Pamit di Ujung Jalan Dharmahusada

  • FIKSI
Pamit di Ujung Jalan Dharmahusada
Share this :

Surabaya, 30 April. Matahari di langit sore masih menyisakan cahaya hangat di kawasan Dharmahusada, cukup untuk membakar aspal yang mulai merekah. Udara lengket, dan debu beterbangan setiap kali angin menyelinap di sela pohon kamboja. Di rumah berpagar besi hitam milik Bu Sylvi, tempat kami biasa berkumpul sebagai komunitas pelestari sejarah Surabaya, sore itu terasa berbeda.

“Eh, Ami, jangan-jangan kamu bawa koper isi skrip kegiatan komunitas kita, ya? Siapa tahu di Jakarta kamu buka cabang: Komunitas Roode Brug Soerabaia, Cabang Jabodetabek!” canda Mas Wahyu, mengangkat alis jenaka. Mas Wahyu menyusul di rumah Bu Sylvi setalh kami bertiga balik dari acara di luar.

Ami tergelak, pipinya memerah. “Ya ampun, Mas! Enggak segitunya kali. Tapi, siapa tahu, ya?”

Tawa kami meledak. Hari itu memang spesial. Sehari sebelum keberangkatannya ke Jakarta, kami menratir Ami makan Bakwan Pak Nur di Jalan Srikana, favoritnya. Lalu bergeser di Zangrandi, menikmati es krim klasik yang tak lekang oleh waktu.

Ami di jalan di depan pagar, naik di motor matic merahnya. Tas biru terselempang di pundaknya, helm tergantung di kaca spion, dan keringat membasahi pelipisnya. Tapi senyumnya tetap sama: hangat, tulus, meski menyimpan agak gugup.

Aku berdiri di dekatnya, bersandar pintu pagar besi yang terasa hangat. “Kamu senang?”
Ami menatap kami bertiga. Lalu mengangguk kecil.

“Senang…, tapi aneh juga rasanya. Ninggalin rumah, teman, sahabat, dan komunitas ini. Semuanya,” jawabnya.

Tatapannya mengembara ke halaman rumah Bu Sylvi, ke kursi di sudut teras, ke pintu ruang tamu yang terbuka lebar, membiarkan cahaya menembus dan memanjangkan bayangan benda-benda di dalam.

“Ini impianmu, Ami,” kataku pelan.

“Iya.” Ia menjawab cepat, seperti sedang meyakinkan dirinya sendiri. “Sejak kuliah, aku pengin jadi ASN. Dan, alhamdulillah, aku lolos. Tapi bukan di sini, di Jakarta!”

Aku mengangguk. Tapi tak tahu apakah itu tanda senang, atau cara menutupi rasa akan kehilangan yang tiba-tiba tumbuh.

“Berangkatnya besok?”

“Besok sore. Naik bus jam enam. Doain, ya.”

Angin datang pelan, menyibak helaian rambutnya. Sebutir daun kering jatuh dari pohon tetangga, melayang perlahan, dan mendarat di dekat sepatunya.

Ami baru 26 tahun. Tapi selama hampir empat tahun terakhir, kehadirannya di komunitas seperti pelita kecil di tengah malam. Ia yang paling rajin mencatat rapat, paling cerewet soal tenggat kegiatan, paling semangat saat harus blusukan ke tempat-tempat tua yang nyaris dilupakan sejarah.

Buatku, dia bukan sekadar teman. Sahabat? Jelas. Pacar? Ah, tidak. Umurku berlipat-lipat di atasnya. Tapi ada sesuatu yang lebih dalam dari itu, naluri protektif seperti pada seorang anak, seperti seorang ayah kepada putrinya. Pun seperti seorang ibu kepada putrinya, atau seorang kakak kepada adik perempuannya. Ini sebagian nafas komunikasi di komunitas.

“Aku bakal kangen Njenengan,” katanya pelan. Di hadapan kami: Bu Sylvi, Mas Wahyu, dan aku. Matanya tak menatap, tapi tawanya tetap terdengar ringan.

“Aku bakal lama nggak dengerin cerita Bu Sylvi soal masa muda, cerita traveling yang nekat, cerita blusukan yang horor dan bikin deg-degan. Kangen semuanya,” lanjutnya.

Tak ada yang langsung menanggapi. Hanya tawa kecil. Lalu diam. Yang terdengar hanya suara motor lewat dan desau angin menyapu Jalan Dharmahusada.

Ami tertawa, mengacungkan jempol. “Siap, Komandan!” katanya, mengulang candaan yang biasa kami lontarkan saat rapat komunitas.

Ia lalu menurunkan helm dari kaca spion, memakainya pelan. Tangannya menyentuh kaca helm seolah memastikan semuanya benar.

“Semoga komunitas ini tetap kompak, ya. Komunitas ini udah kayak rumah…, tempat kita berbagi cerita dan jaga sejarah Surabaya,” ucapnya, menatap kami satu per satu.

Aku mendekat, “Kamu juga jaga diri di sana. Kalau bisa, bikin komunitas sejarah di Jakarta. Biar Surabaya punya saudara di ibu kota,” kataku, mencoba menggoda.

Ami mengangguk. Tangannya memutar kunci motor. Suara mesin menyala pelan. Lalu handle gas ditarik, dan motornya melaju perlahan, keluar dari depan rumah.

Langit tetap cerah. Matahari masih bergeser merendah, rasa hangatnya masih terasa. Tapi kami tetap berdiri di sana. Menatap punggung Ami yang makin menjauh. Makin kecil. Lalu menghilang di tikungan Jalan Dharmahusada.

Dan di ujung Jalan Dharmahusada itu, bukan hanya Ami yang berpamitan. Tapi juga sebagian dari kenangan kami yang ikut pergi bersamanya. Dan rumah Bu Sylvi, serta komunitas kami, bakal tak lagi terasa sama.

Note:
Featured image by ChatGPT-OpenAI

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *