Ketika rute jalan pagi di depan Kampus Universitas Terbuka (UT) Surabaya mulai dipenuhi lapak-lapak hewan qurban menjelang Iduladha 1446 Hijriah, rutinitas jalan kaki saya pun terpaksa dihentikan sementara. Bukan lantaran kehilangan semangat, namun lantaran jalanan itu tak lagi kondusif untuk aktivitas pagi dan olahraga. Menyengat, polusi bau hewan dan kotorannya.
Maka saya pun kembali menengok sepeda yang telah lama terparkir, sedikit berdebu, namun tetap menunggu dengan setia. Hampir dua tahun terakhir, saya memang jarang menyentuh pedalnya. Kini, saatnya kembali menggenggam stang dan mengayuh, bukan demi kecepatan, bukan pula demi jarak, namun demi kebugaran dan ketenangan jiwa.
Saya masih ingat betul masa-masa “horor” pandemi COVID-19. Bersepeda seolah menjadi gerakan massal: jalanan-jalanan dipenuhi jersey warna-warni, berbagai frame sepeda yang mewah, dan perbincangan tentang berapa speed dan berapa kilometer hari itu buat capaiannya. Saat itu, hampir setiap “hidung” turut menyemarakkan jalanan hampir di setiap kota di Indonesia, bahkan dunia.
Namun suasananya kini telah jauh berbeda dibanding tiga atau empat tahun silam. Tren olahraga mulai bergeser. Banyak yang dulu rajin mengayuh sepeda, kini beralih ke dunia lari, jogging, atau sekadar jalan kaki santai. Rombongan pesepeda yang dulunya memenuhi jalan, kini hanya tampak sekelompok kecil, sering kali tak lebih dari sepuluh orang.
Kendati begitu, bagi sebagian orang, bersepeda tetap menjadi aktivitas olahraga yang istimewa. Bukan semata mengikuti tren, namun telah menjadi bagian dari kebiasaan sehat yang tumbuh sejak lama. Sejak 2006, bersepeda ini telah memberi ruang bagi saya untuk menjaga fisik tetap bugar sekaligus menyegarkan pikiran. Bersepeda bukan demi prestise, melainkan demi sehat.
Bersepeda pagi bukan hanya rutinitas aktivitas fisik, pun perjalanan rekreatif. Sedangkan rute favorit, dari tempat tinggal saya di kawasan Rungkut menuju ke arah selatan. Melintas MERR Gunung Anyar, Poltek Pelayaran, lalu memasuki wilayah Kecamatan Sedati, Sidoarjo. Jalan terus melintas ke Desa Tambak Oso, Desa Segoro Tambak, Banjar Kemuning, Desa Cemandi, hingga mentok di kompleks pemancingan Gisik Cemandi.
Sepanjang rute ini, warga menyebutnya “Rute Belakang Bandara Juanda.” Bukan lantaran dekat, namun letaknya membentang di belakang kawasan udara Bandara Internasional Juanda, membelah area pertambakan. Di sisi kiri dan kanan jalan, mata disuguhi panorama menyejukkan: tambak-tambak berkilau terkena sinar matahari pagi, semilir angin laut menyapa wajah, terkesan seolah waktu berjalan lambat.
Namun, tak semua bagian rute ini menyajikan lanskap alami. Di beberapa titik, tambak-tambak itu kini telah berubah rupa. “Belantara bata ringan” mulai menjamur, kompleks perumahan yang tumbuh cepat, dengan mematok nama-nama kompleksnya “keinggris-inggrisan”, yang kontras dengan kenyataan lokasi yang masih terpencil dan menyisakan rawa-rawa di lingkungannya.
Irama kota perlahan menjalar ke pelosok Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, dan menyisakan tanya tentang masa depan bentang alam yang dulu begitu asri. Meski begitu, saya tetap menikmati rute ini. Bersepeda di pinggiran kota seperti ini memberi ruang untuk menghirup udara lebih segar, menyatu dengan suasana alami, dan melepaskan diri dari hiruk-pikuk kendaraan kendaraan.
Jalanan di rute ini tak terlalu padat dilintasi oleh kendaraan bermotor, baik roda dua atau roda empat. Maka, cukup lumayan nyaman bagi pengayuh kereta angin. Kayuhan pun terasa lebih santai, menikmati setiap putaran roda, setiap detik pagi. Olahraga yang paling baik bukanlah yang paling berat atau paling cepat, melainkan yang bisa kita lakukan dan nikmati secara konsisten.
Dan bersepeda, adalah olahraga yang sederhana, mudah, dan menyenangkan. Tak perlu membebani diri dengan target berapa kecepatan per kilometer atau total jarak tempuh, tak peduli speedometer apakah menunjukkan angka tinggi atau rendah. Niatan bersepeda lantaran hanya ingin sehat, lantaran hanya ingin segar bugar, baik fisik maupun mental.
Banyak sumber menyebutkan bahwa bersepeda dapat meningkatkan daya tahan tubuh, menurunkan risiko penyakit jantung, hingga meredakan stres. Kalau saya boleh menambahkan, manfaat besarnya adalah bagaimana aktivitas ini membantu untuk terhubung dengan diri sendiri, dengan lingkungan sekitar, dan dengan ritme kehidupan yang lebih melambat dan alami.
Di zaman yang serba cepat ini, kadang kita lupa bahwa melambat itu juga penting. Kita terbiasa mengejar banyak hal: angka, capaian, pujian, namun sering lupa bahwa tubuh dan pikiran kita juga butuh istirahat. Butuh ruang untuk sekadar menikmati pagi, tanpa harus berpikir ke mana atau berapa lama. Dan sepeda telah menjadi alat sederhana untuk menemukan kembali makna itu.
Bersepeda bukan tentang pamer merk, tentang gaya hidup, apalagi sekadar ‘hidup bergaya’, bukan pula tentang tren. Namun, ia lebih menjadi medium untuk menjaga keseimbangan hidup: antara tubuh dan pikiran, kerja dan jeda, hiruk-pikuk dan ketenangan. Makanya, saat bersepeda, saya tak mengejar berapa speed atau kilometer, justru hanya ingin sehat dan bahagia bersama tetesan keringat dan alam sekitar.
*
Anda mau coba sensasinya melukis jalanan dengan putaran roda sepeda di Strava dengan mengayuh sepeda di rute ini? Bukan untuk mengejar angka, namun untuk merayakan pagi yang segar, menghirup udara tambak, menyapa burung-burung yang terbang rendah, atau sekadar menepi sejenak memandang matahari menggelincir di permukaan air tambak.
Rute belakang Bandara Juanda bukan hanya soal lintasan fisik, pun perjalanan hati. Menemukan jeda, menjahit kembali semangat, dan merawat kesehatan secara alami. Ambillah waktu, kayuhlah sepeda! Biarkan tubuh dan pikiran menyatu dengan jalanan, tambak yang tenang, dan angin yang berembus dari arah laut. Barangkali, Anda pun akan menemukan kebahagiaan yang tak bisa dicatat oleh Strava, cukup tercatat dalam ingatan yang paling jujur.
Biarkan Foto Bicara
Bersepeda: “Keringat, Alam, dan Kebahagiaan yang Tak Tercatat di Strava”



























