Langit malam di Dusun Kiringan, Desa Mojorejo, Kecamatan Ngraho, Kabupaten Bojonegoro, berselimutkan awan. Suasana terasa magis saat seperangkat gamelan mulai bertalu-talu, ditabuh dengan penuh perasaan oleh para wiyaga, atau penabuh gamelan. Denting bonang, gendèr, dan hentakan kendhang berpadu mengalir, menyusup ke ruang-ruang batin para penonton.
Pun suara para sinden yang serempak dan seirama, mengalun dalam cengkok khas yang membuai. Enam orang sinden yang duduk bersisian di panggung mengisi ruang dengan suara lembut nan merasuk, menandai malam sakral, malam Manganan. Yakni, saat seluruh warga merayakan rasa syukur, mengenang leluhur, dan menghidupkan kembali denyut tradisi yang diwariskan turun-temurun.
Dalam semarak bunyi dan suluk, Ki Dalang Alex Sabdo Utomo (55) tampil penuh kharisma di balik kelir putih yang disorot lampu. Dengan mantap, ia mengibaskan gunungan ke udara sebelum menancapkannya di batang pohon pisang, simbol dimulainya lakon pewayangan yang akan bergulir hingga fajar menjelang di pelataran Punden Gayam, Selasa Kliwon (17/7/2025) malam.
Punden Gayam: Ruang Sakral yang Hidup Kembali
Pelataran Punden Gayam, yang luasnya kira-kira seperempat lapangan sepak bola, malam itu penuh sesak. Pria, wanita, dan anak-anak dari berbagai penjuru dusun dan desa datang membawa harapan, kehangatan, dan kerinduan terhadap budaya mereka sendiri. Sebagian duduk bersila di atas tikar dan terpal yang digelar seadanya, lainnya berdiri berkerumun, tak ingin ketinggalan menyaksikan setiap gerakan dan kelebatan wayang di layar putih.
Beberapa pria tampak bersarung, atau menyampirkan sarung ke bahu sebagai penghangat, sebab udara malam di dusun pinggiran Bengawan Solo bisa terasa menusuk tulang. Anak-anak kecil berlarian sebentar, kemudian terpaku menonton wayang, sementara kaum ibu mengobrol pelan, sesekali terkekeh di antara dentingan saron.
Manganan bukan sekadar tontonan. Ini adalah ruang kolektif yang diwujudkan dalam bentuk berbagai kegiatan, yakni budaya, kenangan, dan nilai-nilai dilestarikan dalam harmoni yang jarang ditemui di tengah riuhnya zaman modern. Even Manganan ini diadakan setiap setahun sekali pada hari Selasa Kliwon, di bulan Muharram, dan atau jelang bulan Muharram.
Manganan: Tradisi, Syukur, dan Kearifan Lokal
Manganan bukanlah sekadar perayaan. Ia adalah jiwa dari tradisi Bersih Desa atau Nyadran, tradisi warisan nenek moyang yang masih teguh dipertahankan. Meski zaman telah berubah, dan modernitas telah menyusup ke segala lini, semangat untuk melestarikan Manganan tetap membara di hati masyarakat. Manganan menjadi momen spiritual dan sosial yang penting, tempat warga saling bertukar kabar, bekerja sama, dan mempererat jalinan kebersamaan.
Manganan adalah implementasi rasa syukur kepada Allah SWT atas keberkahan yang diterima sepanjang tahun. Acara ini juga menjadi bentuk penghormatan kepada leluhur dan tokoh penting dusun, yang diyakini turut memberi kontribusi terhadap keberadaan desa. Acara ini diawali dengan istighosah dan tahlil bersama, menyatukan nilai Islam dengan budaya lokal, sebagai penyeimbang antara langit dan bumi, antara manusia dan Sang Pencipta.
Rangkaian Agenda dan Gairah Sosial Ekonomi
Even Manganan bukan hanya tentang pagelaran wayang kulit. Ia adalah festival budaya mini yang meriah dan menyentuh semua lapisan masyarakat. Dimulai sehari sebelum hari H, suasana Dusun Kiringan telah ramai. Pedagang kaki lima mulai berdatangan, menjajakan mainan anak-anak, pernak-pernik tradisional, makanan khas desa, hingga jajanan kekinian.
Warga setempat pun ikut ambil bagian, membuka lapak-lapak sederhana. Ini adalah bukti bahwa budaya juga mampu menggerakkan roda ekonomi desa, menghidupkan gairah UKM, dan menciptakan kemandirian ekonomi berbasis tradisi. Kegiatan Manganan juga diramaikan dengan kirab gunungan hasil bumi, selamatan dengan tumpengan di area Punden Gayam, dan pertandingan sepak bola persahabatan antardesa.
Acara Manganan berlangsung siang dan malam. Uniknya, wayang kulit dimainkan dua sesi: dari siang hingga sore, lalu dilanjutkan dari malam hingga menjelang Subuh. Meski penonton bergantian istirahat, namun panggung tak pernah sepi. Gema cerita ‘Sri Mulih’ dan ‘Banjaran Gondomono’ seakan menghidupkan memori kolektif masyarakat tentang nilai kebajikan.
Menjaga Warisan, Merawat Identitas
Manganan di Punden Gayam bukan sekadar tradisi yang senantiasa diuri-uri atau dilestarikan sebagai simbol, melainkan semacam simpul budaya yang mengikat identitas kolektif. Ia adalah napas kehidupan, media pendidikan budaya, serta ruang spiritual yang meneguhkan identitas lokal masyarakat Jawa, khususnya warga Dusun Kiringan, pun Desa Mojorejo.
Di tengah zaman yang kian tergesa, bagi saya perayaan seperti ini layaknya jeda yang menenangkan. Sebuah momen untuk mengingat dari mana kita berasal, dan ke mana nilai-nilai luhur hendaknya dibawa. Gotong royong, penghormatan pada leluhur, keseimbangan spiritual, dan semangat ekonomi rakyat, semua menyatu dalam satu tarikan napas panjang bernama Manganan.
Di tengah laju cepat, derasnya arus modernisasi dan digitalisasi, pelestarian tradisi itu penting. Tak dipungkiri, di kota-kota banyak nilai kearifan tercerabut dari akar, namun di dusun-dusun, seperti Kiringan ini, tradisi Manganan justru menjadi jangkar, tempat orang kembali memahami makna hidup dalam kebersamaan dan keselarasan. Dusun Kiringan mengajarkan kita untuk sejenak berhenti dan mendengarkan denyut warisan leluhur yang tak lekang oleh zaman.
Maka, peran pemerintah daerah dan komunitas budaya untuk turut turun tangan mendukung keberlanjutan tradisi ini bukan hanya sebagai acara seremonial tahunan, melainkan sebagai bagian dari penguatan identitas lokal. “Kalau ingin desa-desa di Bojonegoro tetap kuat menghadapi perubahan zaman, maka warisan budaya seperti Manganan harus dijaga, ditumbuhkan, dan diwariskan dengan kebanggaan,” (Ali Muchson)
Sekilas tentang Lakon Pagelaran Wayang
Pagelaran wayang kulit acara Manganan digelar dalam dua sesi, yakni sesi siang dan sesi malam pada Selasa (17/7/2025. Sesi siang dengan lakon ‘Sri Mulih’ dimainkan oleh dalang Yoga Pringgo Laksono (21), mulai pukul 11.00–16.30. Sedangkan sesi malam oleh dalang Ki Alex Sabdo Utomo (55), ayah dari Yoga Pringgo Laksono, dengan memainkan lakon ‘Banjaran Gondomono’, mulai pukul 21.00–03.30, Rabu dini hari (18/7/2025).
Lakon ‘Sri Mulih’ Membangun Puri Kencono
Yoga Pringgo Laksono (21), dalang muda yang sekaligus saat ia masih kuliah di ISI Surakarta Semester IV, mengatakan bahwa pagelaran wayang yang dimainkan adalah dengan lakon ‘Sri Mulih’. Lakon tersebut dengan menyajikan tema ‘Membangun Puri Kencono’.
“Kisah ini, Bethari Sri atau Dewi Sri diculik oleh Prabu Wiro Tatsoko, namun sebenarnya ia tidak mau diperistri Prabu Wiro Tatsoko lantaran Dewi Sri tidak mencintainya. Demi mengelabui Prabu Wiro Tatsoko, Dewi Sri mengajukan syarat, yaitu sang Prabu Wiro Tatsoko harus bisa membangun candi dari bahan kayu ‘jati wulung’ dan ‘pasir malelo’, ujar Yoga usai pagelaran wayang.
Demi mendapatkan cinta dan memperistri Dewi Sri, lanjut Yoga, Prabu Wiro Tatsoko berjuang dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan kedua syarat tersebut. Apa yang ia perjuangkan tak membawa hasil, ternyata ‘jati wulung’ dan ‘pasir malelo’, sudah dikuasai dan telah didahului oleh para Pandawa. Saat perang merebutkan syarat itu, Prabu Wiro Tatsoko tewas di tangan Gatutkaca dan Hanoman.
Setelah Dewi Sri terlepas dari Prabu Wiro Tatsoko, ia ‘mulih’ atau balik kembali ke negara Amarta untuk membangun membangun Puri Kencono. Sedangkan peletakan batu pertama pembangunan candi dilakukan oleh Hanoman. Setelah pembangunan candi selesai, Dewi Sri akan ‘mapan‘ di candi itu, atau ‘bersanggrah’ di candi itu, pungkas anak lelaki dari dalang Ki Alex Sabdo Utomo.
Dalam makna lain, lakon wayang kulit ‘Sri Mulih’ mengisahkan tentang Dewi Sri yang merupakan personifikasi dari padi, pangan, dan kemakmuran. Lakon ini sering ditampilkan dalam pagelaran wayang kulit, terutama saat acara bersih desa di kawasan Mataraman. Dalam konteks bersih desa, lakon ‘Sri Mulih’ memiliki makna sebagai simbol pemulihan kesuburan dan kemakmuran akibat berbagai gangguan.
Lakon ‘Sri Mulih’ berlatar belakang dari kisah Mahabharata, sedangkan tokoh utamanya adalah Dewi Sri, yang diyakini sebagai Dewi Padi. Adapun kisahnya, berkisah tentang kembalinya Dewi Sri ke desa setelah lama pergi, yang diartikan sebagai datangnya kemakmuran dan kesuburan kembali ke desa tersebut, yang dilambangkan dengan ‘Membangun Puri Kencana’.
Lakon ‘Banjaran Gondomono’
Dalang Ki Alex Sabdo Utomo, mengisahkan lakon ‘Banjaran Gondomono’, yakni tentang biografi Prabu Gondomono. Ia adalah tokoh yang dikenal dengan jiwa ksatrianya, dan selalu menepati jiwa ksatrianya meski harus rela mati. Bahkan Prabu Gondomono rela tewas di tangan keponakannya sendiri, yaitu Brotoseno, dalam suatu sayembara.
Prabu Gondomono smerasa paling digdaya, tak ada yang bisa mengalahkannya di jagad raya ini. Sehingga ia sampai bersumpah, jika ada yang bisa mengalahkan dirinya akan ‘disuwitani’ atau akan mengabdi dan mematuhi hingga akhir hayat. Kebetulan Prabu Pandu Dewanata berniat mencari patih yang mumpuni. Kemudian dalam adu kadigdayaan, Pandu Dewanata bisa mengalahkan Gondomono.
Sesuai sumpah pangeran Gondomono, yang bisa mengalahkan akan disuwitani, atau mengabdi sekaligus berguru kepada Prabu Pandu Dewanata. Lantaran sikap ksatria yang mumpuni itu ia dijadikan sebagai seorang patih. Seiring berjalan waktu, jabatan sebagai seorang patih negara Astina diiri oleh keluarga istana, yaitu paman Haryo Suman, atau Sengkuni muda.
Haryo Suman menfitnah bahwa Raden Gondomono menjadi penyebab perang antara negara Pringgondani dengan negara Astina. Lantaran fitnah itu, akhirnya Raden Gondomono dihukum dengan dicopot sebagai patih, dan diusir oleh Prabu Pandu Dewanata dari negara Astina. Raden Gondomono balik ke kepatihan namun mendapati istrinya tewas.
Kematian istri Raden Gondomono disebabkan mau dirudopekso atau diperkosa oleh Haryo Suman. Istri Raden Gondomono menolak, dan berakhir dengan suduk diri demi mempertahankan kehormatannya sebagai seorang istri. Marahlah dan mencari siapa pelaku yang menyebabkan istrinya tewas, bertanyalah dia kepada Mbok Emban.
Kepada Raden Gondomono, Mbok Emban mengatakan bahwa yang terakhir bertamu ke kepatihan adalah Haryo Suman. Maka, dengan serta merta dicarilah Haryo Suman dengan membawa kemarahan yang memuncak. Setelah bertemu Haryo Suman, kemudian Gondomono menghajarnya hingga Haryo Suman cacat seumur hidup.
Sepeninggal Prabu Pandu Dewanata, dan menginjak dewasanya Pandawa Lima, bertemulah ia dalam sayembara merebutkan putri Pancolo, yaitu Dewi Drupadi dengan Raden Brotoseno, atau Werkudara muda. Ketika sebelum tanding kadigdayan, Gondomono menawarkan bahwa ia akan pura-pura kalah dengan keponakannya sendiri.
Gondomono gugur melawan Raden Brotoseno sewaktu ia membuat sayembara. Barang siapa bisa mengalahkannya, maka ia bisa menikahi keponakannya yaitu Dewi Drupadi. Brotoseno ikut sayembara, namun kalau menang Dewi Drupadi akan diberikan kakaknya, Raden Puntadewa. Sewaktu bertarung sebenarnya Raden Brotoseno dipiting tidak bisa gerak, ia menyebut nama Bapa Pandu Dewanata, ayahnya.
Ketika Raden Brotoseno menyebut nama Bapa Pandu Dewanata, Gondomono lengah dan mengendori pitingannya lantaran ingat nama Bapa Pandu adalah gurunya. Begitu kendor pitingannya Raden Brotoseno menancapkan kuku Pancanaka ke badan Gondomono dan gugurlah ia. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, ia mengucap bangga lantaran ia gugur oleh anak Pandu, dan menyerahkan ajian ‘Bandung Bondowoso’ kembali yang didapatkan dari gurunya kepada keturunannya, yaitu Raden Brotoseno.
“Dengan jiwa kesatrianya menjadikannya bangsa dan negara ini, negara Astina, menjadi negara yang baldatun thoyyibatun warabbun ghofur. Lakon ‘Banjaran Gondomono’ sebagai simbolis sebuah negara atau pemerintahan harus dipegang oleh orang yang amanah, yang diperolehnya dengan kejujuran dan tanpa rekayasa,” tutur ayah dari Yoga Pringgo Laksono, dalang muda.
Semoga pagelaran wayang dalam rangka ‘Manganan, tradisi Nyadran atau Bersih Desa’ di Dusun Kiringan, Desa Mojorejo, Kecamatan Ngaho, Kabupaten Bojonegoro, bisa bermanfaat bagi masyarakat setempat maupun masyarakat mancadesa, dan para pemerhati budaya tradisional wayang, pungkas dalang yang tinggal di Kendal, Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur.
Catatan
cengkok (Jw) : Cengkok merupakan istilah yang digunakan untuk menyebutkan bagian lagu yang identik dengan lenggak lenggoknya atau hiasan suara berdasarkan jenis lagunya. Beberapa genre musik yang menggunakan istilah cengkok yaitu keroncong, karawitan dan dangdut.
manganan (Jw) : Tradisi manganan adalah upacara selamatan di suatu petilasan atau punden, masyarakat setempat membawa ambeng atau tumpeng untuk dimakan bersam-sama dalam rangka bersyukur kepada Tuhan atas keberkahan penghidupan. Tradisi manganan diperingati dengan bersama-sama seluruh masyarakat, bersifat turun-temurun dari generasi ke generasi.
nguri-uri (Jw) : melestarikan
nyadran (Jw) : Salah satu tradisi budaya yang dilakukan oleh masyarakat Jawa sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur kepada leluhur. Tradisi ini biasanya dilakukan dalam bentuk upacara atau perayaan tahunan. Nyadran sering dirayakan menjelang bulan Suro dalam penanggalan Jawa. Disebut juga dengan istilah sedekah bumi, bersih desa, atau manganan.
punden (Jw) : tempat ditengarai sebagai tempat peristirahatan seorang tokoh dan atau terdapat makam orang yang dianggap sebagai cikal bakal masyarakat dusun atau desa setempat.
sinden (Jw) : Sebutan bagi wanita yang bernyanyi mengiringi orkestra gamelan, umumnya sebagai penyanyi satu-satunya. Sinden yang baik harus mempunyai kemampuan komunikasi yang luas dan keahlian vokal yang baik serta kemampuan untuk menyanyikan tembang atau lagu.
Biarkan Foto Bicara
“Manganan”: Harmoni Tradisi, Syukur, dan Gairah Sosial Budaya di Dusun Kiringan

























































Rebut Gunungan dan Selamatan







