Pensil dan Kita

  • EDUKASI
Pensil dan Kita
Share this :

Pensil atau ada yang menyebutnya potlot, benda tak asing sejak kita mengenal bangku sekolah. Alat tulis atau lukis berupa batang kayu, bulat dan panjang kisaran 15 cm, memiliki inti grafit di dalamnya. Ia bisa berguna jika salah satu ujungnya runcing. Ujung pensil bisa runcing mesti diraut. Raut pensil akan mengikis kayu di sekitar inti grafit untuk menghasilkan ujung yang tajam.

Melihat sebatang pensil, bisa jadi, terasa lumrah dan biasa saja. Hanya benda yang biasa kita gunakan untuk menulis, menggambar atau melukis. Namun, di balik itu jika kita mau menelaah lebih dalam sebenarnya terkandung filosofi untuk pembelajaran hidup. Yakni, menjadi cermin perjalanan kehidupan kita di dunia. Pensil adalah analogi perwujudan masing-masing dari kita.

Pensil yang kita miliki tidak akan bernilai guna apabila tidak ada tangan yang menggerakkannya. Ia bebas untuk menulis atau menggambar apa saja jika tanpa kehadiran tangan, meski ujungnya runcing tetap tidak akan berarti apa-apa. Itulah gambaran kita, jika tak ada campur tangan Allah SWT, sang Pencipta kehidupan, kita pun tidak bisa apa-apa. Kita bergantung kepada-NYA.

Menulis tidak akan terasa nyaman ketika pensil yang kita gunakan tidak tajam, perlu merautnya berulang kali hingga bagian dari pensil mengelupas. Pun jerih payah, cobaan, tantangan, bahkan derita yang kita alami sebenarnya bukan untuk membuat kita putus asa, melainkan semakin terasah dan kuat menjalani kehidupan yang penuh persaingan. Bak pensil, kita mesti tajam, mesti cerdas.

Pensil butuh buku tulis, analogi ini menggambarkan bahwa pensil dan buku tulis memiliki hubungan yang mirip dengan manusia dan dunianya. Pensil adalah alat yang digunakan untuk menulis, menggambar, dan mengungkapkan pemikiran, bukulah sebagai medianya. Jika kita ini pensil, buku itu sebagai dunia tempat kita berbuat atau bertindak, entah itu baik atau buruk.

Pensil butuh teman, yakni karet penghapus. Pensil selalu merelakan penghapus untuk menghapus kata, kalimat atau gambar yang salah. Ini mengajarkan bahwa dalam kehidupan setiap orang ada ruang berbuat kesalahan, juga ada ruang untuk memperbaikinya. Meski kesalahan mungkin meninggalkan bekas, itu mengingatkan bahwa kesalahan masa lalu adalah bagian dari proses pendewasaan diri.

Bagian terpenting dari sebatang pensil bukan pada bagian luar yang berwarna-warni sehingga berkesan indah, melainkan pada grafit berwarna hitam tersebunyi di bagian paling dalam. Kita andaikan bahwa grafit adalah hati nurani. Fungsi hati nurani sebagai pedoman atau norma untuk menilai suatu tindakan, apakah itu baik atau buruk, dan menyadarkan manusia akan nilai dan harga diri.

Pada akhirnya, sebatang pensil akan meninggalkan goresan pada buku. Pun dengan kita, apa yang pernah kita lakukan akan meninggalkan goresan kehidupan. Ketika kita berbuat kebaikan, maka akan menjadi catatan yang selalu dikenang oleh orang. Sebaliknya, jika kita berbuat keburukan, melukai hati orang lain, goresan keburukan itupun tentu akan diingat-ingat orang sepanjang waktu.

*

Ada putih ada pula hitam, demikian juga ada baik ada pula buruk. Hidup bebas untuk memilih. Jika kita waras, dan selalu menjaga kewarasan tentu kita akan memilih terkait dengan hal-hal kebaikan. Juga sejauh-jauhnya, menjauhi keburukan dan atau kejahatan, baik kepada diri sendiri, keluarga, orang-orang sekitar, maupun kepada apa pun.

Featured image source: wallpaperbetter.com

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *