Dalam Rangkaian Pernak-Pernik Surabaya Lama (PSL) Goes to Parakan Temanggung, Jawa Tengah
Parakan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, Indonesia. Kecamatan ini terletak di Kaki Gunung Sindoro – Sumbing. Kota kecil ini dilintasi jalur dari Wonosobo ke Yogyakarta atau Semarang dan Yogyakarta ke Jalur Pantura, ke Jakarta via Weleri. Pun Parakan mendapat julukan “The Little China Town” di Kaki Gunung Sindoro – Sumbing.
Parakan, bagi sebagian orang panoramanya mungkin terasa familiar. Maklum, kota ini diapit oleh dua gunung, yakni Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro. Ya, barangkali jika masih ingat bahwa kota ini mengingatkan kita pada gambar gunung kembar dan membentang persawahan dari gambar anak-anak sekolah dasar tempo dulu.
Berdasarkan catatan sejarah Nugroho Notosusanto, Parakan merupakan semacam tanah hibah pada masa Mataram Kuno. Beberapa peninggalan berupa prasasti dan candi terdapat di sekitar wilayah Parakan, seperti Candi Gondosuli di Bulu, Temanggung. Parakan disebut sebagai jalur tengah perdagangan terbesar pada masa Mataram Kuno, kala itu bersama Secang, dan Boyolali.
Parakan merupakan destinasi wisata yang menarik bagi para pecinta sejarah, penggemar alam, dan mereka yang ingin merasakan kehidupan khas di kawasan “The Little China Town”. Dengan kombinasi bangunan peninggalan bersejarah terkait dengan Peranakan Tionghoa, keindahan alam, dan kearifan lokal, Parakan menawarkan pengalaman wisata yang unik dan dijamin mengesankan.
Apalagi saat menikmati perjalanan dari Temanggung menuju Parakan, suatu pengalaman yang menarik dengan jalan berliku, pemandangan sawah yang indah, serta kehadiran Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang menjulang gagah di kejauhan sebagai latar belakang panorama alam yang memukau, yang merupakan berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Berangkat dari beberapa literasi tentang potensi, keindahan alam, keunikan, kearifan lokal, dan bangunan peninggalan bersejarah terkait dengan Peranakan Tionghoa itu yang meracuni komunitas Pernak-Pernik Surabaya Lama (PSL) untuk mengulik keberadaan Parakan. Bersama 14 orang anggota acara #bluskanedan dengan tajuk “PSL Goes to Parakan”, Jumat – Sabtu (5-6/7/2024).
Dari Surabaya Tak Langsung ke Parakan
Mengapa acara “PSL Goes to Parakan” dari Surabaya tak langsung menuju kota Kecamatan Parakan? Prinsipnya menghemat waktu. Ibarat sekali dayung, dua pulau dapat terlampaui. Dari Surabaya kami berangkat Jumat pagi, namun singgah dan menginap dulu di Yogyakarta. Acara “PSL Goes to Parakan” diawali dengan acara Mengulik Kotagede Yogyakarta lebih dahulu. Cerita blusukannya dan intip-intip foto bisa dibuka di https://www.alisson.id/mengulik-kotagede-yogyakarta/.
Peserta #blusukanedan PSL itu memiliki kebiasaan tidak rewelan, ontime, dan sat-set serta tidak klemar-klemer. Hal ini yang menjadikan setiap perjalanan acara blusukan tidak terjadi kendala terkait dengan personal peserta. Dengan kebiasaan ini, setiap obyek blusukan dapat didatangi sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, pun tercapai dengan efektif dan efisien.
Sabtu (6/7/2024) pukul 06.00 semua peserta harus sudah serahkan kunci kamar hotel, dan masuk di kendaraan serta segera duduk di formasi kursi masing-masing. Pagi itu rombongan menuju Kota Parakan, pukul 10.30 an sudah ditunggu oleh Bayu Ardi Sanjaya atau @bagongsanjaya, pemandu wisata dari PPIPA (Pusat Informasi Pariwisata Parakan) atau @pippa.id di gedung eks. Pendopo Kawedanan Parakan.
Namun, di tengah perjalanan rombongan perlu sarapan dulu untuk men-charge perut agar peralanan tetap semangat dan bertenaga, yakni mampir menikmati menu “Sop Senerek Pak Parto” di Jalan Ikhlas Sub Terminal Lama, di Kaki Gunung Tidar Magelang. Pun sekalian Bu Sylvi Mutiara ada janji bertemu Bu Elizabeth Rahayu, Pensiunan Guru yang juga seorang Reenactor dari Kota Magelang.
Sampai di Kota Parakan rombongan PSL akan diajak #blusukanedan bertajuk Parakan Living Heritage, di antaranya di Bangunan Eks Pendopo Kawedanan Parakan, Rumah Gotong Rojong (LDT), Rumah Marga Tjiong, Galeri Peranakan Tionghoa, dan Rumah Tangsi serta bangunan Eks Stasiun Kereta Api Parakan yang beberapa bangunannya masih ada meski tak utuh.
Namun, sebelum acara blusukan dimulai rombongan PSL disambut untuk mencicipi jajanan khas kearifan lokal Parakan lebih dulu. Setelah itu, Bayu Ardi Sanjaya atau @bagongsanjaya, pemandu wisata dari PPIPA (Pusat Informasi Pariwisata Parakan) atau @pippa.id sambil jalan-jalan blusukan menjelaskan objek-obyek Parakan Living Heritage di Kota Parakan, yakni:
Bangunan Eks. Pendopo Kawedanan Parakan
Bangunan ini sebagai saksi bisu sejarah yang masih berdiri tegak di Jalan AIP Mungkar Parakan, yakni sebuah bangunan Eks Kantor Kawedanan berarsitektur gaya zaman kolonial Belanda. Menurut manuskrip di atas pintu masuk, tertulis bahwa bangunan tersebut dibangun pada tanggal 20 April 1840, yakni pada masa Wedono R. Soedirman.
Beberapa ruangan sempat menjadi obyek blusukan rombongan PSL, tampak interior bangunan ini masih terawat dengan baik. Pada masa lalu, bangunan ini memiliki nilai penting dalam sejarah Parakan khususnya, dan Temanggung secara umum. Berbagai kebijakan pemerintahaan pada saat itu dilaksanakan di bangunan ini.
Kompleks bangunan eks Kawedanan Parakan tersebut terdiri atas Pendopo Kawedanan yang berfungsi menjadi tempat pertemuan, kemudian rumah dinas Wedono berada di belakang Pendopo Kawedanan, dan bangunan di samping kanan Pendopo Kawedanan yang dahulu adalah Kantor Kawedanan Parakan, serta ada toilet di bagian belakang.
Rumah Gotong Rojong atau Louw Djing Tie (LDT)
Rumah Gotong Rojong atau Louw Djing Tie masih berdiri kokoh dan terjaga dengan baik. Salah satu saksi bisu kota Kecamatan Parakan. Bangunan rumah sebagian besar masih asli. Tembok, pintu, ubin atau lantai masih tampak bagus dan terawat. Rumah tersebut menjadi salah satu bangunan peninggalan sejarah di Parakan.
Rumah di Jalan Demangan 16 Parakan ini dulunya milik seorang bekel atau penguasa di tingkat desa. Kapan pembangunan rumah ini belum diketahui. Rumah ini dibeli oleh Mas Kertoatmodjo pada 5 Desember 1894. Selanjutnya, seorang opzichter atau pengawas proyek jalur kereta api Secang-Parakan, FH Stout, membeli rumah itu dari Mas Kertosemito, Putra Mas Kertoatmodjo. Namun tidak tercatat kapan waktunya.
Lantas pada 25 Januari 1900, Stout menjual rumah ini kepada Hoo Tiang Bie, putra pendatang dari Tiongkok bernama Hoo Djien. Ia beristrikan Oei Oen Nio. Kebetulan menantu pertama mereka Tjiong Hoo Tian adalah seorang ahli hongsui. Maka, mereka melakukan perubahan-perubahan agar rumah ini mengikuti aturan-aturan hongsui.
Louw Djing Tie, seorang pendekar kungfu (kunthao) yang melegenda di dunia persilatan pada masanya, pernah singgah di rumah ini. Hoo Tik Tjay atau yang lebih dikenal dengan nama Sutur oleh masyarakat Parakan, yaitu putra kedua dari Hoo Tiang Bie adalah murid kesayangan dari Louw Djing Tie.
Sebagai bentuk rasa hormat kepada sang guru, Hoo Tiang Bie memberi fasilitas tempat tinggal bagi Louw Djing Tie hingga akhir hayatnya di rumah tersebut. Oleh sebab itu, sampai sekarang rumah ini lebih dikenal dengan sebutan Rumah Louw Djing Tie.
Rumah Marga Tjiong
Tembok luar Rumah Marga Tjiong itu tampak hampir sama dengan beberapa rumah lain di Parakan “The Little China Town”, berwarna putih memanjang seperti benteng. Satu pintu kayu berwarna hitam kusam menjadi jalan masuk ke dalam bangunan lawas tersebut, ukurannya kisaran 1,5×2 meter. Bangunan lawas atau kuno seperti ini memang menarik untuk dikunjungi.
Jika dilihat dari luar, tidak ada yang istimewa pada bangunan itu, jauh dari kesan mewah atau menarik. Namun, saat pintu kayu terbuka, halaman yang cukup luas menyambut siapa saja yang datang. Bangunan rumah bergaya Tiongkok kuno berdiri kokoh menghadap ke selatan. Siang itu cuaca cukup cerah, sehingga bangunan rumah tampak kokoh dan anggun sekali.
Di sebelah kanan atau sisi timur halaman, terdapat satu bangunan lain yang lebih kecil daripada bangunan utama. Pintunya juga berwarna hitam, dengan tulisan aksara Tiongkok berwarna sama berlatar merah. Saat memasuki bangunan utama, empat tiang kayu hitam berdiri kokoh di tengah bangunan, seperti membantu tembok di kiri dan kanan menyangga atap rumah.
Di samping salah satu tiang, terdapat sebuah kursi malas berbahan kayu. Sementara, tepat di samping kiri pintu masuk bangunan utama, ada satu meja kayu. Saat kaki melangkah melewati pintu utama, satu set kursi kuno berbahan kayu ukir dengan alas duduk dari marmer menjadi salah satu barang yang cukup menarik perhatian.
Selain itu, dua foto lawas dan sejumlah ornamen bertuliskan huruf Tiongkok semakin menguatkan sensasi masa lalu di rumsh itu. Rumah kuno tersebut dikenal sebagai Rumah Marga Tjiong, satu dari lima bangunan lawas bergaya oriental. Sebagian orang mengenal Rumah Marga Tjiong dengan nama Rumah Candu. Sebab, konon rumah itu merupakan tempat peredaran candu pada zamannya.
Galeri Peranakan Tionghoa
Rumah yang dulunya difungsikan sebagai rumah tinggal ini merupakan salah satu warisan budaya Peranakan Tionghoa yang bergaya arsitektur perpaduan langgam Tionghoa dan langgam Indische. Lewat upaya pelestarian yang dilakukan sang pemilik, Chris Dharmawan, Museum Peranakan mendapatkan penghargaan sebagai Bangunan Pemenang IAI Jawa Tengah Heritage Award 2022.
Menurut Chris Dharmawan, Parakan sudah lama menjadi melting pot atau tempat bercampurnya antara masyarakat Tionghoa dan Jawa. Keberadaan orang Tionghoa mula-mula dapat ditelusuri dari Situs Liyangan, yang terletak delapan kilometer dari Parakan. Situs ini dahulunya merupakan suatu pemukiman Hindu abad ke-7 atau ke-8 yang terkubur oleh lava Gunung Sindoro.
Dalam ekskavasi, ditemukan berbagai peninggalan seperti candi, bekas pemukiman, dan keramik asal Dinasti Tang. Artinya, kedatangan orang Tionghoa di Parakan ternyata jauh lebih cepat dari yang diperkirakan. Boleh disimpulkan bahwa orang Tiongkok itu datang ke Nusantara sejak abad ke-7.
Sebuah Pecinan mulai terbentuk di pusat kota yang dekat dengan pasar. Berubahnya administrasi dari waktu ke waktu menyebabkan pemindahan pasar, sehingga lama kelamaan pecinan ini pun berkembang. Pecinan di kota besar merupakan enklaf, atau satu daerah yang khusus dan terpisah. Tetapi di Parakan, Pecinan itu yang membentuk kotanya, karena perluasan pecinan itu menggabungkan berbagai kampung menjadi satu kesatuan.
Omah Tangsi
Omah Tangsi, adalah salah satu rumah tua di Kota Parakan, lokasinya di Jalan Brigjen Katamso 11. Sedangkan warga Parakan menyebutnya Jalan Ngadirejo. Rumah antik ini pernah menjadi asrama polisi, muasal dari itu kata Tangsi menjadi sebutan untuk rumah atau omah (Jw) tersebut.
Halaman depan Omah Tangsi berupa taman, cukup luas ukurannya. Terdapat ornamen Tionghoa patung-patung kilin di taman dan mulut teras. Dalam buku Parakan The Living Heritage karya Chris Darmawan, rumah ini disebutkan berlanggam American Queen Anne Style. Ciri-cirinya pola bangunan tidak simetris, sisi kiri dan kanan bangunan tidak sama.
Pemilik rumah pertama adalah Pek Tong An. Mula-mulanya ia datang ke Parakan berbekal ilmu surat-menyurat dan kaligrafi. Lantas di kota pegunungan ini ia membangun bisnis tembakau. Bisnis tersebut diteruskan anaknya, Bah Kimpul (Han Tjiauw) dan Bah Kukuh (Han Tjiang). Belum diketahui rumah dibangun tahun berapa, omah ini sekarang berfungsi sebagai penginapan.
Dalam buku Parakan The Living Heritage diceritakan bahwa selama bermukim di Parakan Pek Tong An membuka praktek pengobatan gratis, berderma, dan membuka dapur umum bagi orang miskin. Keluarga Pek pindah ke Jakarta sejak terjadinya Agresi Militer Belanda. Rumah kosong dan digunakan oleh TNI.
Pada tahun 1960 an lembaga kepolisian yang menggunakan rumah tersebut. Pendek cerita rumah kembali berpindah tangan kepada pihak keluarga. Pada tahun 2018 Omah tangsi sempat menjadi kafe, lantaran pandemi Covid-19 melanda kafe tutup. Oktober 2022 Omah Tangsi difungsikan menjadi penginapan. Berapa tarif inap? Anda bisa minta informasi PIPPA (Pusat Informasi Wisata Parakan) di @pippa.id.
Stasiun Kereta Api Parakan
Stasiun Parakan (PRN) merupakan stasiun kereta api nonaktif yang terletak di Parakan Wetan, Parakan, Temanggung. Stasiun ini termasuk dalam Wilayah Aset VI Yogyakarta serta merupakan stasiun kereta api yang lokasinya paling barat di Kabupaten Temanggung.
Dikutip dari Wikipedia, dahulu stasiun ini merupakan stasiun paling ujung di jalur kereta api Secang-Parakan. Stasiun ini dibuka pada tanggal 1 Juli 1907 oleh Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Stasiun ini dahulu dilengkapi oleh depo kereta api, depo lokomotif, gudang, dan lain-lainnya.
PRN ini dahulu terletak kurang lebih 30 km dari Stasiun Wonosobo, tetapi NIS dan Serajoedal Stoomtram Maatschappij (SDS), operator Stasiun Wonosobo, tidak berminat untuk menyambungkan kedua stasiun itu, karena kondisi medan pegunungan yang sangat sulit. Untuk menyambung Parakan dengan Wonosobo disediakan angkutan bus. Stasiun dan jalur ini secara resmi ditutup pada tahun 1973. Bekas depot lokomotif dan gudang sudah dibongkar rata.
Arsitektur stasiun ini bersama Stasiun Temanggung menggunakan arsitektur bergaya Chalet-NIS, yang banyak digunakan untuk stasiun-stasiun NIS pada tahun 1907. Atapnya bergaya jerkinhead yang menjadi ciri khas bangunan rumah ala Eropa, tetapi menyesuaikan dengan iklim tropis. Dindingnya terbuat dari batu bata tanpa plesteran sehingga menambah kesan artistik bangunan.
Usai blusukan di Eks Stasiun Parakan Kabupaten Temanggung pukul 14.30 an, rombongan PSL langsung lanjut perjalanan pulang ke Surabaya. Rencana awal akan mampir ke Semarang Kota Tua, namun rencana diurungkan. Dari Parakan menuju Temanggung, Secang, belok ke kiri ambil jalur ke Semarang, lalu masuk Gerbang Tol Bawen Kabupaten Semarang.
Namun, sebelum berangkat rombongan PSL dijamu makan siang (maksi) di Eks Pendopo Kawedanan Parakan oleh PPIPA (Pusat Informasi Pariwisata Parakan) via Mas Bayu Ardi Sanjaya dkk. Menu maksi wow…, banget!. Lantaran tak biasa ditemui di Surabaya. Ada nasi jagung, nasi beras merah, urapan sayur ‘gandul’ (pepaya) dkk, bacem tahu dkk., peyek dan sayur lodeh tempe yang cukup bikin lidah panas.
Mengapa urung ke Semarang? Ada sesuatu yang dikejar. Engkong Hartono Widjaja akan memtraktir “Nasi Kikil Bu Tandur”, yakni nasi lodeh kikil, dengan lauk lidah goreng atau empal, di Mojosongo Jombang, Jawa Timur. Matur nuwun sanget atas traktiran-traktiran Panjenengan selama berangkat dan pulang #blusukanedan “PSL Goes to Parakan”, Engkong Hartono Widjaja. Barokallah. Aamiin….
“Pancen lare-lare niku rodok lothong koq, Engkong Hartono Widjaja wes mentraktir sembarang kalir wae isih dibully. Ndahneo nek gak ditraktir, katene lapo, koen Rekk. Lare-lare dipun ngapunten nggih, Engkong Hartono Widjaya!” canda Pak Paulus Madrai.
Parakan “The Little China Town” di Kaki Gunung Sindoro – Sumbing
Biarkan Foto Bercerita
Sarapan “Sop Senerek Pak Parto” di Kaki Gunung Tidar Magelang












Parakan Living Heritage













































































Jamuan Makan Siang dari dari PPIPA (Pusat Informasi Pariwisata Parakan)





Makan Malam di “Nasi Kikil Bu Tandur” Mojosongo Jombang, Jawa Timur




