Sebenarnya alisson.id ke tempat destinasi yang satu ini sudah beberapa bulan lalu, pada minggu kedua September 2021. Waktu itu perjalanan memang muter dan bolak-balik antara Semarang, Magelang, Yogyakarta, dan Solo. Maklum, file foto telah tertumpuk oleh file foto yang ribuan jumlahnya. Jadi lupa. Baru teringat, ketika mengaduk-aduk kembali file foto yang ada di external harddisk.
Ya, Rawa Pening. Keeksotisan Rawa Pening dapat Anda jadikan sebagai salah satu tujuan destinasi wisata ketika sedang berkunjung ke Semarang. Selain berada di cekungan antara Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo dan Gunung Ungaran, panorama danau ini meliputi empat wilayah kecamatan di Kabupaten Semarang, yakni Kecamatan Bawen, Ambarawa, Tuntang, dan Banyubiru.
Dilansir dari dlh.semarangkota.go.id, Rawa Pening merupakan danau alami dengan luas sekitar 2.670 hektar. Hampir setengah dari luas danau dipenuhi dengan tumbuhan enceng gondhok. Tumbuhan ini ternyata bermanfaat bagi ikan dan biota air lainnya untuk berlindung dari paparan sinar matahari. Meski banyak tumbuh enceng gondhok, namun tak mengurangi keindahan panorama Rawa Pening.
Selain dijadikan tempat wisata, masyarakat di sekitar danau memanfaatkan Rawa Pening untuk memancing dan mencari ikan dengan menggunakan jala. Banyak warga sekitar yang berprofesi menjadi nelayan. Tak mengherankan apabila banyak perahu nelayan yang berada di tengah maupun di tepian danau. Hal itu semakin menambah keeksotisan maupun keindahan Rawa Pening ini.
Keindahan Rawa Pening didukung pula oleh lalu lalang perahu maupun perahu-perahu yang ditambatkan di tepian danau. Selain tempat wisata, Rawa Pening dimanfaatkan warga sekitar danau untuk mencari nafkah. Sebagai nelayan, mereka mereka mendirikan bagan untuk mencari ikan, memancing, maupun menjala ikan. Momen ini yang ditunggu-tunggu para pehobi fotografi.
Perlu juga Anda nikmati bagaimana sensasi mengelilingi Rawa Pening dengan naik perahu bermesin yang disewakan warga. Sewa satu perahu kisaran Rp100.000,00, bisa dipakai sendirian, atau 3-4 orang saja. Anda akan diajak mengelilingi Rawa Pening selama kurang lebih 30 menit, berkeliling di antara bagan milik warga dan di antara enceng gondhok yang menutup sebagian permukaan danau.
Fasilitas lain, di Kampung Rawa Anda dapat menikmati kuliner penyetan wader goreng di warung-warung sekitar kawasan Rawa Pening, atau di rumah makan apung. Selain itu, tersedia juga wahana bermain seperti becak mini, perahu karet, dan bebek air. Jam operasional mulai pukul 08.00 hingga pukul 21.00. Tiket masuk kawasan Rawa Pening sebesar Rp3000.00 per orang.
Satu paket perjalanan, selain Rawa Pening, Anda dapat mampir berkunjung ke objek wisata di sekitarnya, yakni Wisata Bukit Cinta yang berada di sebelah barat daya Danau Rawa Pening. Museum Kereta Api Ambarawa yang berjarak 3,8 kilometer. Gua Maria Kerep berjarak 4,5 kilometer, dan Umbul Sido Mukti berjarak 11,1 kilometer dari Rawa Pening. Sayang sekali jika terlewatkan.
Legenda Rawa Pening
Legenda Rawa Pening ada berbagai versi. Aliison merangkum dari laman belajar.kemendikbud.go.id, zaman dulu ada sebuah desa di kaki Gunung Telomoyo, Desa Ngasem. Ki Sela Gondang adalah kepala desa yang arif dan bijaksana. Ki Sela Gondang memiliki seorang putri yang cantik bernama Endang Sawitri. Suatu hari, Desa Ngasem akan mengadakan acara ‘merti’ dan perlu sarana tolak balak.
Adapun sarana tolak balak itu berupa pusaka sakti sebagai salah satu syarat agar acara ‘merti’ atau bersih-bersih desa bisa berjalan lancar tanpa ada halangan apa pun. Endang Sawitri diutus untuk meminjam pusaka milik Ki Hajar Salokantara, sahabat Ki Sela Gondang. Ki Hajar Salokantara memberikan pesan kepada Endang Sawitri agar tidak meletakkan pusaka di atas pangkuannya.
Namun, di tengah perjalanan pulang, Endang Sawitri melanggar pesan tersebut, meletakkan pusaka di pangkuannya. Akibatnya, Endang Sawitri hamil. Akhirnya, Ki Sela Gondang pun memohon agar Ki Hajar Salokantara mau menikahi sang putri untuk menutup aib keluarganya. Dengan berat hati, maka Ki Hajar Salokantara pun bersedia memperisteri Endang Sawitri.
Ketika Endang Sawitri melahirkan, ternyata anaknya berupa seekor naga, kemudian diberi nama Baru Klinting. Untuk melepas kutukan pusaka, Baru Klinting harus menemui Ki Hajar Salokantara yang sedang bertapa di gunung Telomoyo. Dengan membawa bukti klintingan sebagai tanda pemberian Ki Hajar Salokantara yang dititipkan pada ibunya, Baru Klinting diterima sebagai anak.
Kemudian Ki Hajar Salokantara menyuruh Baru Klinting untuk bertapa kembali di Gunung Telomoyo agar ia terlepas dari kutukan pusaka sakti dengan melingkarkan tubuhnya di gunung itu. Setelah selesai bertapa, Baro Klinting berubah menjadi manusia. Setelah berubah, Baro Klinting meminta makanan dan minuman kepada penduduk desa yang sedang berpesta, namun ia diusir.
Nyai Latung, seorang janda tua, mempunyai rasa iba dan belas kasihan, kemudian memberikan makanan dan minuman. Baru Klinting mencoba lagi meminta makanan dan minuman, justru dia ditendang dan diusir lagi. Demi membalaskan sakit hatinya, Baru Klinting menancapkan sebatang lidi dan mengadakan sayembara. Siapa yang dapat mencabut lidi, maka ia adalah orang sakti.
Beberapa orang desa itu mencoba mencabut lidi, namun tak seorang pun penduduk desa yang sanggup mencabut. Lantaran tak ada yang bisa, Baru Klinting mencabut lidi itu. Saat lidi dicabut oleh Baru Klinting, menyemburlah air yang sangat deras menjadi air bah, penduduk pun memukul kentongan tanda bahaya. Penduduk desa kebingungan menyelamatkan diri, namun gagal.
Mendengar suara kentongan, Nyai Latung naik ke atas lesung sesuai pesan Baru Klinting. Air bah semakin membesar dan menggenangi seluruh desa dan sekitarnya, semua penduduk tenggelam kecuali Nyai Lantung. Air bah kemudian membentuk rawa-rawa atau danau, dan airnya bening. Nyai Latung kemudian menamakan rawa itu dengan nama Rawa Pening, yakni rawa yang airnya bening.
Melihat pemandangan Rawa Peging,kepala pening jadi hilang, ha ha ha.
Mas Santoso A,
Hahahaha, betul juga. Makanya perbnyak piknik biar tidak pening.
Matur suwun.