Gendhis dan Bintari Terjebak dalam Kubangan Konflik

  • FIKSI
Gendhis dan Bintari Terjebak dalam Kubangan Konflik
Share this :

(Bersambung dari Cerpen: “Di Batas Keraguan, Ada Benih Yang Mulai Tumbuh”) #6

Setelah menikmati long week end, meski sisa-sisa penat kaki masih ada, Gendhis merasa cukup segar kembali. Suara ketikan keyboard memecah keheningan ruangan kantor pagi itu. Gendhis menatap layar laptopnya, berusaha fokus menyelesaikan tugas yang baru saja diberikan atasan. Meski merasa segar, rutinitas di kantor selalu memiliki caranya sendiri untuk menguras energi.

Tumpukan dokumen di meja menjadi pengingat betapa padatnya minggu ini. Gendhis memeriksa dokumen yang menanti sentuhannya. Dokumen akta notaris yang dipercayakan oleh Pratiwi Rasyidi, pemilik kantor Notaris & PPAT, Pratiwi Rasyidi, S.H., M.Kn. menuntut fokus darinya. Ia kerap dipercaya menangani data penting karena sikap loyal dan tanggung jawabnya yang tinggi.

Namun, seperti bayangan hitam yang selalu mengikuti, Bintari, rekan kerjanya yang sinis, masih belum berubah. Gendhis merasakan pandangan Bintari yang tajam dari ujung ruangan, seakan mengawasinya setiap detik apa yang ia lakukan. Ada sesuatu dalam cara Bintari menatapnya yang selalu membuat suasana hati Gendhis terusik.

*

Suara jarum jam yang berdetak pelan hampir tak terdengar di tengah kesibukan kantor. Ketika waktu makan siang dan shalat Dzuhur semakin dekat, Gendhis merapikan dokumen-dokumen di mejanya. Matanya sejenak melirik jam di sudut layar komputer, memastikan ia masih mempunyai waktu cukup untuk melangkah ke musala kecil di lantai dasar gedung perkantoran.

Suara derap sepatu Bintari mendekat dari arah belakang membuat Gendhis siaga. Suasana di antara mereka sudah lama tegang, dan Gendhis tahu, kehadiran Bintari jarang berarti sesuatu yang baik. “Eh, Gendhis, nggak lupa kan kalau ada meeting jam dua nanti?” Bintari membuka kalimat dengan nada yang terdengar ramah di permukaan, membuat Gendhis berhati-hati.

“Ya, aku sudah siapkan semuanya,” jawab Gendhis singkat tanpa menoleh. Tangannya masih sibuk membereskan barang-barangnya. Bintari mendekat, berdiri di sisi meja Gendhis dengan sikap santai, namun matanya tajam mengamati setiap gerakan. “Kamu kayaknya sibuk banget akhir-akhir ini. Nggak sempat istirahat ya?” Gendhis mendongak, mencoba tersenyum sopan.

“Iya, kerjaan memang sedang banyak. Tugas dari Bu Pratiwi harus selesai minggu ini,” jawab Gendhis. “Oh, pasti Bu Pratiwi tahu siapa yang bisa diandalkan ya? Kamu kan selalu dapat tugas-tugas penting,” ujar Bintari menyandarkan tubuhnya di dinding ruangan. Senyumnya tampak tipis. “Kamu nggak khawatir orang lain di kantor ini merasa kurang diperhatikan?” lanjutnya.

Gendhis menegakkan tubuhnya, mencoba meredam ketegangan yang mulai merayap. “Ini cuma soal pekerjaan, Bintari. Aku rasa semuanya sesuai pembagian tugas,” potongnya. Bintari tertawa kecil, seolah meremehkan. “Mungkin kamu benar. Tapi, nggak semua orang bisa berpikir seperti kamu. Ada yang mulai merasa kedekatan kamu sama Prasodjo itu penyebab,” kata sinisnya.

Nada sinis Bintari akhirnya menyengat kesabaran Gendhis. Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu menatap langsung ke arah Bintari, “Kita di sini untuk bekerja profesional, Bintari. Aku nggak pernah minta perlakuan khusus, dan aku harap kamu juga melihat itu.” Bintari mengangkat alisnya, tersenyum lebih lebar, seakan puas bisa memancing respons dari Gendhis.

“Oh, tentu, tentu. Aku yakin itu. Cuma, kadang pandangan orang bisa berbeda. Kamu tahulah, kantor ini kan penuh dengan mata-mata yang mengawasi.” Sergah Bintari. Gendhis tidak merespons lebih lanjut. Ia tahu percakapan ini tidak akan membawa apa-apa kecuali memanaskan situasi lebih jauh. Dengan perlahan, ia berdiri dari kursinya, meraih tasnya, dan mau pergi.

“Aku ke musala dulu,” ucap Gendhis datar, mengakhiri pembicaraan. Sebelum Gendhis sempat melangkah pergi, Bintari menambahkan dengan nada yang terdengar lembut, tapi penuh sindiran tajam, “Semoga tenang ya, Gendhis. Kadang di saat beribadah, ada banyak pikiran yang muncul. Semoga yang kamu lakukan di sini juga membuat hati kamu tetap damai.”

Gendhis menatap Bintari sejenak, menyadari kalimat itu tak lebih sekadar basa-basi. Tetapi ia memilih abaikan, hanya tersenyum tipis sebelum berjalan meninggalkan ruangan. Bintari memandang punggung Gendhis yang menjauh, senyumnya perlahan memudar, berganti dengan tatapan yang penuh rasa puas. “Ingat, permainan belum selesai!” kalimat ketusnya.

Konflik antara Bintari dan Gendhis akhirnya sampai di telinga Bu Pratiwi. Sebagai pemilik, ia menyadari masalah ini tidak lagi sekadar bisikan ringan di kalangan rekan kantor, melainkan sesuatu yang cukup serius, dan bisa merusak harmoni di ruang kerja. Konflik antarrekan kerja jika dipengaruhi faktor emosi pribadi, dapat menimbulkan efek domino pada kinerja keseluruhan.

*

Suatu pagi, Bu Pratiwi memanggil Gendhis dan Bintari ke ruangannya secara terpisah, memulai dengan Gendhis. Setelah mendengarkan Gendhis dengan seksama, Bu Pratiwi menghela napas panjang. “Ini sangat disayangkan, Gendhis. Kamu sudah menjadi aset di sini, aku menghargai kerja keras dan kontribusimu. Seharusnya tak perlu terjadi,” nasehatnya.

Gendhis mengangguk pelan, merasakan situasi yang tak nyaman. Ia tidak ingin konflik ini membesar, apalagi sampai memengaruhi tugasnya yang sudah menuntut. “Konflik ini bisa berbahaya, bukan hanya karirmu, juga dinamika kerja. Setiap individu punya peran saling melengkapi. Jika terjadi konflik, akibatnya bisa merambat ke mana-mana.”tegas Bu Pratiwi.

Saat giliran Bintari dipanggil, suasana percakapan terasa lebih formal. Bintari, dengan ekspresi yang berusaha tetap tenang, duduk di hadapan Bu Pratiwi. Meskipun begitu, sikap Bintari yang defensif tidak luput dari perhatian. “Bintari, aku dengar ada ketegangan yang tidak semestinya antara kamu dan Gendhis,” kata Bu Pratiwi dengan nada lebih tegas.

“Aku kecewa mendengar hal ini. Kamu sudah bekerja di sini cukup lama, dan aku yakin kamu paham bahwa fitnah atau konflik pribadi tidak pernah membantu dalam menyelesaikan masalah,” tegurnya. Bintari mencoba membela diri, tetapi Bu Pratiwi memotongnya dengan cepat, “Aku tak mau mendengar alasan, yang aku mau minta solusi. Ini bukan hanya soal kamu atau Gendhis,” tegasnya.

“Ini tentang nama dan reputasi kantor. Jika ada masalah, kamu harus menyelesaikannya secara dewasa dan profesional, bukan dengan cara yang membuat suasana semakin panas,” pungkas Bu Pratiwi. Bintari hanya diam menunduk. Tatapan matanya terjuju pada lantai ubin tegel kuno bermotif bunga, pantatnya seakan terpaku di kursi yang ia duduki. Sulit baginya berdiri.

Setelah percakapan ini, Bu Pratiwi memanggil Prasodjo, memberikan arahan agar ia ikut membantu memediasi keduanya. Di balik semua ini, ia paham bahwa Bintari menyimpan perasaan iri, dan ia khawatir situasi ini belum akan selesai dalam waktu dekat. Melalui Prasodjo, ia berharap konflik bisa diredam sebelum berkembang menjadi masalah yang lebih besar.

*

Usai pertemuan itu, Gendhis dan Bintari keluar dari ruangan tanpa sepatah kata pun. Suasana tegang belum tampak cair dari mereka. Bintari menghentikan langkahnya di depan Gendhis, matanya menyala penuh kebencian. “Kamu menang kali ini, tapi jangan berpikir aku akan menyerah begitu saja. Aku tahu siapa dirimu sebenarnya, Gendhis,” ucapnya bernada ancaman.

Gendhis menatap balik, berusaha tetap tenang meski hatinya mulai bergejolak. “Ini bukan soal menang atau kalah, Bintari. Kita di sini untuk bekerja, bukan untuk kompetisi!” jawabnya tegas.
Senyum dingin terukir di wajah Bintari. “Oh, permainan ini belum selesai. Lihat saja nanti!” ancaman Bintari. Meski sudah dipanggil atasan, Bintari masih kibarkan bendera perang dingin.

Hari-hari berikutnya suasana ruang kerja belum tampak berubah. Bintari merasa lebih senior, merasa bahwa papanya teman dekat Bu Pratiwi, tak terima pengaruhnya di kantor kalah dengan Gendhis. “Aku tinggal omong ke papa, agar ia usul ke Bu Pratiwi memecat Gendhis. Beres!” rencana jahatnya mulai menari-nari di dalam pikirannya.

Meskipun Gendhis berusaha fokus pada pekerjaannya, tekanan dari lingkungannya yang ditebarkan Bintari semakin membuatnya berat. Hubungannya dengan Prasodjo di tempat kerja sebatas yunior senior. Secara pribadi, mereka belum kembali ke suasana yang lebih akrab. Suatu sore, saat Gendhis masih menyelesaikan beberapa laporan, Prasodjo menghampirinya.

“Gendhis, kita perlu bicara,” kata Prasodjo sambil menyeret kursi, lalu duduk di depannya. Gendhis menatapnya dingin, mencoba menduga apa yang akan dibicarakan Prasodjo padanya. “Tentang apa, Mas?” jawab Gendhis datar. Prasodjo menghela napas. “Tentang Bintari. Aku sudah mencoba bicara dengannya, ia tidak puas. Ia merasa aku lebih membelamu.” Lanjutnya.

“Dan menurutmu begitu?” Gendhis bertanya pelan. Prasodjo terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku di sini untuk bekerja secara adil. Tapi, jelas bahwa ini lebih rumit dari sekadar masalah kantor.” Suasana di antara mereka semakin hening, namun sebelum pembicaraan mereka bisa berlanjut, Bintari tiba-tiba muncul di pintu ruangan, wajahnya memerah tampak marah.

“Jadi ini yang terjadi di balik semua ini?!” Bintari mendesis. “Prasodjo, kamu membela Gendhis lagi!” Prasodjo berdiri, mencoba menenangkan Bintari, “Ini bukan tentang membela siapa-siapa, Bintari. Kita harus menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin.” Bintari diam membisu. Alis dan bola matanya naik, menandai kebencian yang tak lagi bisa ia sembunyikan.

“Kamu akan melihat, Prasodjo. Aku tidak akan diam saja. Gendhis akan mendapatkan apa yang pantas dia terima.” Suasana semakin panas. Gendhis berdiri, menghadapi Bintari dengan tegas. “Kalau ini soal pekerjaan, selesaikan dengan profesional. Tapi kalau ini soal dendam, kamu tidak akan menang dengan cara seperti ini, Bintari!” jawabnya.

Bintari hanya tertawa kecil, lalu berbalik pergi. Sbelum keluar dari ruangan, ia berbisik pelan, cukup untuk membuat Gendhis merinding. “Permainan ini baru saja dimulai.” Pintu ditutup dengan keras, meninggalkan Gendhis dan Prasodjo. Gendhis tahu, mungkin ancaman itu bisa nyata. Namun, ia tidak tahu seberapa jauh Bintari akan melangkah, atau sekadar gertak sambal.

Featured image by:
neuralwriter.com/id/image-generator-tool/

Disclaimer:
Cerita pendek (cerpen) ini hanya sebuah karya berdasarkan fiksi, jika ada nama tokoh, tempat, dan kejadian yang sama itu hanya kebetulan belaka.

Bersambung

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *