal Inggris melawan meriam pantai pejuang yang telah dimodifikasi menjadi meriam anti udara pun berlangsung sengit.
Kekuatan udara pasukan Inggris saat itu terdiri atas 12 pesawat pemburu Thunder Bolt dan 20 pesawat Mosquito ikut menggempur benteng dari udara. Beberapa di antaranya berhasil dirontokkan, salah satunya jatuh di perairan sisi timur benteng. Bahkan pada hari pertama pertempuran, pesawat yang dinaiki Brigadier Jenderal Guy Loder Symonds terjatuh. Inggris kehilangan seorang perwira tingginya yang tewas setelah Mallaby.
Dengan didahului oleh serangan dari kapal perang Inggris, seketika itu peperangan pun terjadi dengan sengit. Pertempuran terus berlanjut di tepian pantai Surabaya. Di deretan dinding benteng, ledakan demi ledakan dahsyat terus terdengar tanpa henti. Teriakan-teriakan perintah terdengar bersama raung kesakitan dan tangis para pejuang yang sebisanya bertahan dari hujan peluru yang semakin tak terbendung.
Para pemuda kampung dan pasukan pelajar yang belum pernah terjun ke medan perang hari itu mendapati ‘horror’ dari amis darah dan pekat mesiu yang tidak tertanggungkan, terjatuh dalam tangis dan kengerian. Dan bagi sebagian mereka, perang adalah yang pertama sekaligus cerita terakhir mereka. Dinding-dinding pertahanan akhirnya koyak berhamburan. Batalion Sriwidjaja dipaksa mundur meninggalkan sepertiga dari teman mereka yang gugur tanpa sempat dievakuasi.
Benteng Kedung Cowek akhirnya berhasil diduduki Inggris pada tanggal 17 November 1945. Berdasarkan catatan mereka yang tersimpan dalam ISUM, 27 November, Public Record Office, dituliskan bahwa mereka menemukan 400 ton amunisi meriam yang belum sempat ditembakkan di dalam area Benteng Kedung Cowek.
Di akhir peperangan, banyak pejuang tewas secara mengenaskan. Mayoritas pasukan Batalion Sriwidjaja akhirnya mundur dari serangan tentara Inggris yang tak terbendung. Akhirnya Benteng Kedung Cowek diduduki oleh tentara Inggris. Tampak laskar putri, gadis palang merah, sedang berjalan ke pejuang yang tewas di area Benteng Kedung Cowek dan menyelimuti dengan Bendera Merah Putih
Gugurnya Nono Corvert
Pada masa terjadinya turbelensi revolusi di Surabaya, terdapat satu kelompok masyarakat yang disebut Indo, mereka adalah orang-orang berdarah campuran Indonesia dan Belanda. Kelompok ini terpecah menjadi dua golongan, antara pro Republik dan pro Belanda. Kelompok Indo pro Republik menunjukkan keberpihakannyadengan menuliskan secara terbuka mendukung Indonesia di surat kabar “Soeara Rakjat” pada 22 Oktober 1945.
Nama-nama mereka di antaranya A.M. Bokkes Koopman, Verhoven Hofman, L.A. Weber, Lammerts van Buuren dan lainnya. Bahkan kelompok Indo yang tinggal di Belanda pun menuliskan surat dukungan kepada Presiden Soekarno. Di sisi lain, kelompok yang pro Belanda pun bermunculan. Salah satunya adalah organisasi IEV di bawah pimpinan M.R. Ploegman.
Ketika pecah pertempuran Surabaya, di hari kesembilan, tepatnya 19 November 1945, sebuah pos pertahanan pejuang didirikan di persimpangan Jalan Teratai dan Jalan Tambaksari (saat ini). Pos itu dipimpin oleh tiga orang, yakni dua orang dari guru SMP Ketabang yaitu Pak Oenan Djoendjoenan dan Pak Soetarwo. Seorang lagi ada pemuda berparas berbeda dengan yang lain, berkulit putih dan berhidung mancung, dia adalah Nono Corvert.
Nono Corvert adalah salah seorang kelompok Indo yang pro Republik, berdiri tegak dengan menyandang senapan. Pemuda berkulit putih ini salah satu pemain sepak bola kesebelasan Indo Belanda. “Laat zee maar hier komen! Kita ajak mereka bermain bola!,” seru mereka bertiga ketika para pasukan pelajar melintas tempat itu membawa berita bahwa pasukan Inggris telah dekat.. Ajak bermain bola dalam makna sebuah kiasan tentunya, yakni berperang.
Tak lama kemudian pasukan Inggris tiba dengan didukung dua buah bren carrier. Tembakan dimuntahkan ke arah pos penjagaan tersebut, pertempuran tak terelakkan. Kondisi pos penjagaan tersebut hancur lebur, meja kursi pecah berserakan, senjata terlempar ke sana ke mari. Pak Oenan gugur di samping selokan, jenazahnya terduduk di pagar tembok pekarangan sebuah rumah. Nono Convert pun bernasib sama. Tewas.
Ketiganya tewas di sekitar pos penjagaan yang mereka dirikan. Bagi Nono Convert, ia mencitai sepak bola dan mencintai negeri ini. Ia gugur tak jauh dari tempat biasa ia bermain sepak bola, di Lapangan Tambaksari, kini. Namanya tidak pernah tercantum di surat kabar sebagaimana kawan-kawan Indonya yang lain. Namun, dalam hati Nono Corvert, ia tetap meyakini bahwa penindasan dan penjajahan harus dilawan.
*
Heri Prasetyo, atau lebih dikenal dengan panggilan “Heri Lentho”, Sutradara Parade Surabaya Juang 2022, menuturkan bahwa Parade Surabaya Juang (PSJ) lahir dari para Veteran Pertempuran Surabaya 10 November 1945. PSJ sebagai cara para veteran menanamkan nilai-nilai kepahlawanan, dan menanamkan sikap tidak patah semangat. Berkat PSJ lahirlah beberapa komunitas kesejarahan di Surabaya, seperti Roodebrug Soerabaia,” tutur Heri Lentho saat meeting panitia PSJ di Balai Budaya Jawa Timur, Selasa (1/11/2022) malam.