Roode Brug Soerabaia Telusur Jejak Soekarno di “Titik Nol Soekarno” di Ploso Jombang
Sejarah tentang tempat dan kapan lahir Soekarno, Proklamator Indonesia, tetap menyisakan banyak misteri dan perdebatan di antara pemerhati sejarah. Akhir-akhir ini, perhatian publik tertuju pada temuan bahwa Soekarno lahir di Ploso, Jombang. Lantaran itu, Roode Brug Soerabaia telusur jejaknya di “Titik Nol Soekarno” di Ploso Jombang, Minggu (29/9/2024).
Giat telusur jejak jejak Soekarno di “Titik Nol Soekarno” beralamat di Gang Buntu RT01 RW06 Desa Rejoagung, Ploso, Kabupaten Jombang, diikuti oleh 35 anggota Roode Brug Soerabaia, baik yang senior maupun yunior. Rombongan dipimping oleh Heru Widyana, turut serta mendampingi Silvi Mutiara, pembina Roode Brug Soerabaia, dan Satrio Sudarso, ketua Roode Brug Soerabaia.
Telusur jejak Soekarno di Ploso Jombang, rombongan dipandu oleh Mohammad Faisol, Kompass Jombang, sekaligus Marketing Jawa Pos Radar Jombang; dan Binhad Nurrohmat, Inisiator “Titik Nol Soekarno” di Ploso. Giat dimulai dari bekas lokasi Sekolah Desa, di belakang Terminal Ploso; lalu di bekas SD Ongko Loro di Jalan Protokol, Losari Ploso, dan di di bekas lahan kediaman Soekemi, ayah Soekarno, di Gang Buntu RT01 RW06 Desa Rejoagung, Ploso.
Kiranya penting untuk memahami bagaimana diskursus dapat membentuk persepsi publik dan mengubah pandangan tentang isu sosial-politik, seperti tentang tempat dan kapan lahir Soekarno di Ploso Jombang, Binhad Nurrohmat, inisiator “Titik Nol Soekarno” di Ploso Jombang mengulas sejumlah nama tokoh yang menguatkan dugaan Bung Karno lahir di Ploso, Jombang.
“Di antaranya, ada tokoh Mas Kiai Surasentono alias Mbah Suro yang diyakini turut membantu proses kelahiran bung Karno di Ploso Jombang. Dia adalah pria yang membantu persalinan ibu Ida Ayu Nyoman Rai Srimben dan memotong ari-ari bayi Koesno, nama lahir Bung Karno,” ulas pria yang akrab dengan sapaan Gus Benhad.
Rumah Mbah Suro, lanjut Gus Benhad, berada di Jalan Sencaki, sekarang Jalan Juanda, Kepanjen, Jombang, adalah kerabat ayah Bung Karno ini meninggal dunia 1949 dan dimakamkan di TMP Pekuncen Yogyakarta. Lalu ada Mbah Soemodjani, pria yang diyakini mencuci ari-ari bayi Koesno, dan menanamnya di samping kanan rumah di Gang Buntu Desa Ngelo, sekarang Desa Rejoagung, Kecamatan Ploso. Di depan samping kanan dan samping kiri tengah ada pohon mangga.
“Mbah Soemodjani meninggal tahun 1969, makamnya ada di TPU Lingkungan Geneng, Kelurahan Jombatan, Kecamatan Jombang. Kemudian Mbok Suwi alias Bu Sosro, wanita pengasuh Koesno saat kecil. Dia sempat difoto Cindy Adams tahun 1964 di depan rumah masa kecil Bung Karno di Ploso. Makamnya berada di TPU Dusun Balongjati, Desa Rejoagung, Kecamatan Ploso,” lanjutnya.
Selain itu ada nama Mbok Suwi, tambah Gus Benhad, yang sempat difoto oleh Cindy Adams adalah Mbah Djojodipo. Dia menjadi teman bermain masa kecil Bung Karno di rumah Ploso. Makamnya ada di TPU Dusun Kopensari, Desa Rejoagung, Kecamatan Ploso. Terakhir, ada Denmas Mendhung alias RM Sumosewoyo,
“Denmas Mendhung alias RM Sumosewoyo, seorang pria yang menyembuhkan saat Koesno kecil sakit lalu diganti namanya menjadi Soekarno. Makamnya di Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri,” tambah Gus Binhad.
Selama ini, menurutnya, baik di buku dan dokumen menyebut tempat lahir Bung Karno di Kota Surabaya. Kini, banyak yang meyakini jika Putra Sang Fajar ini sebenarnya lahir di Desa Rejoagung, Kecamatan Ploso, Jombang. Pun juga waktu kelahirannya tertulis 6 Juni 1901, ternyata ada juga dokumen yang sudah Gus Binhad temukan, yang menulis kelahiran 6 Juni 1902 di Ploso, Jombang.
Kondisi rumah yang pernah ditinggali keluarga Bung Karno di Gang Buntu Rejoagung, sekarang memang sudah tidak utuh lagi. Hanya tinggal pondasi. Berbeda sebelum 2010 lalu, kondisi rumah masih berdiri utuh. Sayang, karena kurang perawatan, akhirnya lapuk dan roboh total. Beberapa tahun terakhir, bersama masyarakat mulai merintis kembali untuk merawat rumah lahir Bung Karno, ungkapnya.
Salah satu bukti pendukung jika Kusno dilahirkan oleh Ida Ayu Nyoman Rai Srimben di rumah Rejoagung Ploso adalah kedekatan rumah tinggal dengan lokasi sekolah tempat R. Soekeni Sosrodihardjo mengajar. Saat itu, ia menjadi Mantri Guru di Tweede Inlandsche School (IS/Sekolah Pribumi) Ploso, sejak 28 Desember 1901. Sekolah itu juga populer dengan sebutan Sekolah Ongko Loro,” lanjutnya.
Pada kesempatan yang sama, Kuswartono, menuturkan bahwa R.M. Sumodiharjo,kakek buyutnya, kepala rumah tangga Istanan Yugyakartatahun 1946-1950, masih ada kerabat keluarga ayah Soekarno. Menurutnya, Sukmawati Soekarno Putri yang menyebutkan jika Bung Karno lahir di Jombang. Rahmawati Soekarno Putri pun pernah menyampaikan hal yang sama. Saat itu, Rahmawati sedang berkunjung ke Ponpes Majma’al Bahroin Shiddiqiyyah Losari Ploso 2019.
“Bahkan Mbak Rahmawati waktu itu bilang ke saya jika Bung Karno memang lahir di Ploso Jombang,” jelas Kuswartono sambil meunjukkan beberapa pigora foto kerabat yang ada pertalian dengan keluarga Soekarno, pun yang terkait dengan kehadiran Cindy Adam di Ploso Jombang,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Kuswartono, ada hal yang semakin menguatkan keyakinan jika rumah tempat lahir Bung Karno benar-benar ada di Rejoagung Ploso. Selain itu, beberapa orang yang ditemui Kuswartono di sekitar rumah tempat lahir Bung Karno juga membenarkan. Ada beberapa kisah yang didapatkan dari cerita tutur orangtua, kakeknya, maupun para kerabat yang mendukung kebenaran tersebut, tambah Kuswartono.
“Semua pihak di Ploso, Jombang, yakni segenap warga dan perangkat desa/Kecamatan di Ploso, juga “Titik Nol Soekarno” dan Kompass Jombang merasa gembira atas kunjungan istimewa teman-teman Roodebrug Soerabaia hari ini. Terima kasih atas semua. Maafkan penyambutan kami yang biasa banget nggih. Harapan kami kian erat silaturahmi,” ucapan Gus Benhad Nurrohmat memungkasi ulasannya..
Hal itu dikuatkan oleh Mohammdad Faisol, Kompass Jombang, turut mengucapkan terima kasih kepada kepada teman-teman Roode Brug Soerabaia atas kunjungannya ke “Titik Nol Soekarno” di Ploso, Kabupaten Jombang pada hari ini. Di samping ia menyampaikan permintaan maaf bila segala kekurangan dan ketidaknyamanan. Harapannya, lain waktu Roode Brug Soerabaia bisa datang lagi dengan anggota lain.
Temuan Data Baru Bisa Melengkapi, Pun Bisa Gugurkan Narasi Sejarah Sebelumnya
Sejarah sebagai disiplin ilmu, tidak alergi adanya temuan baru, keberadaannya bersifat dinamis dan tidak absolut karena sejarah dibangun berdasarkan interpretasi terhadap data dan fakta yang ditemukan pada waktu tertentu. Data dan fakta awal yang menjadi dasar sebuah penulisan sejarah bisa saja tidak lengkap dan atau bahkan tidak sepenuhnya akurat karena keterbatasan sumber, teknologi, maupun pengetahuan pada masa itu.
Oleh sebab itu, jika ada temuan baru yang muncul di kemudian hari, baik dalam bentuk artefak, dokumen, maupun sumber lisan atau cerita tutur bersumber kesaksian, temuan tersebut bisa mengubah narasi sejarah yang telah tertulis sebelumnya. Maka, proses peninjauan kembali sejarah bisa melalui diskusi, sarasehan, simposium, atau sidang akademis menjadi krusial dalam menguji data baru tersebut.
Dalam forum tersebut, para ahli dari berbagai disiplin ilmu bisa saling berdebat atau “adu” data dalam bahasa kasarnya, dengan berbagai argumen ilmiah, mengadu bukti, serta menimbang validitas temuan-temuan baru. Jika data baru terbukti lebih akurat atau lebih lengkap dengan validitas yang tak terbantahkan, maka ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi.
Jika temuan baru hanya melengkapi data yang sudah ada tanpa merombak total narasi, maka tulisan sejarah awal bisa mengalami revisi dengan penambahan informasi untuk memberikan perspektif lebih utuh terhadap kejadian masa lalu. Temuan baru memperlihatkan bahwa interpretasi awal data sejarah tidak sepenuhnya benar, perlu ada penyesuaian penulisan ulang sejarah tersebut.
Selain itu, beberapa kasus yang terjadi bahwa temuan baru bisa menolak atau membantah fakta yang sebelumnya dianggap benar. Misalnya, jika ada bukti arkeologis atau dokumen yang menunjukkan bahwa suatu peristiwa tidak terjadi seperti yang sebelumnya diyakini, maka fakta awal tersebut bisa dianggap gugur, dan penulisan sejarah harus diganti. Tak perlu “ngotot” bertahan lantaran gengsi, mungkin menyangkut individu, institusi mupun ranah politik.
Sebagai contoh, sejarah keberadaan suatu peradaban yang awalnya diduga hancur karena peperangan bisa berubah ketika ditemukan bukti-bukti arkeologi yang menunjukkan bahwa bencana alam sebenarnya adalah penyebab kehancurannya. Fakta baru ini akan mengharuskan sejarawan menulis ulang sejarah sesuai data yang lebih mutakhir.
Proses revisi sejarah bukanlah tanda bahwa sejarah “tidak valid,” melainkan menunjukkan bahwa ilmu sejarah selalu berkembang seiring dengan kemajuan penelitian, perkembangan teknologi, dan temuan-temuan baru. Fleksibilitas ini memungkinkan sejarah untuk lebih mendekati kebenaran, meskipun tetap terbuka terhadap interpretasi baru di kemudian hari. Sampai tak ada lagi yang menulis sejarah. Kiamat.
Biarkan Foto Bicara
Roode Brug Telusur “Titik Nol Soekarno” di Ploso Jombang