Film Conclave: Memilih Pemimpin Apa Pun, Hadir Intrik, Konspirasi dan Politik Menyertai. Kepentingan Selalu Jadi Biangnya

Film Conclave: Memilih Pemimpin Apa Pun, Hadir Intrik, Konspirasi dan Politik Menyertai. Kepentingan Selalu Jadi Biangnya
Share this :

“Film bagus. Ini nonton untuk yang kedua kalinya,” sebuah unggahan komentar tentang film Conclave di akun Facebook Sylvi Mutiara, Minggu (2/3/2025 – 4:19 PM).

“Tak lepas dari unsur manusiawi, diurusan memilih pemimpin, tak pandang memilih agama apa pun, pemimpin sebuah negara, maupun pemimpin di bidang lain, hadir intrik, konspirasi dan politik menyertai. Kepentingan selalu jadi biangnya. Salah satunya digambarkan dalam film Conclave,” ujar Alam C. Mukti usai menonton film tersebut, Rabu (5/3/2025) sore.

Kisah Conclave yang dibuka dengan cerita kematian misterius Paus yang menjadi gerbang sekaligus alasan utama mengapa kemudian penonton teralihkan dan mau mengikuti investigasi Kardinal Lawrence. Film Conclave, mungkin sedikit dari film nominasi Best Picture Oscar 2025 yang meninggalkan kesan ‘ketagihan’ bagi penonton untuk kembali menontonnya.

Tentu ada sejumlah alasan bagi penonton seperti Sylvi Mutiara atau Alam C. Mukti, mengapa film yang tahap awal-awalnya terasa sangat membosankan ini, kemudian justru menjadikan tontonan yang dapat mengubah posisi duduk mereka menjadi sangat serius, dan hanyut dalam aliran alur ceritanya.

Itu, barangkali nuansa visual film Conclave yang didukung secara apik oleh plot cerita yang penuh dengan teka-teki dan kejutan dramatis, yang membuat penonton terus berpikir dan bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Unsur misteri yang kuat dalam cerita menambah daya tarik film, sehingga menancapkan pantat penonton tetap di kursi dan terlibat hingga akhir film.

Film Conclave: Memilih Pemimpin Apa Pun, Hadir Intrik, Konspirasi dan Politik Menyertai. Kepentingan Selalu Jadi Biangnya
Poster Film Conclave

Sebagai sudut pandang pribadi, yang passion saya di bidang fotografi, setelah menonton film tersebut, secara kualitas sinematografi sangat bagus. Film ini memiliki kualitas visual yang tinggi dengan berbagai elemen sinematografi yang dirancang dengan detail, seperti angle atau pemilihan sudut kamera yang tepat memberikan efek dramatis. Misalnya, penggunaan close-up untuk menangkap ekspresi tokoh atau wide shot untuk menunjukkan skala ruang dan kemegahan latar.

Pun secara komposisi, yakni tata letak setiap elemen dalam setiap frame diatur secara estetis dan memiliki keseimbangan visual yang menarik, menciptakan tampilan yang memanjakan mata penonton. Di samping lighting atau teknik pencahayaan digunakan secara efektif sehingga menciptakan suasana tertentu sesuai karakter setiap suasana.

Misalnya, efek bayangan tajam untuk menambah kesan misteri atau pencahayaan lembut untuk adegan yang lebih emosional. Didukung pula unsur fotografi lainnya, seperti mencakup warna, tekstur, kedalaman bidang (depth of field), dan pergerakan kamera yang semakin memperkuat atmosfer film. Tentu ini tak lepas pula dari editing yang piawai pasca pengambilan gambar bergerak.

Tak hanya itu, film Conclave didukung oleh desain produksi yang mewah. Selain sinematografi yang apik, elemen produksi juga berperan besar dalam memperkuat visual film. View gedung megah dan penggunaan lokasi dengan bangunan besar dan megah memberikan kesan eksklusif, misterius, dan elegan, sehingga sesuai dengan tema cerita.

Nah, tak luput pula kostum pemain yang kontras berkesankan mewah dengan pemilihan warna, bahan, dan desain kostum mencolok tak hanya membuat karakter lebih berkelas, pun membantu membangun suasana penuh intrik dan misteri. Ini menegaskan, Conclave tak sekadar menyajikan cerita menarik, juga didukung sinematografi berkualitas dan desain produksi yang berkesan mewah serta megah.

Film Conclave: Memilih Pemimpin Apa Pun, Hadir Intrik, Konspirasi dan Politik Menyertai. Kepentingan Selalu Jadi Biangnya
Foto oleh Sylvi Mutiara

Sinopsis Colclave

Setelah Paus meninggal dunia, Kolese Kardinal, di bawah kepemimpinan Dekan Kolese Kardinal, Thomas Lawrence dari Britania Raya, mengadakan konklaf untuk memilih penggantinya. Empat kandidat utama Paus adalah Aldo Bellini dari Amerika Serikat, seorang progresif; Joshua Adeyemi dari Nigeria, seorang konservatif sosial; Joseph Tremblay dari Kanada, seorang moderat; dan Goffredo Tedesco dari Italia, seorang tradisionalis yang gigih.

Janusz Woźniak, pengawas rumah tangga kepausan, mengklaim bahwa mendiang paus menuntut pengunduran diri Tremblay pada malam kematiannya, yang dibantah oleh Tremblay, sementara Bellini mengatakan kepada para pendukungnya bahwa tujuannya adalah untuk mencegah Tedesco menjadi paus, sebagaimana dikutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Conclave_(film).

Sementara itu, Lawrence dikejutkan oleh kedatangan menit-menit terakhir Uskup Agung Kabul Vincent Benitez, yang diangkat oleh mendiang paus sebagai kardinal in pectore pada tahun sebelumnya. Pada hari pertama, Lawrence memberikan homili, memberi masukan kepada kolese untuk menerima ketidakpastian, yang ditafsirkan oleh beberapa orang sebagai pernyataan ambisi kepausannya.

Setelah pemungutan suara pertama, tidak ada calon yang mendapatkan mayoritas dua pertiga suara yang dibutuhkan, meskipun Adeyemi memiliki sedikit keunggulan dan Bellini dan Lawrence memecah suara pihak liberal. Monsinyur Raymond O’Malley, asisten Lawrence, menemukan bahwa mendiang paus membayarkan tiket pesawat dengan tujuan ke Jenewa milik Benitez untuk perjanjian medis yang dibatalkan.

Pada hari kedua, saat istirahat makan siang, kolese menyaksikan konfrontasi antara Adeyemi dan Suster Shanumi, seorang biarawati yang baru saja dipindahkan dari Nigeria ke Vatikan. Lawrence berbicara secara pribadi dengan Shanumi, yang mengakui hubungan terlarang dengan seorang pria yang menyebabkan kelahiran seorang putra.

Meskipun Lawrence terikat pada kewajiban kerahasiaan, sebuah kampanye kotor menggunakan rumor menggagalkan pencalonan Adeyemi. Bellini dengan enggan memutuskan untuk mendukung Tremblay. Bekerja sama dengan Suster Agnes, biarawati yang mengawasi akomodasi para kardinal, Lawrence menemukan bahwa Tremblaylah yang mengatur pemindahan Shanumi.

Ketika dikonfrontasi, Tremblay mengklaim bahwa dia melakukannya atas permintaan mendiang paus. Lawrence kemudian masuk secara paksa ke kediaman mendiang paus dan menemukan dokumen-dokumen yang mengindikasikan bahwa Tremblay melakukan simoni dengan menawarkan suap uang cash kepada delapan kardinal.

Dia menunjukkan dokumen-dokumen tersebut kepada Bellini, yang memohon agar dokumen-dokumen tersebut tidak diungkapkan keberadaannya sehingga memicu perdebatan. Pada hari ketiga, setelah mengungkap tindakan Tremblay, Lawrence berdamai dengan Bellini dan setuju untuk bersama-sama melawan Tedesco.

Dia memberikan suara untuk dirinya sendiri pada pemungutan suara keenam, yang diinterupsi oleh sebuah ledakan yang menjatuhkannya ke lantai dan merusak Kapel Sistina. Pihak kolese kemudian mengetahui bahwa ledakan tersebut disebabkan oleh seorang pembom bunuh diri.
Tedesco menyerukan perang agama melawan Islam, sedangkan Benitez mennyatakan kepercayaannya bahwa kekerasan tidak boleh dibalas dengan kekerasan.

Kolese secara mayoritas memilih Benitez dalam pemungutan suara ketujuh, dan ia memilih nama kepausan “Inosensius”. Lawrence awalnya sangat gembira sampai O’Malley menariknya ke samping untuk mendiskusikan perjanjian medis Benitez yang dibatalkan. Dia mengonfrontasi Benitez, yang mengungkapkan bahwa dia dilahirkan dengan rahim dan indung telur tetapi tidak menyadari keberadaan mereka sampai ia menjalani operasi usus buntu baru-baru ini.

Perjanjian medis yang dibatalkan tersebut adalah untuk tindakan histerektomi laparoskopi dan Benitez putuskan untuk tidak melakukannya karena dia percaya bahwa “[dia] adalah apa yang Tuhan ciptakan.” Lawrence berjalan-jalan kecil di halaman Vatikan, mendengarkan kerumunan orang bersorak-sorai atas terpilihnya Inosensius, sebelum kembali ke kamar tidurnya, membuka jendela, dan melihat tiga orang biarawati di bawahnya.

*

Penggambaran film Conclave karya Edward Berger dalam keseluruhan cerita memang seperti diangkat dari kisah nyata. Apalagi latar cerita sesuai dengan tradisi konklaf kepausan. Terutama terkait ritual kuno nan sakral yang diterapkan dalam pemilihan Paus. Meski demikian, film Conclave sebenarnya tidak terinspirasi dari kejadian nyata.

Sebaliknya, film ini diadaptasi dari novel dengan judul Conclave karangan Robert Harris. Novel ini mendulang kesuksesan di pasaran sejak dirilis pada 2016. Penonton dapat melihat banyak unsur fiksi dalam film Conclave. Sebagai contoh, film ini memperkenalkan skandal dan rahasia tersembunyi di tubuh Gereja Katolik. Artinya, latar yang ditawarkan realitis, tetapi alur ceritanya murni fiksi dan drama.

Film Conclave: Memilih Pemimpin Apa Pun, Hadir Intrik, Konspirasi dan Politik Menyertai. Kepentingan Selalu Jadi Biangnya
Alam C. Mukti lagi menatap poster film Conclave

Pemeran

Ralph Fiennes sebagai Kardinal Thomas Lawrence, seorang liberal Inggris dan Kepala Dewan Kardinal.
Stanley Tucci sebagai Kardinal Aldo Bellini, seorang liberal Amerika. John Lithgow sebagai Kardinal Joseph Tremblay, seorang moderat Kanada.
Lucian Msamati sebagai Kardinal Joshua Adeyemi, seorang kandidat Nigeria yang populer dengan pandangan sosial yang konservatif.
Brían F. O’Byrne sebagai Monsignor Raymond O’Malley, asisten Lawrence dan peneliti oposisi.
Carlos Diehz sebagai Kardinal Vincent Benitez, seorang uskup agung Meksiko yang kurang dikenal yang betugas di Afghanistan.
Merab Ninidze sebagai Kardinal Sabbadin.
Thomas Loibl sebagai Uskup Agung Mandorff.
Sergio Castellitto sebagai Kardinal Goffredo Tedesco, seorang tradisionalis dari Italia.
Isabella Rossellini sebagai Suster Agnes, kepala katering dan pengurus rumah tangga para kardinal.
Jacek Koman sebagai Uskup Agung Janusz Woźniak, Pengawas Rumah Tangga Kepausan dan orang kepercayaan mendiang paus.
Loris Loddi sebagai Kardinal Villanueva.
Roberto Citran sebagai Kardinal Lombardi.
Balkissa Maiga sebagai Suster Shanumi.

Catatan

Conclave atau konklaf berasal ‘cum clave’ (frasa dalam bahasa Latin yang berarti ‘dengan kunci’) adalah metode pemilihan Paus baru yang ditetapkan oleh Paus Gregorius X, yang pertama kali menggunakan kata ini pada tahun 1274, sebagai landasan untuk konklaf-konklaf berikut. Ritual konklaf dilaksanakan antara 15 dan atau 20 hari setelah meninggalnya Paus.

Para kardinal akan dibawa dan tinggal di Kapel Sistina, di ruangan paling sakral yang terletak di dalam Kompleks Istana Apostolik di Vatikan. Semua yang terjadi di dalam ruangan ini bersifat super rahasia. Para kardinal dilarang berkomunikasi dengan dunia luar. Publik bisa tahu Paus baru telah terpilih dari asap yang dikeluarkan lewat cerobong.

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *