Pensiun! Mengapa Harus Galau?

Pensiun! Mengapa Harus Galau?
Share this :

Pagi hari ini tadi (9/6/2021) saya menghadiri undangan syukuran seorang teman, Kun Mariyati, yang memasuki masa pensiun di instansi saya bekerja ‘dulu’, SMP Negeri 23 Surabaya. Mengapa ada kata ‘dulu’, karena saat ini saya telah menjalani pensiun lebih dahulu. Saya memutuskan hadir, selain menghormati sebuah undangan teman, juga sekedar ingin memorabilia dengan mantan teman kerja.

Kalau boleh saya mengandaikan, memasuki masa pensiun itu ibarat seseorang yang telah berhasil mencapai garis akhir dalam sebuah pertandingan lomba lari maraton. Meski telah mencapai garis finis, biasanya dalam sebuah lomba lari marathon menempuh jarak yang panjang, perlu stamina prima, dan melelahkan, tentu akan ada yang kalah dan ada yang menang.

Bagi yang kalah, mungkin akan menyebabkan lahirnya sebuah kesedihan, penyesalan atau kekecewaan, sedangkan bagi yang menang akan bersukacita menerima piala, medali atau mahkota kemenangan. Di samping itu, dalam lari marathon pun, ada juga yang kalah di tengah jalan, kehabisan tenaga, menyerah kelelahan atau cedera, sehingga sama sekali tidak mampu mencapai garis akhir dan keluar dari gelanggang.

Pensiun! Mengapa Harus Galau?
Kun Mariyati didampingi sang suami, Soelistyo Widodo, mantan guru SMP Negeri 23 Surabaya juga

Kembali ke persoalan persiun, meski seseorang telah mencapai garis akhir bekerja, dalam dirinya mulai hadir kegalauan menghinggap untuk menghadapi hari-hari panjang setelah dirinya tak tidak bekerja, mulai timbul gejala post power syndrome. Kondisi kejiwaan ini biasanya dialami oleh seseorang yang kehilangan jabatan atau kekuasaan dengan ditandai merasa harga diri telah turun.

Kata ‘power’ pada post power syndrome bukan dimaknakan sebagai kekuasaan. Melainkan digambarkan sebagai sosok yang semula aktif, banyak kegiatan, tiba-tiba hilang semua, sehingga timbul rasa tidak nyaman. Jadi, seseorang yang tidak bisa menerima perubahan yang terjadi akibat hilangnya aktivitas, kekuasaan, pendapatan, dan sebagainya, ia telah mengalami post power syndrome.

Meski tidak sepenuhnya persis sama, jika memasuki masa pensiun diibaratkan kemenangan, maka kemenangan seorang ANS yang akan menjalani masa pensiun acap kali justru disambut dengan rasa haru dan titik air mata. Baik bagi yang akan pensiun maupun bagi teman-teman pegawai yang akan ditinggalkan. Air mata perpisahan pertanda bahwa melepaskan ikatan kekeluargaan itu tidak mudah.

Pensiun! Mengapa Harus Galau?
Bersama Kun Mariyati (dua dari kiri) dan teman-teman guru

Pentingnya Menata Hati

Menata hati dan mempersiapkan diri sejak dini dengan berpandangan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa hidup selamanya. Seiring berputarnya waktu, suka atau pun tidak suka, siklus kehidupan akan selalu mengalir. Pekerjaan, posisi, atau kedudukan akan digantikan oleh orang lain. Maka siapa pun wajib menyadari, pensiun itu hal yang wajar yang dialami oleh setiap ASN atau karyawan swasta.

Dengan kesiapan mental menerima bahwa masa pensiun adalah suatu kenyataan yang mesti dihadapi. Maka hati akan menjadi tenang, dan jauh dari kerisauan memikirkan masa pensiun. Untuk mengimbangi itu, hal yang mudah dilakukan yakni dengan terus menjalin silaturahim dengan orang-orang di sekitar, baik itu keluarga, kerabat, tetangga, teman, maupun komunitas tertentu.

Biar tidak timbul perasaan kesepian atau kesendirian dalam keseharian yang terasa panjang, berkumpul secara berkala dengan mereka itu penting. Baik lagi, barangkali turut terlibat dalam komunitas dengan aktivitas yang bermanfaat. Misalnya, komunitas relegi seperti pengajian, aktivitas gereja atau pura, komunitas terkait hobi seperti gowes, jalan kaki, senam, fotografi, atau komunitas lainnya.

Di tengah orang-orang yang memiliki minat atau hobi sama tentu menyenangkan. Dengan bergabung di komunitas yang memiliki visi sama, kepercayaan, sumber daya, preferensi, dan kebutuhan akan membuat seseorang memiliki jaringan yang lebih luas luas. Hidup tak menjadi sepi dari kawan-kawan.

Pensiun! Mengapa Harus Galau?
Demi penuhi permintaan buat rekam jejak digital rela berjongkok deh

*

Pada kenyataannya, sebagian orang saat menjalani masa pensiun mereka respons dengan berbagai cara, ada yang merasa gembira karena terbebas dari pekerjaan yang selama ini harus selalu dipertanggungjawabkan. Namun, sebagian lain masih ada yang merasa kebingungan tentang apa yang akan dikerjakan setelah pensiun. Perasaan negatif, tidak menyenangkan, merasa kehilangan teman-teman, dan penghasilan berkurang sebagai bentuk akumulasi rasa khawatir yang menakutkan.

Pada akhirnya, selamat memasuki gerbang pensiun Bu Kun Mariyati! Anda telah memenangkan lomba marathon. Meski telah menempuh jarak yang panjang, stamina super prima, dan melelahkan, Anda telah sampai garis finis sebagai ASN. Pensiun bukan akhir dari segala pekerjaan, tetapi masih banyak pekerjaan di tempat lain yang bisa Anda lakoni, dan menyenangkan. Sebagaimana yang saya nikmati saat ini, satu tahun enam bulan pensiun, hidup terasa nyaman-nyaman saja. Alhamdulillah.

You may also like

4 thoughts on “Pensiun! Mengapa Harus Galau?”

    1. Tetaplah menginspirasi untuk kebaikan sampai kapan pun. Jika tidak di jalur formal. di jalur nonformal pun kita tetap bisa menebarkan kebaikan.
      Tetap sehat-sehat selalu beserta keluarga besar Panjenengan, Pak.
      Matur suwun.

  1. sebentar lagi saya menyusul purna tugas,ibarat sekolah sebentar lagi lulus .Semoga edukasi Pak Ali membuat inspirasi semangat untuk menjalani masa pensiun.

    1. Wah, Panjenengan juga tahun ini atau tahun depan, Bu?
      Semoga khusnul khotimah purna tugas sebagai guru.

      Aamiin. Semoga menginspirasi teman-teman.
      Semoga tetap sehat-sehat selalu kagem Panjenengan beserta keluarga besar.
      Matur suwun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *