Memasuki area Benteng Kedung Cowek tentu melalui prosedur yang ada, seperti minta izin dengan serentetan pertanyaan tentang keperluan apa oleh petugas jaga, lantaran SWT membawa orang Asing. Kompleks Benteng Kedung Cowek seluas sekitar 71.876 meter persegi berada di Jalan Kedung Cowek, Kelurahan Kedung Cowek, Kecamatan Bulak, Kota Surabaya, dalam teritorial wilayah Kodim 0831/Surabaya Timur, Selasa (25/6/2024).
Ady Setyawan kepada tamunya, Dr. Robbie Peters, Dosen Senior Jurusan Antropologi di Sydney University; dan Graeme Steele, seorang pensiunan; mengatakan bahwa melalui jalan panjang Benteng Kedung Cowek mendapatkan penetapan sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB) oleh Pemerintah Kota Surabaya berdasarkan Surat Keputusan (SK) Wali Kota Surabaya Nomor: 188.45/261/ 36.1.2/2019 tanggal 31 Oktober 2019.
“Benteng yang dibangun pada tahun 1900 ini pernah menjadi objek riset, dan dibukukan oleh Roode Brug Soerabaia pada tahun 2015,” kata Ady Setyawan kepada Dr. Robbie Peters dan Graeme Steele saat sambil berkeliling dari satu bangunan benteng ke bangunan benteng yang lain.
Teriknya siang Surabaya dan biasnya Pantai Kenjeran tak menyurutkan keingintahuan Dr. Robbie Peters dan Graeme Steele tentang detil demi detil dari setiap bangunan Benteng Kedung Cowek. Selain Ady Setyawan, turut menemani tamu dari Australia yakni Sylvi Mutiara, Tama Ady Setyawan, dan saya. Menyusuri rerimbunan vegetasi kawasan benteng dan terpaan angin laut tak terasa telah berkeliling dari ujung Barat hingga ke ujung Timur.
“Belanda pernah membangun sejumlah benteng atau baterai pesisir sebagai sistem pertahanan di sepanjang pantai Surabaya. Benteng Kedung Cowek ini satu-satunya benteng buatan Belanda yang kini masih tersisa di Surabaya, sedangkan benteng-benteng Belanda yang lain sudah hancur,” jelas founder Roode Brug Soerabaia kepada tamunya sembari meneguk air mineral.
Nilai sejarah benteng ini sangat tinggi, bukan hanya sejarah nasional Indonesia. Ada empat bangsa yang terlibat dengan benteng Kedung Cowek. Belanda sebagai pembangun, pun Jepang sempat menduduki benteng ini. Bangsa Indonesia menggunakannya untuk berperang, dan Inggris sebagai pihak yang menyerbu, tambah Ady Setyawan kepada Dr. Robbie Peters dan Graeme Steele.
“Bahkan Inggris pun memasukkan ke dalam arsip mereka tentang pertempuran yang dahsyat di Benteng Kedung Cowek ini,” pungkas penulis buku Kesaksian dari Garis Depan.
Sementara panas terik saat matahari tepat di atas ubun-ubun, rasanya kian terus memanggang kawasan Benteng Kedung Cowek, pun memanggang kulit-kulit kami. Cuaca cerah yang mendominasi pada siang ini juga mengakibatkan suhu udara semakin meningkat, itu membuat suasana menjadi panas dan tidak nyaman. Keliling benteng dirasa cukup, dan jam di lengan tunjuk angka 11.50, kami bergegas kembali ke Pos Penjagaan.
Belajar dari Menunggu
Sebelum bertemu rombongan untuk keliling kawasan Benteng Kedung Cowek sekian lama saya menunggu. Ketika waktu yang ditentukan tiba, namun yang ditunggu belum datang, seperti orang-orang layaknya, saya pun mulai bertanya-tanya, dan khawatir apa yang terjadi, mungkin ada hal-hal yang membuat Ady Setyawan, founder Surabaya Walking Tour (SWT), sebagai bagian dari Roode Brug Soerabaia, terlambat datang beserta rombongan di tempat yang dijanjikan.
Untuk membunuh pikiran agar tak bertanya-tanya, sambil menunggu saya buka-buka gadget, iseng browsing barangkali ada news yang mengedukasi dan menarik untuk dibaca. Eh, teringat semalem unggah artikel di alisson.id tentang berjejaring pertemanan yang foto dan ringkasan artikelnya belum saya unggah di akun instagram, yang nge-link di facebook pula. Jadilah unggah itu.
“Macet pol, Pak. Sudah 30 menit kami terjebak kemacetan di traffic light perempatan Jalan Kenjeran,” ‘klunting’ bunyi dari whatsapp Bu Sylvi Mutiara mengabarkan, jam di handphone menunjukkan di angka 10.04.
Hitung-hitung sudah lebih dari 45 menit saya menunggu di warung seberang Pos Penjagaan Benteng Kedung Cowek sambil menikmati teh hangat yang super manis, lantaran 15 menit lebih awal yang dijanjikan saya sudah datang. Semula kami bertemu akan pada 09.30. Meski terlambat, hati pun jadi lega, maklum lalu lintas sedang padat. Rombongan baru datangpada pukul 10.25
Menuggu itu melatih kesabaran, ada pembelajaran yang bisa dipetik. Saat menunggu, kita bisa bijak memanfaatkan waktu untuk hal-hal positif. Mungkin googling dan membaca artikel mengedukasi, pasang headset mendengarkan musik, mengobrol dengan orang lain, atau melakukan aktivitas lain untuk mengalihkan perhatian, sehingga menyadari bahwa situasi kemacetan atau gangguan lain ketika di perjalanan ini di luar kendali kita.
Tangkapan Mata Lensa
Surabaya Walking Tour Antar Dosen Antropologi dari Sidney University ‘Blakrakan’
di Benteng Kedung Cowek Surabaya