Mbah Karto, orang-orang di lingkungan kampung, tempat ia tinggal, biasa memanggilnya demikian. Tak banyak yang tahu asal muasal pria usia 84 tahun, dari mana dan kapan ia dilahirkan. Yang orang-orang tahu, Mbah Karto sejak lama mendiami kampung ini. “Seingatku ketika aku umur 10 tahun, Mbah Karto sudah di kampung ini, padahal sekarang aku sudah 62 tahun,” ujar Parto, Kepala Dusun. Meski sudah berumur senja, pria anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) itu bisa dibilang masih sehat walau jalannya perlu ditopang tongkat. Bicaranya masih cukup tegas berwibawa, meski pendengarannya agak terganggu. Sisa-sisa ketampanannya masih tampak. Istrinya sudah mendahuluinya dipanggil Allah SWT lebih dari sepuluh tahun lalu. Mbah Karto sangat dekat dengan orang-orang di lingkungannya, saat tertentu ia sering cerita masa lalunya, maupun kesukaannya.
Suatu sore, di teras depan Mbah Karto duduk di kursi malas. Digoyang-goyangkan kursinya, semetara angin menjatuhkan tongkatnya yang disandarkan di samping kursi, namun ia tak merasakan itu. “Wonogiri saat itu daerahnya tandus, apalagi jika saat musim kemarau berkepenjangan, banyak terjadi kelaparan. Ya, tiwul itu penganti nasi,” ujar Mbah Karto. Daerah tandus, tanahnya kering sehingga masyarakat tak bisa menanam padi. Mbah Karto membayangkan bagaimana ayahnya dulu pontang-panting bagaimana mencukupi pangan enam anaknya. Menanam singkong, itupun baru bisa dipanen antara 6 hingga 8 bulan. Harus putar otak, bagaimana agar tak sampai kehabisan stok, agar anak-anaknya tak kelaparan. Anak-anak generasi tiwul. “Harga beras tidak terbeli oleh masyarakat pada era pendudukan Jepang hingga tahun 1960-an. Mahal sekali,” kenangnya.
Daun-daun mangga dihempas angin, beterbangan di halaman, tampaknya Mbah Karto belum terusik. Sebagai anggota Legiun Veteran Mengajar, ia sering diundang mengajar di kelas, untuk mengenalkan Jiwa, Semangat, dan Nilai-nilai 1945 kepada para siswa. “Cucuku, saat ini kalian hidup di zaman serba enak, semua tersedia dengan mudah. Jangan jadi generasi yang lemah. Di tengah persaingan yang begitu ketat, kedisiplinan dan pantang menyerah menjadi bekal yang harus kalian miliki. Jangan terbuai dengan serba ada, serba mudah.,” nasehat Mbah Karto di depan para siswa. Beda dengan zaman mudanya Mbak Karto dahulu, harus ikut berjuang, bergerilya, dan hidup serba kekurangan. Hanya tiwul yang tersedia, makanan yang sudah langka, yang ia rindukan kini. “Tiwul, sego jagung, gatot, ketan, blendung. Tiwul, sego jagung, gatot, ketan, blendung. Tiwul, sego jagung, gatot, ketan, blendung,” suara speaker rekaman penjaja tiwul yang lewat di depan rumah mengagetkan sehingga Mbah Karto bangun. “Sumi, tolong belikan Bapak tiwul itu,” panggil Mbah Karto kepada asisten rumah tangganya sembari mencari-cari tongkatnya.
Featured Image : Tiwul dan Gatot