“Merdekaa…, merdekaaa…, merdekaaaa…!” Yel-yel segenap Arek-Arek Suroboyo pada tanggal 19 September dalam sebuah rapat raksasa di lapangan Tambaksari pukul 16.00 sore. Tampak rakyat Surabaya berkumpul untuk mendengarkan pidato di tengah lapangan, sedangkan beberapa tentara Jepang berjaga di sekelilingnya.
Setelah mendengarkan pidato tentang Proklamasi 17 Agustus 1945, mereka berkeliling kota meneriakkan kepada para pemuda pelajar, kaum buruh, tukang becak, kaum perempuan hingga seluruh rakyat perihal berita kemerdekaan. Tentara Jepang berjaga di sekeliling Tambaksari dengan senjata lengkap, tetapi hal tersebut tidak menyurutkan semangat Arek-Arek Suroboyo dalam membela dan mempertahankan proklamasi kemerdekaan
Demikian gambaran salah satu scane suasana teatrikal yang diperankan oleh komunitas Roode Brug Soerabaia dengan tema Pertempuran Surabaya 1945 Fase Pertama di Lapangan Tugu Pahlawan Surabaya, Minggu (9/6/2024). Hal itu, sebagaimana ditulis pada sebagian yang dikupas dari buku karya Ady Setyawan, yakni “Surabaya di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu?” dan “Kronik Pertempuran Surabaya – Media Asing dan Historiografi Indonesia”
Satrio Sudarso, Ketua Roode Brug Soerabaia yang sekaligus sebagai Scenario Created, menuturkan bahwa saat Arek-Arek Suroboyo usai memdengarkan pidato kemerdekaan, mereka merasa yakin bahwa Indonesia sudah merdeka, kemudian mereka melakukan pelucutan senjata terhadap pasukan Jepang. Pada permulaan Oktober 1945 boleh dikatakan bahwa kekuatan Jepang telah menyerah pada Arek-Arek Suroboyo.
“Dimulai dari penyerbuan dan pendudukan markas Kenpetai, markas Angkatan Laut Jepang di Gentengkali, markas angkatan darat Jepang di Don Bosco, hingga penyerahan gudang mesiu di Kamal jatuh ke tangan rakyat. Selanjutnya terjadi pengambilalihan gedung-gedung, perusahaan negara dan tempat umum penting lainya,” tuturnya.
Dalam situasi revolusioner pada 25 Oktober 1945, lanjutnya, kapal tentara Inggris atas nama Sekutu merapat di Surabaya dari Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir A.W.S. Mallaby, yang terdiri atas sekitar 6000 orang dengan misi awal utamanya adalah mengevakuasi tawanan perang dan interniran, serta melucuti senjata dan memulangkan tentara Jepang.
“Esok harinya tentara sekutu mulai bergerak dari Penjara Kalisosok untuk membebaskan para tahanan NICA, lalu terus bergerak ke tempat-tempat tawanan Jepang dan interniran Belanda lainya,” lanjut Satrio Sudarso.
Pada awalnya misi pasukan Inggris datang ke Indonesia dengan tiga maksud, yakni membebaskan warga Eropa yang menjadi tawanan perang, melucuti dan memulangkan tentara Jepang, serta memulihkan tatanan di seantero Indonesia sampai Belanda dapat mengelola kembali bekas kawasan jajahannya itu, pungkas pria sebagai dosesn di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
Dalam Catatan Ruslan Abdulgani, 100 Hari di Surabaya Yang Menggemparkan Indonesia (dalam Kronik Pertempuran Surabaya) bahwa pada 27 Oktober 1945, siang hari, beberapa pesawat Inggris menjatuhkan selebaran yang memerintahkan penduduk Surabaya dan Jawa Timur untuk menyerahkan kembali semua senjata dan peralatan Jepang yang dikuasainya kepada tentara Inggris dengan ancaman.
“Persons seen bearing arms and refusing to deliver them to the Allied Forces are liable to be shot.” (Orang-orang yang memegang senjata dan menolak memberikan senjata kepada pasukan Sekutu akan ditembak).”
Lantaran itu, Residen Sudirman, drg. Moestopo, dan lain-lain., berunding dengan Brigadir Mallaby sebagai pimpinan Sekutu di Surabaya. Indonesia menyampaikan bahwa selebaran yang dijatuhkan pesawat Sekutu bertentangan dengan kesepakatan antara pihak Sekutu dan pihak Indonesia pada 26 Oktober 1945.
Sementara itu, pada 28 Oktober 1945 pasukan Sekutu, Gurkha, menduduki lapangan terbang Morokrembangan dengan memberikan ultimatum kepada para pemuda untuk meninggalkan tempat dalam waktu 4 Jam. Tindakan Sekutu tersebut kemudian disusul dengan menduduki gedung-gedung penting, dan merampas mobil serta senjata para pemuda.
Hal itu, membuat seluruh rakyat terkejut hingga membuat amarah yang membara. Seketika itu, di malam harinya mulai pecah pertempuran antara pasukan Inggris dengan senjata lengkap tersebar di dua ujung Kota Surabaya dengan pasukan Indonesia yang terdiri atas TKR, laskar PRI, dan laskar-laskar lainya dengan senjata ringan sampai berat, meriam dan tank rampasan dari Jepang.
Akibatnya markas dan perkemahan pasukan Inggris dikepung oleh pasukan pemuda dan rakyat, termasuk pengepungan di gedung Lindeteves dan Internatio, juga perebutan lapangan terbang Morokrembangan. Meski dengan persenjataan yang jauh lebih rendah kelasnya, tetapi tidak menyurutkan semangat juang pasukan Republik dengan tekad bulat “Merdeka atau Mati!”.
Di tengah berkecamuknya pertempuran, pada 29 Oktober 1945 Presiden Sukarno dan beberapa pejabat tinggi, disertai sejumlah perwira Inggris dan wartawan asing datang ke Kota Surabaya guna menyerukan gencatan senjata. Pada 30 Oktober 1945 Jendral Hawtorn tiba di Surabaya turut melangsungkan perundingan tingkat tinggi dengan ‘Biro Kontak’.
Untuk sementara waktu tembak menembak berhenti sejenak, lantaran utusan Indonesia
bersama pihak Inggris memasuki gedung untuk menghentikan tembakan dari dalam. Tak lama kemudian ada lemparan granat dari tentara Inggris yang menyebabkan gencarnya kembali pertempuran tersebut. Akhirnya diketahui Brigadir A.W.S. Mallaby tewas di dalam mobilnya terkena lemparan granat dan sejumlah tembakan pada 30 Oktober 1945.
Setelah Brigadir A.W.S Mallaby tewas, peperangan berangsur berhenti dan tentara Inggris merasa telah kalah telak dalam pertempuran tersebut. Pihak Inggris menyerah kepada para pejuang dengan mengangkat tangan dan mengibarkan bendera putih. Mereka tidak pernah belajar bahwa untuk menghancurkan sebuah kota seperti Surabaya, ribuan rakyat dapat mereka bunuh, namun rakyat punya tekad baja untuk merdeka.
Kegiatan rutin aksi drama teatrikal di Tugu Pahlawan Surabaya atas kerja sama Museum Sepuluh Nopember Surabaya dengan Roode Brug Soerabaia. Untuk aksi teatrikal kali ini Roode Brug Soerabaia didukung pula oleh SHR (Semarang Historical Reenacment), Komunitas CAK Kedung Klinter, Komunitas deMardijkers, Karang Taruna Karang Tembok “Gank the Low”, siswa SMA Negeri 19 Surabaya, dan SMA Negeri 22 Surabaya.
Kesan Beberapa Pemain Teatrikal
Teatrikal Pertempuran Surabaya 1945 Fase Pertama oleh Roode Brug Sorabaia kali ini melibatkan siswa SMA Negeri 19 Surabaya, dan siswa SMA Negeri 22 Surabaya, berikut kesan-kesan yang mereka sampaikan usai teatrikal :
Alisha Maulidya Sulaeman, Kelas X SMA Negeri 19 Surabaya, ia menambahkan bahwa dapat diberi kesempatan untuk ikut berperan sebagai salah satu tokoh cerita pastinya sangat senang dan membanggakan. Dengan teatrikal, para siswa bisa menggali peristiwa sejarah, menambah pengetahuan dan wawasan lewat jadi pemeran.
“Untuk acara teatrikal Roode Brug Soerabaia kedepannya saya pasti akan ikut dalam selalu ikut,” kata Alisha Maulidya Sulaeman.
Pada kesempatan yang sama, Lusia Francine Xaverina Kiapati, siswa Kelas XI-6 SMA Negeri 22 Surabaya, mengatakan bahwa sebenernya deg-degan banget, soalnyaa first time ikut main teatrikal. Berkat bimbingan selama latihan oleh sutradara, jadi bekal keberanian. Belajar sejarah secara langsung terlibat seperti dalam teatrikal ini, saya merasa lebih gampang memahami peristiwa bersejrah bila dibandingkan dengan hanya dijelaskan.
Pernyataan senada disampaikan pula oleh Raden Ilham Leksono Hanjoyo, siswa Kelas XI-6/31, SMA Negeri 22 Surabaya, awalnya saya sangat kaget ketika peperangan telah dimulai. Apalagi ditambah petasan-petasan dan bom asap, suasana jadi seperti perang sungguhan. Namun, di balik rasa kaget tersebut, saya sangat senang ketika bisa tampil sebagai pengawal Bung Karno, Presiden pertama RI.
Sementara Nadya Aulliya, Kelas XI-6/27 SMA Negeri 22 Surabaya, mengatakan bahwa ikut main teatrikal bersama Roode Brug Soerabaia kali pertama ini merupakan momen yang membuat jadi merinding karena suara ledakan dari petasan dan juga efek-efek asap yang diciptakan. Secara singkatnya, hari ini sangat menyenangkan dan banyak memberikan pengalaman baru.
Sedangkan menurut Abhimanyu Aliffiansyah, Kelas XI-6 SMA Negeri 22 Surabaya, meski berperan sebagai rakyat dan mati tertembak. Acaranya seru, sebelum mati tertembak saya harus berguling-guling di rumput agak basah. Bagi siswa kesempatan bisa ikut main teatrikat itu bisa menambah wawasan maupun pengalaman. Seru sekaligus sangat menyenangkan.
Tangkapan Mata Lensa
Teatrikal Pertempuran Surabaya 1945 Fase Pertama