Bayangan Dua Sosok Menari, bak Dua Sisi Koin Tak Pernah Bisa Dilihat Sekaligus

  • FIKSI
Bayangan Dua Sosok Menari bak Dua Sisi Koin, Tak Pernak Bisa Dilihat Sekaligus
Share this :

(Bersambung dari Cerpen: “Di Batas Keraguan, Ada Benih Yang Mulai Tumbuh”) #2

Gerimis di petang akhir bulan Oktober mulai turun, mengaburkan pandangan jalanan kota yang biasa dipenuhi lalu lalang kendaraan. Langit hitam pekat dengan sesekali kilatan petir menerangi petang yang mulai menghitam.

Di sudut kota, sebuah café kecil berdiri dengan jendela-jendela besar yang memberikan pemandangan hujan yang terus mengguyur. Lampu kuning keemasan dari dalam café menciptakan suasana hangat, kontras dengan dinginnya udara di luar.

Prasodjo (baca: Prasojo) duduk di meja dekat jendela, menatap kosong ke arah luar. Hujan menghantam kaca jendela seperti ribuan jarum kecil. Kopi hitam di cangkirnya telah lama dingin, namun ia belum hendak menyruputnya juga.

Sudah beberapa minggu terakhir ini Karina, teman lamanya saat duduk di bangku SMA, mulai kembali muncul dalam kehidupannya. Awalnya, Prasodjo tak terlalu memikirkan kemunculan Karina tiba-tiba itu, bahkan hanya menganggapnya sebagai reuni biasa.

Karina, gadis 29 tahun, rambut hitan terurai, postur semampai, penampilannya selalu rapi. Meski riasan wajah tipis namun elegan, memperlihatkan selera kelas atas. Ia sosok wanita percaya diri dan sukses. Berhasil memantapkan posisi karirnya sebagai salah satu manajer di perusahaan media.

Bermodal dengan kemampuan komunikasi yang luar biasa cerdas dan menarik, namun di balik kesuksesannya itu, ada kerapuhan yang tak pernah ia tunjukkan. Yakni, sebuah obsesi menarik hati yang tak pernah padam kepada Prasodjo, teman SMA, namun tak pernah ia dapatkan.

Karina pertama kali jatuh cinta pada Prasodjo di SMA yang sama, namun perasaannya tak pernah berbalas, hanya bertepuk sebelah tangan. Prasodjo, pria ramah dan selalu baik kepada siapa pun, tak pernah memberikan perhatian khusus kepada Karina. Ia menganggapnya sebagai teman biasa.

Ketika Karina mengetahui bahwa Prasodjo dekat dengan Gendhis, ia merasa seolah kesempatan yang selama ini ia tunggu akan menghilang selamanya. Gendhis bagi Karina bukan hanya ancaman, tetapi juga seseorang yang dianggapnya tidak sepadan dengan Prasodjo.

Karina melihat Gendhis sebagai perempuan sederhan, tak punya latar belakang atau karisma yang cukup untuk bersanding dengan Prasodjo. Dalam pikirannya, hanya dirinya yang pantas untuk Prasodjo, dan itu membuatnya bertekad untuk menyingkirkan Gendhis dari kehidupan Prasodjo.

Telah berjalan beberapa minggu belakangan, Karina mulai membawa cerita-cerita yang membuat Prasodjo gelisah. Cerita-cerita yang Karina hembuskan tentang Gendhis, wanita yang selama ini Prasodjo kagumi, membuat hati Prasodjo diliputi berbagai pertanyaan yang menyeruak.

*

Pintu café terbuka dengan suara lembut derit engsel, aroma gerimis yang segar segera menyusup masuk. Karina melangkah masuk, mengguncang payung hitam kecil yang dipakainya. Gaun hitamnya yang elegan menambah suasana petang yang muram. Dia tersenyum ketika melihat Prasodjo.

Sembari mendekat dengan langkah yang ringan, Karina menyapa, “Kamu datang tepat waktu, Jo.” ucap Karina sambil menggeser kursi lalu duduk di hadapan Prasodjo. Suaranya terdengar ramah, tetapi Prasodjo menangkap sedikit nada manipulatif di baliknya.

Prasodjo mengangguk pelan. “Iya, aku datang.” Karina meletakkan payungnya di samping kursi dan mulai melepas mantel tebalnya. “CafĂ© ini cozy ya, tenang banget. Aku senang kita bisa ngobrol di sini. Aku cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja, Jo.” ucapnya kemudian.

Prasodjo menatap Karina, mencoba memahami maksud tersembunyi di balik tatapan lembutnya, “Ya, baik-baik saja. Apa maksudmu?” Karina tersenyum tipis, memiringkan kepalanya sedikit. “Aku cuma khawatir soal Gendhis. Kamu tahu, di kantormu, orang-orang bicara tentang dia.”

Usai menyodorkan pesanan kepada pramusaji, Karina menegaskan, “Aku nggak tahu apa kamu sadar, tapi ia sepertinya nggak sebaik yang kamu kira, Jo!” Kata-kata itu membuat jantung Prasodjo berdegup lebih cepat. Sekilas, wajah Gendhis terlintas di benaknya.

Senyumnya yang selalu tulus, caranya bekerja dengan penuh dedikasi, semuanya terasa benar. Namun apa yang Karina katakan akhir-akhir ini mulai mengganggu pikiran Prasodjo. “Apakah Gendhis benar-benar menyembunyikan sesuatu?” pertanyaan itu membayang di benaknya.

Prasodjo menggeleng, mencoba menepis keraguannya, “Gendhis nggak mungkin seperti itu. Dia selalu terbuka dan jujur.” Karina menghela napas panjang, seolah merasa kasihan atas kebingungan yang mulai terlihat di mata Prasodjo.

Pesanan coffee latte datang, sambil menggeser cangkir, Karina meneruskan, “Jo, aku nggak bilang ini tanpa bukti. Aku dengar langsung dari beberapa orang di kantormu, tak perlu aku sebut nama. Mereka bilang, Gendhis hanya ingin memanfaatin kamu.”

Prasodjo terdiam mematung. Kepalanya menunduk, matanya menatap meja kayu di depannya seolah sedang mencari jawaban yang tak kunjung ia temukan, “Aku nggak tahu, mungkin saja cuma orang-orang iri, dan menghasut atas kedekatanku dengan Gendhis.”

Karina menyentuh tangan Prasodjo dengan lembut, “Jo, kamu tahu aku nggak mungkin bohong sama kamu, kan? Aku selalu ada buat kamu, bahkan sejak dulu. Aku cuma nggak mau kamu terluka lebih dalam.” membuat Prasodjo terkejut dan menatap Karina dengan tatapan dingin.

Suasana café yang tadinya terasa hangat kini berubah menjadi dingin. Suara gerimis di luar belum juga reda, suara gemerisik benturan halus piring dan gelas di dapur café terasa semakin samar. Prasodjo merasakan hatinya tenggelam dalam kebingungan yang makin dalam.

Karina selalu bersikap baik padanya, bahkan saat mereka bersekolah dulu. Namun, mengapa semua yang ia katakan terasa begitu meresahkan sekarang. “Kenapa kamu bilang ini padaku sekarang, Karina?” Prasodjo akhirnya bertanya, suaranya lebih pelan dari sebelumnya.

Karina menarik napas dalam, menyibakkan poninya yang menjuntai di dahinya, merangkai dan menyiapkan kata-kata yang sudah lama ingin ia ungkapkan. “Jo, aku sudah lama ingin mengatakan ini, tapi aku takut kamu bakal salah paham. Aku
, aku sayang sama kamu, Jo.”

“Ketika aku tahu kamu bersama Gendhis, aku nggak mau kamu dimanfaaatin, dan disakiti. Aku tahu, kamu pantas mendapatkan yang lebih baik, Jo.” Prasodjo menatap Karina dengan tatapan kosong. Kata-katanya terhenti di tenggorokan. Di satu sisi, dia terkejut dengan pengakuan Karina yang tiba-tiba.

Namun di sisi lain, pikiran Prasodjo masih terpaku pada bayangan Gendhis. Gadis itu selalu memberikan segala perhatian, termasuk kepercayaan yang tanpa syarat. Namun, kini Karina mencoba merusaknya dengan perlahan, menanamkan keraguan sedikit demi sedikit merayap.

Sambil menyecap kopinya, memenangkan pikirnya, “Aku
, nggak tahu harus bilang apa kepadamu? Sampai detik ini aku masih selalu menganggapmu sebagai teman baikku, Karina.” kata Prasodjo dengan suara serak. Karina tersenyum pahit, seolah sudah menduga jawaban itu.

“Aku tahu. Mungkin memang begitu selalu dalihmu. Tapi aku mohon, Jo. Pikirkan lagi tentang Gendhis. Aku nggak mau kamu terluka karena dia.” pinta Karina dengan suara mengiba. Prasodjo menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak hatinya, melepaskan tangan Karina dari tangannya.

Suara gerimis tak juga hendak berhenti, menciptakan harmoni dengan ketukan jarum jam di dinding di atas kusen, mendorong waktu yang seolah melambat di dalam café itu. Ketegangan merayap di antara mereka, seperti benang tipis yang hampir putus. Akhirnya, Karina bangkit dari kursinya.

Ia mengambil mantel dan payungnya tersandar di kursi, lalu menatap Prasodjo dengan tatapan lembut namun penuh kepura-puraan, “Aku nggak minta kamu percaya aku sekarang, Jo. Tapi aku harap kamu buka matamu. Kalau kamu butuh seseorang untuk berbagi, aku akan selalu ada.”

Di penghujung petang, samar-samar suara azan Isya’ berkumandang, Karina melangkah pergi. Suara derap langkahnya di lantai kayu cafĂ© memudar seiring ia menghilang dari balik pintu. Hanya gerimis yang masih setia menemani Prasodjo yang tetap diam mematung.

Prasodjo menghela napas panjang, menundukkan kepalanya di atas meja. Sebuah perang batin sedang berkecamuk dalam hatinya, “Apakah kata Karina benar, atau ia perempuan penebar finah? Ataukah Gendhis, sosok yang selama ini aku kagumi, ada niatan buruk di balik kelembutannya?”

*

Di luar, gerimis yang tadinya lembut menjelma menjadi hujan deras, menghantam genteng café. Setiap tetes seperti ribuan jarum dingin menusuk hingga ke dasar batin Prasodjo. Matanya kosong memandang jendela berkabut, memantulkan bayangan dua sosok yang terus menghantui pikirannya.

Gendhis, dengan senyumnya yang selalu hangat dan tulus, dan Karina, dengan tatapan penuh misteri dan kata-kata yang menyesakkan hatinya. Kedua bayangan itu tumpang tindih, kabur di balik kaca yang disaput air hujan, membuat pandangan Prasodjo semakin kabur.

Kilatan petir sesekali menerangi langit, seolah memberikan kilasan pada kekacauan yang berputar di dalam dirinya. Prasodjo menunduk, kedua tangannya mengepal di atas meja. Suara derasnya hujan mengiringi tarikan napasnya yang semakin dalam dan berat.

Ia berharap, setidaknya, hujan bisa mencuci bersih semua keraguan yang memenuhi hatinya. Tapi semakin deras hujan itu turun, semakin tebal pula kabut kebingungan di benak Prasodjo. Bayangan Gendhis dan Karina terus menari-nari di balik jendela, seperti dua sisi koin yang tak pernah bisa dilihat sekaligus.

Di satu sisi, ada benih mulai tumbuh bersama Gendhis, tapi di sisi lain, hadir Karina membawa berita yang pelan-pelan mulai menggerus keyakinannya. Kini, hujan tak hanya menghantam genteng dan jendela café, pun membuat hati Prasodjo mulai retak, tak tahu ke mana ia harus berpihak.

Featured image by: neuralwriter.com/id/image-generator-tool/

Disclaimer:
Cerita pendek (cerpen) ini hanya sebuah karya berdasarkan fiksi, jika ada nama tokoh, tempat, dan kejadian yang sama itu hanya kebetulan belaka.

Bersambung

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *