Sejumlah pasukan berasal dari HEIHO, kemudian membentuk sebagai pasukan baru, yakni Batalion Sriwidjaja di bawah pimpinan Kapten Jansen Rambe dan Gumbreg di Benteng Kedung Cowek. Mereka akan bertempur demi tanah air, Indonesia, dibantu oleh para pemuda kampung, mantan pasukan KNIL yang menguasai meriam, TKR Laut dan tentara pelajar untuk memperkuat pertahanan pantai Surabaya.
“Saudara-saudara, saat ini situasi Surabaya sudah mulai genting setelah kita mendengar ultimatum tentara Inggris. Esok mereka akan meyerang, membumihanguskan Surabaya dari segala arah, kita tidak boleh tinggal diam. Kita harus tetap bertempur melawan tentara Inggris. Di sektor Surabaya Utara, di Benteng Kedung Cowek, kita akan berjaga di batas pertahanan pantai sekuat mungkin,” instruksi Kapten Jansen Rambe kepada para pejuang.
Demikian satu cuplikan dialog tersebut dari salah satu scane yang mengawali teatrikal Pertempuran Benteng Kedung Cowek. Teratrikal diperankan oleh komunitas kesejarahan Kota Surabaya, yakni Roode Brug Soerabaia dalam rangka mengisi agenda rutin yang dijadwalkan oleh Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga serta Pariwisata (Disbudporapar) Pemkot Surabaya, digelar di Lapangan Tugu Pahlawan Surabaya, Minggu (11/6/2023), pukul 08.00.
Di dalam Benteng Kedung Cowek semua pejuang telah berkumpul dengan penuh semangat untuk bejuang. Akhirnya, pertempuran terjadi pada tanggal 10 November 1945, saat itu Inggris menggempur Surabaya dengan kekuatan penuh dari darat, laut dan udara. Hal itu dilakukan sesuai dengan ultimatum Mayor Jenderal Mansregh yang disebar dari langit Surabaya melalui pesawat terbang.
Tepat pukul 11.00, pada tanggal 10 November 1945, kapal-kapal perang Inggris mulai menyerang dengan membombardir dengan tembakan meriam-meriamnya ke pusat Surabaya. Di bawah komando Captain R.C.S. Garwood, mereka muntahkan 350 tembakan meriam caliber 45 inchi dari kapal destroyernya. Namun, di luar dugaan ternyata tembakan mereka ternyata dibalas oleh para pejuang.
Padahal kekuatan udara pasukan Inggris terdiri atas 12 pesawat pemburu Thunder Bolt dan 20 pesawat Mosquito ikut menggempur benteng dari udara. Beberapa di antaranya berhasil dirontokkan, salah satunya jatuh di perairan sisi timur benteng. Bahkan pada hari pertama pertempuran, pesawat yang dinaiki Brigadier Jenderal Guy Loder Symonds jatuh. Inggris kehilangan seorang perwira tingginya yang tewas setelah Mallaby.
Perlawanan tersebut mengagetkan tentara Inggris karena mereka mengira tidak ada orang Indonesia yang mampu mengoperasikan meriam. Anggapan selama ini, tentara Indonesia berlabel ‘not higher than third partisan army’ ternyata tidak benar. Pertemputan antara kapal-kapal Inggris melawan meriam pantai para pejuang yang telah dimodifikasi menjadi meriam anti udara pun berlangsung sengit.
Pemuda kampung dan pasukan pelajar belum pernah ikut perang. Hari itu mereka mendapati ‘horror’, amis darah dan pekat mesiu, suasana gelap, berbaur dalam tangis kengerian. Bagi mereka, perang ini yang pertama sekaligus cerita terakhir mereka. Dinding-dinding pertahanan koyak berhamburan. Batalyon Sriwidjaja dipaksa mundur meninggalkan sepertiga dari teman mereka yang gugur tanpa sempat dievakuasi.
Benteng yang dibangun Belanda tahun 1900 berhasil diduduki Inggris pada 17 November 1945. Berdasarkan catatan mereka yang tersimpan dalam ISUM, 27 November, Public Record Office, dituliskan bahwa mereka menemukan di area dalam benteng 400 ton amunisi meriam belum sempat ditembakkan. Akhir peperangan, banyak pejuang tewas secara mengenaskan. Pasukan Batalyon Sriwidjaja akhirnya mundur dari serangan tentara Inggris.
Sementara itu, mayat-mayat pejuang yang bergelimpangan dan berserakan tewas akibat serangan tentara Inggris kemudian diurus oleh laskar putri, dan gadis palang merah. Mereka berjalan mondar-mandir, berjalan di antara mayat-mayat para pejuang. Kemudian, dengan bendera Merah Putih mereka menutup sekujur tubuh pejuang yang tewas di sekitar benteng.
Benteng ini di atas lahan seluas 71.876 meter persegi, berada di sebelah timur Jembatan Suramadu dalam teritorial wilayah Kodim 0831/Surabaya Timur. Adapun bangunan yang memenuhi kriteria sebagai BCB sebanyak 11 bangunan, mencakup total luas 1925.44 meter persegi. Kesebelas bangunan itulah yang ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya berdasarkan SK Wali Kota Surabaya Nomor: 188.45/261/ 36.1.2/2019 tanggal 31 Oktober 2019.
Acara dibuka oleh M.T. Agus, UPTD Pengelolaan Museum dan Gedung Seni Budaya, kemudian diawali dengan pembacaan puisi oleh Mbah Sabar Dinggu. Memungkasi teatrikal diisi pembacaan puisi juga oleh Pakde Madi, “sosok perak” yang biasanya bisa ditemui berdiri di atas becak di sekitaran Hotel Majapahit, Jalan Tunjungan Surabaya.
Kepala UPTD Pengelolaan Museum dan Gedung Seni Budaya, Saidatul Maknunah, S.T., menuturkan bahwa “Pementasan Drama Teatrikal Revolusi Surabaya 1945” merupakan bagian dari agenda kegiatan program publik Museum Sepuluh Nopember yang secara regular dilaksanakan di areal rumput hijau Tugu Pahlawan.
“Acara ini membawa konsep edutainment terkait Peristiwa Sejarah Pertempuran 10 Nopember 1945 yang dikemas dengan cara yang menyenangkan, yakni berupa tontonan dan tuntunan. Tontonan pertunjukan hiburan dan tuntunan edukasi sejarah,” tuturnya.
Kali ini, lanjutnya, tampilan teatrikal dimainkan oleh Komunitas Pegiat Sejarah Roode Brug Soerabaia dengan mengangkat Episode Fragmen Sejarah Pertempuran Benteng Kedung Cowek. Dan acara ini terselenggara berkat peran serta Kemendikbudristek, PemKot Surabaya, Disbudporapar Surabaya, UPTD Pengelolaan Museum dan Gedung Seni Budaya, serta suport dari masyarakat.
“Dengan harapan, acara ini dapat bermanfaat bagi masyarakat, dan tentunya untuk membangun Karakter Kebangsaan, khususnya bagi generasi muda millenial,” pungkas Saidatul Maknunah, S.T.
Pada kesempatan yang sama, Satrio Sudarso, Ketua Roode Grug Soerabaia, menjelaskan bahwa dengan pementasan teatrikal Pertempuran Benteng Kedung Cowek diharapkan dapat membangun memori kolektif masyarakat Surabaya tentang nilai perjuangan. Khususnya, bagi generasi millenial agar mereka mengenal , mencintai, dan menjaga kotanya.
“Benteng Kedung Cowek merupakan spot sisa pertempuran dahsyat di Kota Surabaya pada 10 November 1945 yang keberadaannya masih lumayan utuh. Bahkan jika musim kemarau rerumputan dan semak belukar kering banyak ditemukan benda-benda terkait dengan perang,” pungkas Satrio Sudarso.
Sementara itu, Aries Eka Prasetya, Guru Sejarah SMA Negeri 22 Surabaya, mengatakan bahwa sebagai guru sejarah, adanya teatrikal semacam ini bisa dijadikan sebagai bahan media dan sarana untuk mendidik siswa dalam pelajaran sejarah. Siswa akan mudah memahami materi dengan melihat langsung dan bisa mengambil hikmah berkaitan dengan materi pembelajaran yang dikaitkan dengan teatrikal yang mereka lihat.
“Mengetahui dan mengenal langsung tentang peristiwa sejarah dan sosok tokoh yang ada di dalamnya melalui teatrikal menjadi hal yang sangat berarti bagi siswa. Semoga ke depannya semakin banyak teatrikal semacam ini sehingga memudahkan guru sejarah mengajak siswa untuk mengetahui reka ulang bagaimana peristiwa itu terjadi, tokohnya, dan hikmah di balik peristiwa tersebut,” lanjutnya.
Tujuan menugaskan siswa dalam kegiatan ini, tambahnya, yaitu untuk memahamkan pada mereka tentang sebuah peristiwa yang ada di Surabaya, khususnya berkaitan dengan peristiwa Pertempuran Benteng Kedung Cowek. Pembelajaran luar kelas yang kami laksanakan sebenarnya berkaitan dengan proses pembelajaran tentang materi pengertian peristiwa sejarah.
“Untuk memahami tentang sebuah peristiwa bersejarah, salah satunya dengan melihat teatrikal semacam ini. Harapannya, setiap siswa tahu bagaimana peristiwa masa lalu itu terjadi dan dapat mengambil hikmah,” pungkas pria pehobi bersepeda.
Ilham Leksono Hanjoyo, siswa Kelas X-3/31 SMAN 22 Surabaya, mengatakan bahwa setelah melihat teatrikal Pertempuran Benteng Kedung Cowek saya sangat bangga banget karena melihat perjuangan para pejuang Indonesia yang telah mempertaruhkan nyawa saat melindungi tempat persediaan amunisi yang ada di Benteng Kedung Cowek.
“Semoga tempat tempat bersejarah yang ada di Surabaya dijadikan tempat wisata, dan tempat reka ulang kejadian sejarah saat memperingati kejadian sejarah yang ada di tempat tersebut,” katanya saat ditemui usai pementasan teatrikan Pertempuran Benteng Kedung Cowek.
Senada dengan Raden Ilham, Wildan Sukma Ainurrohman, teman sekelasnya, mengatakan bahwa sebagai generasi muda Surabaya, dengan menyaksikan teatrikal “Pertempuran Benteng Kedung Cowek”, selain kami, para siswa, bisa lebih cepat memahami materi yang kami sudah pelajari di kelas, juga tahu tempat dan peristiwa bernilai sejarah di kota tercinta ini.
“Sebagai warga Kota Surabaya, harapan untuk Pemkot Surabaya agar tempat-tempat bernilai sejarah di Surabaya fasilitasnya dipenuhi agar dapat menjadi semacam laboratorium untuk belajar sejarah, khususnnya sejarah perkembangan Kota Surabaya,” pungkas siswa Kelas X-3/36 SMAN 22 Surabaya.
Teatrikal
Pertempuran Benteng Kedung Cowek
dalam Rangkaian Foto
“Biarkan Foto yang Bicara!”
Foto Bersama
Sebelum dan Sesudah Teatrikal
Foto Bersama Penonton