Roode Brug Soerabaia, salah satu komunitas kesejarahan di Surabaya, mengajak para pesepeda Surabaya untuk menyusuri Kalimas dengan bersepeda. Kegiatan yang dikemas dengan tajuk “Revolusi Sepanjang Kali”, yakni mengulik jejak sejarah perjuangan Arek-Arek Suroboyo seputar ‘Pertempuran Surabaya 1945’ untuk mempertahankan kedaulatan Negara RI, Minggu pagi (16/1/2022).
Kegiatan diikuti 30 pesepeda lintas usia, menikmati rute yang sebagian pesepeda tak pernah melewatinya. Start dimulai dari Monumen Wira Surya di Wonokromo, kemudian menyusuri tepian Kalimas. Ada beberapa singgahan, di antaranya di NV Braat Jalan Ngagel, Dinoyo Tangsi, Kuburan Massal ex Rumah Sakit Simpang, Jembatan Merah, Crane Tua Kalimas, dan finis di Jembatan Petekan. Peserta memperoleh gambaran singkat tentang sejarahnya oleh pemandu.
Ady Setyawan, founder Roode Brug Soerabaia, sekaligus sebagai pemandu acara “Revolusi Sepanjang Kali”, menuturkan bahwa tujuan acara adalah menunjukkan potensi wisata sejarah yang dimiliki Kalimas. Hari ini kita menyusuri jejak sejarah revolusi di sepanjang kali. Wisata menyusuri Kalimas tidak selalu indentik dengan berperahu, tetapi juga bisa dengan bersepeda.
“Dengan kegiatan semacam ini, para peserta bisa melihat potret Surabaya sebagai “Kota Pahlawa”’ ini memiliki potensi sejarah di setiap sudut kotanya. Harapan kedepannya, kita akan lebih mencintai kota yang memberi kehidupan selama ini,” tutur pria yang menggeluti bisnis lele air bersih, bisa diintip di akun instagramnya @tumbas.lele.
Monumen Wira Surya
Dilansir dari Katalog Digital Roode Brug Soerabaia, Di Jembatan Wonokromo, kini bisa dilihat sebuah monumen yang menjulang tinggi sebagai sebuah penanda peristiwa. Dalam pertempuran Surabaya fase pertama, jembatan yang diduduki Inggris ini diserang oleh para pejuang Indonesia dari Sekolah Kadet Mojoagung.
Para pejuang kita menyerbu dari sisi selatan sungai Kalimas, dan berhasil merebut Jembatan Wonokromo. Namun di sisi lain, pasukan Inggris menembaki para pejuang kita dengan cara bersembunyi di balik rimbunnya pohon beringin yang masih bisa kita lihat hingga hari ini. Seluruh pasukan musuh yang berada di tempat itu dibinasakan.
Semula Inggris datang ke Surabaya pada 25 Oktober 1945 dalam keadaan damai, Indonesia menerima Inggris karena mereka berjanji bahwa maksud kedatangan hanya untuk mengurusi tawanan perang, tidak melucuti persenjataan yang ada di tangan para pemuda Surabaya.
Akhir Oktober, seluruh arsenal atau persenjataan Jepang di Surabaya telah dikuasai para pemuda Surabaya.
Keadaan menjadi panas ketika 27 Oktober 1945, pesawat-pesawat Inggris menjatuhkan selebaran berisi seruan agar orang-orang Indonesia yang bersenjata segera menyerahkan senjatanya kepada Inggris. Siapa pun yang terlihat membawa senjata akan ditembak mati. Selebaran itu diikuti aksi pasukan Inggris yang melakukan sweeping dan merampasi senjata-senjata pemuda Surabaya.
Kemudian pertempuran pecah mulai 28 Oktober, baru bisa dihentikan pada 30 Oktober 1945. Para pejuang mengenangnya dengan sebutan “Pertempuran Tiga Hari atau Pertempuran Surabaya Fase Pertama”. Di bawah Brigadir Mallaby, pasukan Inggris sejumlah 5000 personil nyaris tersapu bersih. Pertempuran berhasil dihentikan setelah Inggris meminta Soekarno Hatta untuk menghentikan pertempuran.
Gencatan senjata disepakati pada 30 Oktober 1945, namun sepulangnya Soekarno Hatta, terjadi insiden di Jembatan Merah yang menewaskan Mallaby. Peristiwa ini dijadikan alasan Inggris untuk menggempur Surabaya dengan kekuatan penuh. Pada 10 November 1945, Inggris menurunkan matra darat, laut dan udara, melibatkan 30.000 personil tempur. Surabaya menjadi medan laga selama berminggu-minggu.
NV Braat Jalan Ngagel
The Machinefabriek NV Braat didirikan pada 1901 oleh B. Braat JNZ. Pada awal pendiriannya, pabrik ini memproduksi alat-alat mesin untuk keperluan pabrik gula dan teh. Pada masa itu, Jawa adalah lumbung gula dunia dengan dibangunnya lebih kurang 200 pabrik gula dengan zaman keemasannya pada tahun 1920-1930 an.
Semakin mendekat perang dunia II, pabrik ini mulai memproduksi peralatan dan industri perang bahkan hingga produksi massal helm baja. Nasib pabrik ini berpindah ketangan Jepang ketika Belanda menyerah tanpa syarat tahun 1942, lantas Jepang memanfaatkan pabrik ini. Para pekerja Belanda maupun pribumi ditawan dan diforsir tenaganya untuk memproduksi alat-alat keperluan perang Jepang.
Mereka ini ditempatkan di kamp Distrik Darmo, setiap pagi berjalan berbondong-bondong menuju pabrik The Machinefabriek NV Braat dengan penjagaan ketat, hal yang sama terjadi ketika mereka pulang kerja. Sebuah tanda kain diikat pada lengan para pekerja dilengkapi pula dengan gambar lingkaran berwarna merah.
Serangan pertama Sekutu pada masa penjajahan Jepang di Kota Surabaya pada 21 Juli 1943. Kawasan pangkalan angkatan laut dan kawasan industri NV Braat jadi sasaran. Sedangkan serangan Sekutu kedua pada 17 Mei 1944, operasi serangan diberi nama “Operation Transom” dipimpin Laksamana James Somerville. Target serangan, di pangkalan angkatan laut, industri NV Braat, dan pangkalan minyak Wonokromo.
Dinoyo Tangsi
Totok, salah satu pegiat Roode Brug Soerabaia, menuturkan bahwa Kampung Dinoyo merupakan kampung tua di Kota Surabaya. Kampung ini terbagi menjadi dua wilayah, barat dan timur. Yang menarik, dari beberapa penjelasan tentang Kampung Dinoyo ternyata memang ada tambahan kata “Tangsi” untuk membedakan dengan Dinoyo yang lain.
Penambahan kata itu, lanjut Totok, untuk menjelaskan fungsinya. Misalnya Dinoyo Tangsi, diberi tambahan kata ‘Tangsi’ untuk membedakan dengan Dinoyo yang lainnya seperti Dinoyo Sekolahan, Dinoyo Ponten dan lainnya. Dulunya, di sini memang ada markas tentara Belanda, disebut Tangsi. Selanjutnya, tangsi dipindahkan dekat Stasiun Surabaya Kota ( sekarang Pasar Atom).
Kuburan Massal ex RS Simpang
Ketika pertempuran Surabaya meletus, Rumah Sakit Simpang adalah salah satu rumah sakit utama menampung para korban perang. Pada 13 November 1945, dr. Soetopo selaku Kepala Rumah Sakit, memutuskan untuk memindahkan para pasien keluar kota. Faktor penyebabnya tak lain adalah keamanan, dan tenaga medis yang kelelahan bekerja berhari-hari tanpa henti.
Adapun teknis pelaksanaan pengungsian diserahkan kepada dr Soewandhi. Tahap pertama yang diungsikan adalah alat-alat, dan obat-obatan menuju Kota Malang dan Jombang dengan ambulans, cikar, dan truk. Sedangkan tahap kedua baru mengungsikan para korban perang menuju Sidoarjo, Malang, Mojowarno, dan Jombang.
Situasi di Rumah Sakit Simpang ketika perang berkecamuk, terekam dalam tulisan dr
Wiliater Hutagalung yang pada masa itu berpangkat Kolonel, yakni :
“Ada dua peristiwa yang tidak dapat hilang dari ingatan saya ketika seorang pemuda dibawa masuk kedalam ruang bedah dengan kedua kakinya hancur terlindas roda kereta api. Rupanya karena terlalu lelah sehabis pertempuran sehingga tertidur dipinggir rel kereta api dengan kedua kaki melintang diatas rel.
Dia tidak terbangun ketika ada kereta api lewat sehingga kedua kakinya putus terlindas kereta api. Dia masih sadar ketika dibaringkan ditempat tidur, tetapi sebelum kita dapat menolongnya dia berseru ‘MERDEKA !! Hidup Indonesia !!’, kemudian menghembuskan nafas terakhirnya.”
Sedangkan Ruslan Abdul Gani pun menuliskan dalam Memoarnya 100 Hari di Surabaya, yakni “… korban begitu banyak, satu hari kami menguburkan setidaknya 100 pejuang yang gugur di halaman rumah sakit ini.”
Mengenai makam para pejuang di Rumah Sakit Simpang, ditemukan pula dalam arsip dari DHD 45. Arsip sebuah tulisan tangan yang ditulis oleh Mochammad Thalib, pelaku penguburan di Rumah Sakit Simpang, yang beralamat di Kedung Pengkol Gang V, Berikut kutipan dari arsip tersebut.
“… waktu sore kami mengangkut kayu jati satu truk untuk menguburkan orang-orang yang jadi korban di halaman CBZ. Kami bertengkar dengan Prof. Sjaaf, disuruh mengubur para korban di Taman Makam Pahlawan, tetapi kami kubur di halaman belakang CBZ.”
Jembatan Merah
Titik inilah yang menjadi sejarah penting, terbunuhnya Mallaby. Terdapat banyak versi tentang siapa pembunuh Mallaby, JGA Parrot menuliskan hasil wawancaranya dengan para pelaku di lapangan dalam artikelnya yang berjudul “Who Killed Brigadier Mallaby?” Yang perlu pengunjung tahu adalah antara terbunuhnya Mallaby hingga pecahnya perang besar 10 November 1945 terdapat satu fragmen penting, yaitu arsip surat menyurat antara Gubernur Suryo dengan Jenderal Mansergh.
Gubernur Suryo berusaha memohon agar Inggris tidak menggelar medan peperangan di Surabaya, kota ini begitu padat, akan ada begitu banyak korban rakyat yang berjatuhan. Lebih lanjut lagi, Gubernur Suryo meminta agar diadakan Forum Penyelidikan bersama yang menginvestigasi kematian Mallaby, tidak serta merta menyalahkan Indonesia. Namun permohonan Gubernur tidak digubris oleh Inggris.
Crane Tua Kalimas
Mengenal de Ned Indie Industrie. Ia adalah pendahulu NV Braat, sebuah workshop besar yang mengerjakan maupun mendatangkan komponen-komponen besar untuk keperluan pabrik gula, jembatan, pembuatan hanggar Lapter Morokrembangan hingga alat-alat berat untuk konstruksi. de Ned Indie bahkan memiliki galangan kapal sendiri, digunakan untuk memperbaiki kapal-kapal berukuran kecil. Eksis sejak abad ke-19, kemudian perlahan-lahan tergeser oleh NV Braat.
Jembatan Petekan
Dilansir dari daerah.sindonews.com, sebagai salah satu kota penting di zaman penjajahan Belanda, Surabaya menyimpan segudang peninggalan yang mencerminkan kemajuan Kota Pahlawan ini pada masa lalu. Salah satunya adalah Jembatan Petekan atau Ferwerdabrug yang berlokasi di Jalan Jakarta, Perak Utara Kecamatan Pabean Cantikan.
Nama jembatan ini diambil dari nama seorang panglima perang angkatan laut Hindia Belanda yakni Admiraal Ferwerda. Jembatan Petekan ini dibangun di atas sungai Kalimas, tepatnya di kawasan Bataviaweg. Jembatan ini dijadikan sebagai cagar budaya berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Surabaya 188.45/004/402.1.04/1998.
Lantaran sistem kerjanya yang ditekan (petekan), nama ferwerdabrug ini lebih dikenal oleh masyarakat Surabaya dengan nama Jembatan Petekan. Dalam bahasa Jawa, petekan artinya ‘dipencet’ atau ‘ditekan’. Dengan sistem tersebut, Jembatan Petekan merupakan salah satu jembatan tercanggih pada masa itu.
Dikutip dari Katalog Digital Roode Brug Soerabaia, dalam masa Pertempuran Surabaya, jembatan ini merupakan tempat para pejuang merebut Pangkalan Angkatan Laut Ujung. Kisah bagaimana bendera Merah Putih pertama kali berkibar di Pangkalan Angkatan Laut Ujung terekam dalam tulisan Moh. Affandi dalam buku “Pengalaman Pribadi Dalam Masa Perjuangan Kemerdekaan”, berikut ini sebagaian cuplikannya :
“Sejak tanggal 29 September 1945 telah terjadi pengepungan terhadap SE 21/24 Butai. Pencegatan dan penawanan terhadap serdadu Jepang yang keluar atau masuk SE 21/24 Butai dimulai jam 4 sore pada tanggal 1 Oktober 1945.
Dari jembatan Ferwerda ribuan rakyat berbaris masuk, mulai awalnya berbanjar empat, lama kelamaan menjadi berbanjar delapan memenuhi jalan. Saya berjalan paling depan bersama Samsidi, Harun dan beberapa pimpinan Badan Perjuangan dan di belakang saya barisan pasukan pendekar.
Hati saya dipenuhi perasaan bangga dan penuh keyakinan bisa memusnahkan apa saja yang menjadi penghalang perintang jalan. Saya yakin perasaan ini juga ada di hati tiap rakyat dalam barisan. Barisan depan yang panjang bergerak dengan langkah teratur, tenang dan rapi. Entah bagaimana halnya dengan barisan belakang yang dilaporkan tiada habis-habisnya.
Jauh sebelum memasuki pintu gerbang, saya disambut saudara Latip yang melaporkan bahwa tidak ada perlawanan di depan. Semua pasukan masuk menduduki lapangan Ujung dan Modderlust. Dalam perjalanan, bendera merah putih yang dibagikan saat di Benteng Miring mulai dikeluarkan dari dalam baju dan mulai dikibarkan.”
*
Mengunjungi tempat bersejarah Kota Surabaya, seperti menyusuri Kalimas “Revolusi Sepanjang Kali” semacam ini penting bagi warga Surabaya. Paling tidak dapat membangunkan memori kolektif masayarakat Surabaya atas perjuangan Arek-Arek Suroboyo dalam mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia sehingga masyarakat turut turun tangan mencintai, menjaga, dan melestarikan kotanya.
Menyusuri Kalimat hakikatnya sama dengan napak tilas perjuangan arek2 Suroboyo.
Mas Santoso A.,
Dengan ikuti even ini, kami jadi tahu betapa perjuangan berdarah-darah Arek Suroboyo dalam mempertahankan kemerdekaan.
Kita generasi saat ini tinggal mengisi kemerdekaan itu dengan profesi masing-masing dengan hati.
Tetap sehat-sehat selalu nggih.
Matur nuwun.