Sesepuh yang melek kesejarahan acapkali memiliki pengetahuan mendalam tentang periode waktu atau peristiwa tertentu. Ia dapat memberikan wawasan yang kaya dan mendalam tentang konteks sejarah, latar belakang, dan dampak dari suatu peristiwa. Lantaran ia memiliki perspektif unik yang didasarkan pada pengalaman dan atau hasil penelitiannya.
Di samping itu, ia dapat memberikan sudut pandang yang berbeda dan menarik tentang peristiwa sejarah, serta memberikan pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor yang mempengaruhi peristiwa tersebut. Atas pertimbangan tersebut, Roode Brug Soerabaia sempatkan berkunjung di kediaman “Mbah Kerto” Siamto H.R., mantan Kasi Humas dan Penerangan Divisi I TNNJ 45 Mojokerto, di Kota Mojokerto, Minggu (19/5/2024).
Berangkat dari Surabaya ke Mojokerto dikoordinasi Satrio Sudarso, Ketua Roode Brug Soerabaia. Turut dalam rombongan yakni Wahyu D., Koko Gepeng, Anang, Oscar Harun, dan saya. Roode Brug Soerabaia anjangsana ke Mbah Kerto, panggilan akrab Siamto H.R., di lingkungan orang-orang sekitarnya, dalam rangka ingin mengulik beberapa situs peninggalan bernilai sejarah, baik di kawasan Mojokerto dan Sidoarjo.
Adapun beberapa situs peninggalan bernilai sejarah di kawasan Mojokerto dan Sidoarjo, yang berdasarkan fakta seperti bekas pabrik spiritus dan alkohol, Rolak Songo, serta bekas kantor dan gudang Rolak Songo, maupun situs berdasarkan mitos atau pitutur yang belum didukung oleh fakta riil seperti pusat Alas Tarik atau Makam Eyang Gayatri, tokoh Eyang Kemuning, dan sumur bata merah di desa Seduri.
Pabrik Spiritus dan Alkohol Mojokerto
Dari rumah Mah Kerto, tempat pertama yang dikunjungi adalah lahan Pabrik Spiritus dan Alkohol Mojokerto. Kebetulan lokasinya tak jauh dari rumahnya. Mbah Kerto menceritakan bahwa dulu masih dapat melihat ada cerobong asap bekas pabrik spiritus di daerah Wates Kota Mojokerto, beberapa waktu yang lalu sisa-sisa kejayaan industri Mojokerto zaman kolonial itu diruntuhkan. Dulu, pabrik spiritus hanya ada dua di Jawa, yaitu di Wates dan di Pabuaran Jawa Barat.
Dilansir dari www.youtube.com/watch?v=WPn0-V2h_r0, @anindya_TV bahwa Pabrik Spiritus yang juga memproduksi alkohol itu dibangun pada tahun 1908 oleh Nederland Indische Spiritus Maatschappij NV. Atau, Perusahaan Spiritus Hindia Belanda, yang juga memiliki pabrik yang sama di Pabuaran tersebut. Pabrik di Wates itu merupakan pabrik spiritus terbesar di Indonesia pada zamannya.
Sebuah alasan mengapa pabrik tersebut di bangun di Mojokerto lantaran bahan baku spiritus dan alkohol didapat dari pemrosesan tetes pabrik gula. Sedangkan pabrik gula atau suikerfabrieek banyak terdapat di Mojokerto, saat itu ada sebelas pabrik. belum lagi yang ada di Sidoarjo dan Jombang. Berkat mudahnya ketersediaan bahan baku produksi merupakan salah satu pertimbangan pabrik itu dibangun di Mojokerto.
Bahan tetes didatangkan dari pabrik gula seperti dari Brangkal, Mojoagung, Mojowarno. Pengiriman bahan baku maupun hasil produksi pabrik spirtus dihubungkan dengan jalur kereta api ke Stasiun Mojokerto. Pada saat itu semua pabrik gula sudah terintegrasi dengan kereta api sebagai moda transportasinya. Dengan begitu, maka semua pabrik gula di selatan Kali Brantas dapat mengirimkan tetes dengan kereta tangki oleh maskapai kereta api Oost Java Stoomttam (OJS).
Pabrik spiritus dan alkohol tersebut pernah mengalami kebakaran hebat yang mengakibatkan kerusakan instalasi pabrik dan jatuhnya korban jiwa pada tahun 1938. Soerabaijasch handelsblad memberitakan bahwa kebakaran disebabkan karena ada pekerja yang membuka tanki penyimpanan secara paksa. Upaya membuka dengan memukul penutup tangki itu menyebabkan timbulnya percikan api yang langsung menjilat sisa bahan kimia mudah terbakar dalam tangki tersebut.
“Setelah penyerahan kedaulatan Kemerdekaan, pabrik spirtus itu dikelola oleh PT Aneka Industri dan menjadi perusahaan BUMD Propinsi Jawa Timur sampai pada akhir ditutupnya pabrik,” pungkas @anindya_TV.
Sedangkan dilansir dari akun facebook Serpihan Catatan Ayuhanafiq bahwa pada masa pendudukan Jepang, aktivitas Pabrik Spirtus Wates sempat terhenti. Para pekerja yang berasal dari Eropa ditangkap dan dimasukkan ke kamp tahanan. Namun tidak lama setelah itu Jepang membebaskan ahli kimia untuk bekerja lagi. Pabrik Spirtus Wates kembali berproduksi dengan menejemen yang dipegang oleh orang Jepang.
Lanjutnya, saat revolusi kemerdekaan semua pabrik tidak bisa beroperasi, termasuk pabrik spirtus Wates. Semua fasilitas pabrik lalu difungsikan untuk instalasi militer. Pabrik Spirtus Wates dipakai sebagai markas TKR Laut yang mundur dari Surabaya. Ketika para pejuang dari TKR Laut pindah lalu pabrik itu dioperasikan kembali oleh pekerja Indonesia.
Lantaran keterbatasan bahan baku menyebabkan hasil produksinya tidak maksimal. Hanya seperempat kapasitas pabrik yang menghasilkannya produk dibandingkan saat sebelum perang. Belanda menemukan setidaknya 5 ribu liter spirtus, 15 ribu liter alkohol dan 10 ribu ether di sana ketika mereka menyerang Mojokerto pada bulan Maret 1947.
Pabrik Spirtus Wates kembali diambil alih oleh Belanda sebagai hasil kesepakatan perjanjian kedaulatan. Pabrik itu kembali beroperasi di bawah kendali perusahaan Metalware & Packaging Nederlands-Indie. Namun tahun 1959 ketika Nasionalisasi Perusahaan Belanda dan Asing dilakukan oleh pemerintah, maka ikut juga diambil alih perusahaan tersebut.
Pengambilalihan dilakukan oleh Badan Nasional (Nanas) Nasionalisasi Perusahaan Belanda yang dibentuk oleh pemerintah pusat. Selanjunya Pabrik Spirtus Wates salah satu dari enam perusahaan yang bergerak di industri kimia di Jawa Timur ikut diambil alih dan menjadi BUMD Propinsi Jawa Timur. Lahan milik Pabrik Spirtus Wates sudah dijual pada swasta.
Dam Rolak Songo Mojokerto
Objek tempat kedua yang ditunjukkan oleh Mbah Kerto yakni Bendungan Rolak Songo Mojokerto. Setelah minta izin sekuriti, Mbah Kerto mengajak kami masuk kompleks perkantoran pengelola Rolak Songo. Ia menunjukkan kami salah satu dari bangunan Rolak Songo yang berada di dalam kompleks berangka tahun 1857, yang merupakan tahun dibangunnya dan tersebut.
Dilansir dari mojok.co/terminal/rolak-songo-mojokerto, lokasi dan atau bendungan tersebut berada di Desa Lengkong, Kecamatan Mojoanyar, Kabupaten Mojokerto. Dari pusat kota, Rolak Songo hanya berjarak sekitar 4 kilometer dengan waktu tempuh kurang lebih 10 menit dengan berkendara roda dua, atau roda empat. Penamaan Rolak Songo berasal dari bahasa Jawa. Rolak berarti pintu penggerak, sementara songo berarti sembilan.
Dengan kata lain bangunan bersejarah ini berarti bendungan dengan sembilan palangan pintu air. Bendungan Rolak Songo Mojokerto sudah berdiri sejak 1857. Uniknya, peninggalan yang berusia ratusan tahun itu masih beroperasi hingga sekarang. Sembilan pintu pengerek air itu berfungsi untuk mengatur ketinggian air di dua anak Sungai Brantas, yaitu Kali Mas di Surabaya dan Kali Porong di Sidoarjo.
Konon, Bendungan Rolak Songo pernah hancur saat perang Kemerdekaan. Akibatnya, air membanjiri Kota Sidoarjo dan Surabaya. Bendungan dibangun kembali meski harus menghilangkan satu palang pintu air. Dam Rolak Songo memisahkan Kabupaten Mojokerto dengan Kabupaten Sidoarjo.
Bangunan Bekas Perkantoran Dam Rolak Songo Mojokerto
Objek ketiga yang ditunjukkan oleh Mbah Kerto, bangunan peninggalan zaman kolonial Belanda yakni kompleks perkantoran Dam Rolak Songo. Kompleks perkantoran tersebut dibangun pada 1846 hingga 1880. Hal itu, dibuktikan berdasarkan angka tahun yang tertulis pada dua bongkahan batu di sekeliling pohon beringin besar.
Pohon berukuran besar itu menjulang tinggi tepat di depan bekas gedung perkantoran zaman kolonial Belanda. Bangunan bekas kompleks perkantoran Dam Rolak Songo berada di sisi timur Sungai Brantas tersebut dibiarkan mangkrak. Kompleks perkantoran tersebut saat ini adalah masuk wilayah Dusun Jabon, Desa Mliriprowo, Kecamatan Tarik, Kabupaten Sidoarjo.
Kompleks perkantoran itu terdiri atas empat gedung utama. Meliputi kantor pengelola sungai, dinas perairan, bengkel tempat menyimpan alat-alat berat, serta sebuah gudang. Bangunan-bangunan tersebut sudah tidak dimanfaatkan, dan dibiarkan mangkrak tak terurus, padahal asetnya masih milik pengelola Dam Rolak Songo.
Bangunan-bangunan bekas kompleks perkantoran itu di samping usianya yang sudah tua, juga memang terkesan seram. Meski masih tampak berdiri kokoh, namun dindingnya sudah mulai memudar dan dirambati arak-akar tumbuhan. Sebagian atap gedung sudah bolong serta kusen-kusen pintu dan jendelanya hilang. Hal itu menandakan tak banyak aktivitas orang di lokasi itu.
Situs Berdasarkan Mitos atau Cerita Pitutur
Selain ketiga objek peninggalan zaman kolonial Belanda, Mbah Kerto juga mengajak rombongan Roode Brug Soerabaia ke situs-situs yang sifatnya mitos. Hal itu berdasarkan cerita pitutur dari para pendahulu secara turun-temurun. Tentang kebenarannya tentu perlu pembuktian dari kajian-kajian berbagai pisau referensi sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Adapun situs-situs berdasarkan mitos yang umumnya dipercaya oleh masyarakat setempat maupun masyarakat sekitar Mojokerta, di antaranya yakni Makam Eyang Gayatri di Dusun Kedung Klinter, Desa Kedungbocok, Kecamatan Tarik, Kabupaten Sidoarjo. Konon, di situs ini dipercaya merupakan punjer (Jw) atau pusat dari hutan Tarik pada era Kerajaan Majapahit.
Selain itu, Mbah Kerto juga mengajak berkunjung ke Makam Mbah Gading, konon sebagai salah satu pejuang saat itu, rumah warga bertahun 1929, dan ke Sumur Tiban, sumur bata merah berdiameter sekitar 70 cm yang ditemukan orang saat menggali tanah untuk membuat batu bata. Kedua situs tersebut di Dusun Tuwiri Desa Seduri, Kecamatan Mojosati, Kabupaten Mjokerto, Jawa Timur. (alisson)
Tangkapan Mata Lensa
Roode Brug Soerabaia Anjangsana ke “Mbah Kerto” Siamto H.R.
Mantan Kasi Humas dan Penerangan Divisi I TNNJ 45 Mojokerto
Bekas Pabrik Spiritus dan Alkohol, Wates – Mojokerto
Dam Rolak Songo Mojokerto
Bangunan Bekas Perkantoran Dam Rolak Songo Mojokerto
Situs Berdasarkan Mitos atau Cerita Pitutur
Makam Eyang Gayatri
Makam Mbah Gading
Rumah Warga Berangka 1929
Sumur Bata Merah
Usai anjangsana rombongan sempatkan nikmati susu hangat di Pacet, Mojokerto