Gendhis di Tengah Kabut Puncak Gunung Ijen

  • FIKSI
Gendhis di Tengah Kabut Puncak Gunung Ijen
Share this :

(Bersambung dari Cerpen: “Di Batas Keraguan, Ada Benih Yang Mulai Tumbuh”) #5

Petang mulai merambat turun di Pos Paltuding, camping ground Ijen berada di jalur Bondowoso – Banyuwangi, jalan mempertemukan dua kabupaten, juga sebagai batas dua wilayah tersebut. Angin berhembus menggoyang tenda. Langit berubah perlahan dari biru cerah menjadi jingga keemasan. Cahaya matahari yang tersisa terpantul di lereng-lereng sepanjang mata memandang.

Di area itu, tenda-tenda berjajar rapi. Dari luar, tenda-tenda tampak hanya kain-kain kuat yang menghalau angin malam. Di dalamnya, cahaya lembut emergency lamp mulai menyala, menerangi tenda dengan kehangatan temaram. Cahaya itu menari-nari lembut di permukaan tenda, menciptakan bayangan yang bergetar saat disapu angin, membuat suasana terasa semakin magis.

Gendhis duduk di luar tenda. Dingin menyusup kulitnya, membuat napas terhembus tampak samar bagai uap. Kencono, Santika, Bhagawati, Damar, dan Wisnu, karibnya yang suka traveling bersama, siap menikmati malam tak begitu pajang, dini hari semua harus sudah bangun. “Kamu kelihatan serius banget, Gendhis,” sapa Santika sambil duduk di sebelahnya. “Nggak sabar ya, buat mendaki?”

Gendhis tersenyum tipis, “Iya. Semoga mendaki nanti lancar.” jawaban sekenanya yang membuyarkan lamunanya pada bayangan Prasodjo, sosok yang Jumat petang di café sempat bersitegang dengannya gara-gara Karina. Bersama Prasodjo, ia pernah berkemah di Pantai Kondang Merak, pantai di Kabupaten Malang belahan selatan. Di benaknya, wisata pantai tak ia rasakan ada tantangan.

Wisnu sedang memeriksa peralatan, ikut nimbrung, “Lancar, sih, pasti. Tapi, yang belum pernah mendaki fisik dan semangat mesti kuat-kuat. Betul, Kencono?” Kencono, yang duduk agak jauh sambil merenggangkan kaki, hanya tersenyum, “Ya, ini pertama kalinya aku mendaki. Tapi aku yakin, dengan kalian semua, aku bakal baik-baik saja,” ucap semangatnya.

Santika menepuk bahu Kencono dengan ramah, “Tenang, kita semua di sini buat saling membantu.” Sementara Bhagawati, yang dijuliki sebagai ibu dapur, sibuk menyalakan kompor portabel, lalu mendidihkan air di nesting atau cooking set untuk membuat minuman skoteng, minuman penghangat di udara dingin, dan memasak mie instan buat teman-temannya.

Jelang malam, Purnomo, pemandu lokal, mengingatkan mereka untuk segera istirahat, setelah menjelaskan medan yang akan dihadapi, sembari memberikan instruksi dan aturan keamanan selama pendakian maupun menyiapkan bekal seperti air minum dan makanan. Termasuk tidak merusak tanaman, menulis sesuatu di pohon atau tebing bebatuan, berkata atau bebuat tak senonoh, dan membuang sampah sembarangan.

Gunung dan hutan acapkali dipandang sebagai tempat yang sakral, penuh misteri, dan kaya akan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun dari leluhur. Kepercayaan dan nilai-nilai ini mencerminkan hubungan mendalam antara manusia dan alam, serta cara manusia menghormati kekuatan alam yang tak terlihat namun diyakini sangat nyata adanya.

Misteri, kepercayaan, dan kearifan lokal di gunung dan hutan mengajarkan bahwa alam bukan hanya tempat fisik yang bisa dieksploitasi, tetapi juga memiliki nilai spiritual dan ekologi yang harus dihormati. Dengan memahami dan menghormati nilai-nilai ini, manusia dapat menjaga keseimbangan dan hubungan harmonis dengan alam, sekaligus melindungi kelestariannya untuk generasi mendatang.

Gendhis di Tengah Kabut Puncak Gunung Ijen
Photo by: neuralwriter.com/id/image-generator-tool/

*

Dini hari, Minggu pukul setengah dua pagi, rombongan Gendhis memulai pendakian. Angin semakin dingin, dan jalur pendakian yang gelap hanya diterangi oleh head lamp di kepala mereka masing-masing. Gendhis berjalan di belakang, menyemakati karibnya. Di depannya, Santika dan yang lainnya, sementara Purnomo, pemandu lokal, memimpin di depan kelompok.

“Udara menusuk kulit, dingin sekali,” keluh Kencono, sambil memegangi jaketnya lebih erat-erat. “Dingin, tapi segar. Nikmati saja,” kata Santika dengan senyuman, meski napasnya mulai terasa berat. Sekitar satu jam perjalanan, mereka mulai merasakan tantangan pendakian yang sesungguhnya. Jalur yang dipijak kaki mereka semakin menanjak dan udara makin tipis.

Kencono, yang sejak awal terlihat paling lemah, mulai ketinggalan di belakang. Napasnya semakin terengah-engah, “Kita istirahat sebentar, Mas Purnomo,” pinta Kencono. Purnomo melirik ke arah Kencono dan mengangguk. Mereka berhenti di pos kecil di dekat tikungan. Kencono duduk di atas batu dengan wajah pucat. “Masih jauh nggak?” tanya Kencono dengan suara serak.

Purnomo tersenyum sabar. “Sudah dekat, tenang. Sebentar lagi kita lanjut.” Tapi kenyataannya, perjalanan masih panjang. Jalur berikutnya lebih menanjak dan berbatu. Semakin tinggi mereka mendaki, semakin banyak masalah yang muncul. Damar mulai terlihat lemah. Dia berjalan dengan langkah tertatih-tatih, napasnya tersengal pendek-pendek.

Santika yang berada di sampingnya merasa cemas. “Dam, kamu kenapa? Mukamu pucat banget.”
Damar terhenti, meremas sisi perutnya sambil bersandar di pohon. “Sebenarnya aku belum sembuh total dari typhus. Sorry, aku gak bilang sebelumnya. Tapi aku nggak mau ketinggalan perjalanan ini.” Santika memanggil Purnomo dengan cemas. “Dia nggak bisa lanjut kalau seperti ini, Mas!”

Damar menggeleng tegas. “Aku bisa. Cuma butuh istirahat sebentar.” Purnomo mendekati Damar, memeriksa keadaannya. “Kamu harus minum dan istirahat dulu, Dam. Kalau kamu paksakan, bahaya.” Gendhis merasa dilema. Ia tahu Damar keras kepala, tapi di sisi lain, keselamatan mereka semua harus menjadi prioritas. “Dam, kalau kamu sakit, lebih baik kita berhenti di sini.”

“Aku nggak mau merusak acara kalian,” kata Damar dengan suara serak. “Ini bukan soal merusak, tapi ini soal keselamatan kita semua,” jawab Santika tegas. Namun, pada akhirnya, mereka sepakat untuk berjalan pelan, menyesuaikan dengan kondisi Damar. Masalah lain muncul tak lama berselang di tengah jalur menanjak yang penuh kerikil dan bebatuan.

Bhagawati tiba-tiba terantuk batu, tergelincir dan jatuh. Kakinya terantuk batu besar, membuatnya meringis kesakitan. Ia memegangi lutut kakinya yang mulai berdarah. “Aduh, kakiku!” Bhagawati menjerit. Gendhis segera berlari menghampirinya. “Apa yang terjadi?” Bhagawati menahan air mata, memegangi lututnya berdarah, “Aku jatuh, kakiku sakit sekali.”

Wisnu yang berada di belakang segera membantu memapah Bhagawati ke tepi jalur di antara sesak para pendaki yang sedang berjalan. Purnomo mendekat, memeriksa kaki Bhagawati. “Ini luka terbuka.” Lalu ia mengopres, memberi obat luka, lalu membalutnya dengan kain perban. Kita harus berhenti, jika ia nggak bisa jalan, bagaimana kita bisa melanjutkan?” Santika tampak cemas.

Gendhis menghela napas panjang, menyadari situasi semakin sulit. “Kita nggak bisa ninggalin Bhagawati di sini. Tapi kita juga nggak bisa lanjut kalau Damar nggak kuat,” Gendhis panik. Purnomo berdiri, menatap rombongan yang tampak lelah, “Keputusan ada di tangan kalian. Jika terus, mungkin bisa sampai puncak sebelum matahari terbit. Tapi jika kalian berhenti, harus siap dengan konsekuensinya. Gagal mendaki,” ucap lirihnya agar tak semakin membuat kepanikan.

Kencono, yang sudah sejak tadi terlihat kelelahan, menatap Gendhis dengan ragu. “Gendhis, bagaimana kalau kita kembali saja?” Gendhis tak menjawab, menatap jauh ke puncak yang belum tampak bayangannya. Memikirkan perjuangan mereka sejauh ini, memelahkan. Kebimbangan merayap di pikirannya. Pikiran Gendhis tiba-tiba melayang pada senyum teduh Prasodjo.

Bagaimana jika Prasodjo yang mendaki bersamanya? Apa yang akan dilakukan Prasodjo dalam situasi ini? Dia tahu Prasodjo selalu bisa membuat keputusan yang tepat, bukan hanya untuknya, tapi juga semua rekan kerja. Ia teringat bagaimana Prasodjo selalu membantunya ketika ia menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas yang mesti segera diselesaikan.

Bayangan Prasodjo membuat dadanya sesak. “Kalau saja Prasodjo di sini, ikut, mungkin ia akan membangunkan semangatku, bahkan jadi leader rombongan mendaki penuh tanggung jawab,” lamunan Gendhis. “Bagaimana kalau kita kembali saja, Gendhis?” pertanyaan ulang Kencono, membuatnya buru-buru menepis lamunan itu, mencoba fokus pada kenyataan yang sedang dihadapi.

“Dengar!,” Gendhis akhirnya berkata tegas, “Kita sudah sejauh ini. Aku tahu ini berat, tapi kita bisa melakukannya. Bhagawati, kamu harus tahan sedikit lagi. Kami akan membantu memapahmu.” Bhagawati mengangguk dengan air mata berlinang. “Aku bisa. Asal kalian mau menunggu sebentar.” Jawab Bhagawati sambil mengusap air mata mengalir di pipinya.

Wisnu dan Gendhis mulai memapah Bhagawati, sementara Santika mencoba menyemangati Kencono yang masih berjuang melawan kelelahan. Purnomo, dengan nada tenang namun tetap penuh optimis berkata, “Yuk, semangat. Sudah dekat, sebentar lagi sampai, Kencono.” Perjalanan terasa semakin lambat dan berat. Kabut mulai turun, menyelimuti jalur yang menyimpan misteri.

Udara semakin dingin, dan cahaya head lamp mereka menembus kegelapan yang seolah tak berujung. Setiap langkah terasa lebih berat dari yang sebelumnya. Kencono kembali bertanya dengan suara parau, “Kapan kita sampai?” Perjalanan masih butuh makan waktu beberapa lama, sebelum kabut mulai menipis, dan warna langit berubah menjadi jingga lembut di ujung timur.

Gendhis di Tengah Kabut Puncak Gunung Ijen
Photo by: neuralwriter.com/id/image-generator-tool/

*

Puncak Gunung Ijen mulai disinari cahaya fajar, suasana berubah perlahan. Udara dingin menusuk tulang para pendaki yang masih kelelahan, namun ada perasaan lega membuncah. Awalnya, langit di timur menampakkan sedikit semburat merah muda di balik kabut tipis. Perlahan, warna-warna oranye dan ungu mulai menyebar, mengusir sisa-sisa gelap malam.

Kabut tebal menyelimuti bibir kawah mulai menghilang, air biru kehijauan diam di dasar yang dalam, tampak makin jelas. Asap belerang tipis mengepul dari kawah, terbang ke langit menambah aura mistis panorama pagi. Bau belerang tajam menyengat terbang dibawa angin, mengiringi penambang belerang menapi tejal dinding kawah, pundaknya memikul 40 kg belerang.

Saat sinar matahari menembus cakrawala, cahaya lembut menusuk kabut, menciptakan cahaya emas melingkupi puncak Ijen. Perlahan, warna oranye semakin kuat, mewarnai seluruh langit puncak, di atas kepala para pendaki yang terpana. Awan-awan yang bergulung di kejauhan kini terlihat bagai lautan kapas, terbentang luas sejauh mata memandang.

Angin dingin yang menusuk tulang kini terasa lebih lembut, membawa bisikan alam yang penuh kedamaian. Di sekitar mereka, bayangan pepohonan di lereng gunung menjadi lebih jelas, siluetnya tampak hitam pekat di bawah cahaya pagi yang baru terbit. Lereng gunung yang curam dan bebatuan diterpa sinar matahari, menciptakan pemandangan yang sangat memukau.

Momen ini adalah perpaduan antara kekuatan dan ketenangan alam. Suara napas berat dari para pendaki, gemerisik kerikil di bawah kaki, dan sapuan pelan asap belerang berpadu dengan keheningan pagi. Tidak ada satu pun yang berbicara, seolah-olah alam memerintahkan mereka untuk diam, memberi ruang bagi pemandangan ini untuk berbicara dengan caranya sendiri.

Matahari sepenuhnya terbit, menghangatkan kulit yang sebelumnya kisut karena dingin, membawa sinar harapan setelah perjuangan panjang di bawah gigil dan gelapnya malam. Para pendaki, termasuk Gendhis, hanya bisa berdiri diam, terpaku oleh keindahan yang menggetarkan jiwa. Sebuah pengingat bahwa keberhasilan terbesar acapkali hanya bisa diraih setelah melewati tantangan terberat.

Pemandangan luar biasa terbentang di depan mata, mereka telah sampai di puncak Ijen. Cahaya matahari terbit yang memancar di ufuk timur menyinari Kawah Ijen yang kebiruhijauan indah, menciptakan pemandangan sunrise yang hanya bisa dinikmati dalam hitungan menit. Gendhis terdiam, merasa takjub. Semua kesulitan yang ia hadapi lenyap begitu saja di hadapan pemandangan di depannya.

*

“Ini bukan tentang menaklukkan gunung,” guman Gendhis lirih, “Tapi tentang menaklukkan diri kita sendiri.” lanjutnya. Bhagawati, yang duduk sambil menahan berat nafasnya, menatap keindahan di depannya dengan tatapan haru. “Kamu benar, Gendhis. Semua perjuangan ini sepadan dengan yang kita nikmati saat ini,” ucapnya saat samar-samar mendengar guman Gendhis.

Kencono menghela napas panjang, memandangi panorama indah itu dengan mata berbinar, “Aku nggak percaya aku bisa sampai sini. Ini luar biasa!” Pun Damar tersenyum meski menahan lelah, namun ia puas, “Aku pikir aku nggak akan sanggup. Tapi kita semua sampai di sini.” Sementara Santika menatap Gendhis, “Kamu benar-benar pemimpin yang hebat, Gendhis.”

Gendhis tak menghiraukan Bhagawati dan Santika. Samar-samar bayangan Prasodjo menghampiri di sampingnya. Bersama Prasodjo, ia bakal bisa menikmati keindahan puncak Ijen di pagi ini. “Andai Prasodjo ada di sini, akan jadi catatan indah mengukir kenangan manis bersamanya,” lamunannya. Purnomo mendekat sambil menepuk bahu Gendhis, yang membuatnya tergagap.

“Kalian semua luar biasa. Ini adalah pendakian penuh perjuangan, tapi kalian berhasil. Gunung mengajarkan kita tentang ketahanan dan kerja sama,” ucap Purnomo bangga. “Pendakian ini telah menguji batas fisik dan mental kalian. Pada akhirnya, mengajarkan akan pentingnya sabar, toleransi, empati, saling mendukung, dan membuat keputusan tepat walau dalam situasi panik,” lanjutnya.

Gendhis, Kencono, Santika, Bhagawati, Damar, dan Wisnu tersenyum kegirangan, pertanda mengiyakan kalimat Purnomo. Meski langkah lebih lambat, kaki mulai terasa berat saat mendaki, mereka akan turun membawa hikmah yang jauh lebih berharga dari sekadar petualangan. Kegirangan yang tanpa sempat berpikir bagaimana saat turun nanti, kaki menanggung beban berat tubuh masing-masing.

Featured image by:
neuralwriter.com/id/image-generator-tool/

Disclaimer:
Cerita pendek (cerpen) ini hanya sebuah karya berdasarkan fiksi, jika ada nama tokoh, tempat, dan kejadian yang sama itu hanya kebetulan belaka.

Bersambung

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *